Selamat Jalan, Wartawan Senior Aristides Katoppo

Ia yang sangat sibuk hilir mudik menanyakan tentang persiapan untuk berbuka puasa dan makan sahur, bagi kami yang kerja hingga malam, bahkan menjelang sahur.

Minggu, 6 Oktober 2019 | 20:07 WIB
0
350
Selamat Jalan, Wartawan Senior Aristides Katoppo
Aristides Katoppo (Foto: Kompas.com)

Minggu, 29 September 2019, saya menerima kabar duka datang dari dunia jurnalistik Indonesia. Jurnalis senior yang juga salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen, Aristides Katoppo dikabarkan meninggal dunia pada hari ini, Minggu, 29 September 2019, sekitar pukul 12.05 WIB.

Kabar meninggalnya eks wartawan senior "Sinar Harapan" atau "Suara Pembaruan" itu disampaikan sejumlah akun di laman Twitter, Minggu siang.

"Telah berpulang ke rumah Bapa di surga, eks wartawan senior Sinar Harapan/Suara Pembaruan dan pendiri AJI (Aliansi Jurnalis Independen) *Aristides Katoppo* pada hari Minggu 29 September 2019, sekitar pk 12:05. (Info dr Ign Haryanto) #RIPAristidesKatoppo," tulis Komisaris Utama PT Adhi Karya (Persero), Fadjroel Rachman di akun Twitternya @fadjroeL.

Saya yang baru saja menerima langsung WA dari Nurman Diah, langsung teringat sebuah kenangan pada hari Senin, 11 Juni 2018, ketika memenuhi undangan keluarga Aristides Katoppo untuk berbuka puasa di rumahnya.

Dalam pikiran saya, banyak wartawan atau mantan wartawan yang hadir di rumahnya. Ternyata, keluarga memang tidak mengundang wartawan yang lain, selain beberapa orang, termasuk diri saya.

Selain saya, ada seorang anak muda bernama Iwan Setiawan. Ia sering menulis buku, beragama Budha. Mengapa saya sedikit membicarakannya tentang agama? Karena Aristides Katoppo dan isteri, Samiyarsi Katoppo Sasmoyo (Mimis) mengundang saya berbuka puasa, beragama Kristen.

Jadi secara tidak langsung terciptalah kerukunan beragama di rumah keluarga besar Aristides Katoppo.

Di usia 80 tahun, Aristides masih ingat dengan saya. Bagaimana dahulu pertama kali saya mewawancarai beliau untuk mengisi buku yang saya tulis: "Butir-Butir Padi B.M.Diah, Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman" (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1992). 

Ia pun masih ingat, saya dulu dan Aristides pergi ke Bogor dalam membantu menyusun buku yang saya sunting: "Gunawan Satari, Pejuang, Pendidik dan Ilmuwan" (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994). 

Lebih saya kagum, Aristides di usianya ke 80, ia masih ingat tentang buku saya; "Saddam Hussein Menghalau Tantangan," yang diterbitkan oleh Aristides tahun 1998. Buku ini diterbitkan atas kerjasama saya dengan Kedutaan Besar Irak di Jakarta.

Memang buku ini merupakan hasil perjalanan saya ke Irak, di bukan Desember 1992, atas undangan Kementerian Penerangan Irak. Buku ini pun akhirnya memperoleh penghargaan dari Kantor Sekretaris Presiden Republik Irak pada 24 Juni 1998.

Ketika Aristides membicarakan mengenai Papua, saya sedikit berkonsentrasi. Mengapa? Karena saya di Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih dari tahun 1975 hingga 1980.

Minimal pembicaraan Aristides tentang Papua sedikit mengingatkan saya tentang berbagai hal yang berkembang di Papua, baik semasa kuliah di sana, maupun awal-awal sejarah Papua ke pangkuan RI. 

Bahkan Aristides banyak menambah pengetahuan saya, di saat-saat Presiden RI Soekarno bertemu dengan Presiden Amerika Serikat Kennedy. Usaha Uni Soviet yang juga ingin masuk ke Papua.

Kerukunan beragama yang saya alami di Rumah Aristides Katoppo, sudah lama saya saksikan ketika bergabung dengan Kelompok Harian "Kompas," baik semasa saya di Jakarta tahun 1989 maupun di Kelompok Harian Kompas di Palembang yang sudah tentu mengingatkan akan figur Valens Goa Doy. 

Ia yang sangat sibuk hilir mudik menanyakan tentang persiapan untuk berbuka puasa dan makan sahur, bagi kami yang kerja hingga malam, bahkan menjelang sahur.

Seperti saya yang sering berurusan dengan berita luar negeri, karena perbedaan waktu yang sangat jauh antara misalnya di Amerika Serikat dengan Indonesia.

Berarti dengan pengalaman saya berbuka di rumah Aristides Katoppo, ternyata di antara kita, memaknai kerukunan antar ummat beragama sudah kami praktikkan sejak lama.

Itu belum lagi dikaitkan dengan pengalaman saya bergabung dengan Majalah "Topik," tahun 1982 dan Harian "Merdeka," tahun 1992, kedua penerbitan ini tergabung dalam Kelompok Harian Merdeka pimpinan seorang nasionalis tulen Burhanudin Mohamad Diah atau namanya populer dengan singkatan B.M.Diah.

Selamat jalan wartawan senior, Aristides Katoppo...

***

Keterangan: Artikel ini sudah tayang sebelumnya di Kompasiana.com dengan judul yang sama.