Jenderal Pramono, Leopard dan Cebongan

Di tengah upayanya membangun dan membenahi praktek tak sehat pengadaan alutsista, 12 oknum anggota Kopassus terlibat kriminal berat, menembak 4 preman yang ditahan di Lapas Cebongan.

Senin, 15 Juni 2020 | 17:45 WIB
0
455
Jenderal Pramono, Leopard dan Cebongan
Pramono Edhie Wibomow (Foto: dekandidat.com)

Kebanyakan media menulis Jenderal Pramono Edhie Wibowo sebagai mantan ajudan Megawati saat menjadi presiden. Tidak keliru, tapi kurang lengkap. Pramono menjadi ajudan sejak Megawati masih wakil presiden.

Saya mendapat cerita ini dari Rajab Ritonga. Mantan wartawan Antara yang pernah lama bertugas di lingkungan TNI dan Istana itu kini sudah bergelar profesor di Universitas Moestopo. Dia punya hubungan dekat dengan sang Jenderal.

Tak heran Pramono nyemplung ke dunia politik, di pengujung 2013 tak lama setelah pensiun sebagai KSAD, Rajab dipercaya menjadi Ketua Media Center Peserta Konvensi Capres Partai Demokrat. Rajab juga dipercaya menulis biografinya, Pramono Edhie Wibowo: Cetak Biru Indonesia ke Depan.

Alkisah, Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri pada 27 September 2000 bertandang ke Markas Kopassus di Cijantung. Salah satu agendanya adalah meninjau kesiapsiagaan Grup 5 (antiteror). Terkait hal itu, Pramono Edhie Wibowo yang menjadi Dan Grup dipercaya Danjen Kopassus untuk menyampaikan paparan.

Selain Taufik Kiemas, hadir dalam kunjungan itu KSAD Jenderal Tyasno Sudarto, Menteri Perindustrian Jenderal Luhut B. Panjaitan, dan Menko Polkam Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Entah terpikat dengan paparannya atau karena alasan lain, tak lama setelah kunjungan itu Megawati mengangangkatnya sebagai ajudan. Ketika Presiden KH Abdurrahman Wahid lengser, 23 Juli 2001, Megawati yang naik jadi presiden, mempertahankan Pramono sebagai ajudan hingga 2004.

“Itu kasusnya seperti Fiman Gani (mantan Kapolda Metro Jaya) yang menjadi ajudan saat Pak BJ Habibie wapres lalu menjadi Presiden menggantikan Pak Harto,” kata Rajab.

Pada Januari 2014, Pramono Edhie pernah bertandang ke redaksi detik.com. Bersama Rajab Ritonga, tentu saja. Tujuannya tak lain memperkenal diri sebagai peserta konvensi capres Partai Demokrat. Sepintas penampilannya bersahaya, santun, meski juga terkesan agak kikuk. Lebih dari 30 tahun menjadi tentara tentu tak mudah mengubah pembawaan menjadi sepenuhnya orang sipil yang cair.

Selama pertemuan selama sekitar satu jam, Pramono lebih suka berbicara tentang masa depan. Dia terutama prihatin soal pemberantasan korupsi. Terkait isu ini, sang jenderal memang punya kredibilitas untuk bicara.

Saat menjadi penguasa Angkatan Darat, dia pernah menghadapi godaan komisi (suap) yang nilainya mencapai Rp 20 miliar. Itu baru dari rencana pengadaan 5000 teropong Trijicon buatan Amerika Serikat.

Lain lagi dengan pengadaan 164 unit tank Leopard. Jenderal Pramono Edhie menolak untuk membeli tank itu melalui agen atau broker karena harga yang ditawarkan jauh lebih mahal. "Kerugiannya bisa lebih dari 30 persen," tulis Rajab dalam 'Pramono Edhie Prabowo dan Cetak Biru Indonesia ke Depan'.

Wakil KSAD Letjen Budiman diutus ke pabrik Leopard di Jerman. Ternyata embelian alutsista bisa dilakukan tanpa lewat broker. Harganya tentu jauh lebih murah.

Tentu broker atau agen yang gigit jari tak berpangku tangan. Narasi yang kemudian berkembang di publik, keputusan membeli Leopard adalah keliru. Tak sesuai kondisi geografis di Indonesia. Jembatan di tanah air niscaya akan ambrol saat dilintasi tank berbobot 60 ton itu. Juga tak akan mampu bermanuver maksimal karena medan di Indonesia yang berbukit-bukit. Nyatanya, hingga hari ini kita tak pernah mendengar ada jembatan ambrol karena dilewati Leopard.

Tapi di tengah upayanya membangun dan membenahi praktek tak sehat pengadaan alutsista, 12 oknum anggota Kopassus justru terlibat aksi kriminal berat. Mereka menembak empat preman yang ditahan di Lapas Cebongan, Sleman, DIY, 23 Maret 2013.

Tak heran bila kasus itu bisa disebut sebagai tamparan dan ujian terberat bagi Pramono Edhie. Tak cuma lama berkarir di korps baret merah, dia juga pernah memipin pasukan elit itu. Tapi ketika dia membentuk tim investigasi yang hasilnya menyeret para pelaku ke pengadilan militer, ada saja yang mencemoohnya.

Pramono dianggap mengorbankan anak buah demi popularitas pribadi. Aneh sekali!