Mengenang Conelis Lay; Celengan Bambu, Intelektual dan Politik Praktis

Mendengar wafatnya Cornelis Lay, saya berdiam diri. Saya putar Youtube lagu Bee Gees: The Massachusetts. Terbayang 18 tahun lalu, saat bersama, menghabiskan malam di karaoke, di Italia.

Sabtu, 8 Agustus 2020 | 09:31 WIB
0
145
Mengenang Conelis Lay; Celengan Bambu, Intelektual dan Politik Praktis
Cornelis Lay (Foto: suara.com)

“Bro, hati kita ini hati intelektual. Jika dalam satu momen hidup kita bersentuhan dengan politik praktis, itu secukupnya saja. Hati kita tidak di sana. Habitat kita adalah buku, gagasan, riset, menulis, mengajar.”

Percakapan itu yang teringat ketika mendengar wafatnya Cornelis Lay. Media menulis, di samping Cornelis Lay seorang profesor doktor UGM, Ia juga pernah menjadi penasehat politik Megawati. Ia juga pernah menulis pidato kenegaraan Jokowi.

Ada dua persamaan saya dengan Cornelis Lay. Pertama, kami sama sama rajin menulis di harian Kompas tahun 80’an. Saat itu kami tak saling kenal. Tapi Saya membaca hampir semua tulisannya. Dan Ia membaca hampir semua tulisan saya.

Kesamaan kedua, ini kelakar hanya beberapa orang saja, kami dianggap “TK’ Boys.” Adik dekat Taufik Kiemas.

Di tahun 2002 hubungan saya intens dengan Cornelis Lay justru karena diajak Taufik Kiemas ke luar negeri, ikut rombongan presiden Megawati berkunjung ke aneka negara.

Walau kami bukan pejabat negara, tapi kami acapkali menyertai rombongan istana menjumpai kepala negara lain. Saya sempat ikut ke Italia, Inggris, Ceko, Slovakia, Korea Utara hingga ke Mesir.

Dalam perjalanan itu, beberapa menteri cukup hangat pada kami. Juga kalangan istana.

Kami menduga ini karena kami dianggap sangat dekat dengan Taufik Kiemas, suami Presiden saat itu. Saran dan pikiran kami dianggap akan “sakti,” dipertimbangkan oleh Taufik Kiemas.

Saat itu Taufik Kiemas sangat powerful.

Saya lupa di negara mana. Jika tak salah di Italia. Tapi di di satu cafe, di pinggir jalan. Waktu itu Taufik Kiemas mengatakan hari itu kami tak usah ikut acara resmi. Silahkan nikmati peradaban di sini.

Conny (panggilan Cornelis Lay), mengajak saya ke karaoke. Tak saya duga suara Conny sangat merdu. Ia menyanyikan lagu Bee Gees: Massachusetts. Suara begetar seperti Robin Gibbs.

Tak mau kalah dengan Conny, saya pun menyanyikan lagu Can’t help Falling in Love with You. Suara saya berat seperti Elvis Presley.

Kami saling berkelakar dan memberi harapan. Jika jenuh dengan dunia pemikiran, kami bisa nyari sampingan menjadi penyanyi.

Dari Karaoke, Kamipun berdua, menghabiskan waktu hingga dini hari di warung kopi.

Berjumpalah kami sebagai pribadi. Saling bercerita betapa kami juga punya persamaan berangkat dari keluarga yang teramat sederhana secara ekonomi. Betapa menulis di koran, di samping sebagai kerja intelektual, juga cara untuk mencari nafkah.

Conny bercerita soal celengan bambu. Menurut Conny, ibunya buta huruf. Namun Ibu bertekad Conny harus sekolah tinggi, keluar dari NTT. Ibu menabung di celengan bambu.

Itu tabungan awal Ibu, hasil dari jualan di pasar. Ternyata celengan bambu itu bisa membiayai Conny sekolah di UGM.

Dari seorang ibu yang buta huruf, dengan celengan bambu, akhirnya melahirkan Conny yang wafat dengan predikat profesor doktor.

Kami bercanda, apakah kita berdua berambisi menjadi menteri? Mengingat saat itu dekatnya hubungan kami dengan Taufiek Kiemas.

Saat itu Conny menyatakan isi hatinya. “Hati kita hati intelektual bro. Nyemplung ke dunia politik praktis secukupnya saja.”

Saya pun tak heran melihat Conny akhirnya kembali ke kampus. Padahal ada momen, ia dekat sekali dalam lingkaran Megawati dan PDIP.

Dunia Cornelis Lay memang kampus. Jika ia pernah terlibat politik praktis, seperti curhatnya, itu secukupnya saja.

-000-

Mendengar wafatnya Cornelis Lay, hari itu saya berdiam diri. Saya putar dari Youtube lagu Bee Gees: The Massachusetts.

Terbayang momen itu. Tahun 2002. 18 tahun lalu. Momen kami bersama, menghabiskan malam di karaoke, lalu di kafe, di Italia.

Selamat jalan Conny.

Agustus 2020.

***

Denny JA