Apakah prinsip demokrasi berbasis hukum yang disepakati sejak awal reformasi pasca kejatuhan Suharto kini tengah mengalami ujian yang sama seperti di era 1950an-1960an awal?
Lima belas tahun lalu, 15 November 2001, Prof Herbert Feith meninggal dunia akibat kecelakaan (sepedanya tertabrak kereta api) di Melbourne, Australia.
Sejak terbit mahakaryanya, THE DECLINE OF CONSTITUTIONAL DEMOCRACY IN INDONESIA (1962), Feith meninggalkan pertanyaan yang hingga kini belum sepenuhnya terjawab: "mengapa demokrasi konstitusional selalu gagal di Indonesia?"
Itu pertanyaan era 1950an, namun terasa tetap relevan saat ini.
Bukankah sejak reformasi telah disepakati landasan baru kehidupan politik, kehidupan berbangsa dan bernegara adalah demokrasi yang berbasis supremasi hukum? Bahasa kerennya, democratische rechtstaat atau constitutional-democratic state.
Yang terjadi saat ini justru pengingkaran terhadap semua ideal-ideal itu. Kompetisi politik tidak sehat, penggunaan kekerasan dan manipulasi isu-isu primordial, manuver dan kontramanuver kotor dengan mengorbankan massa rakyat sebagai tameng, pemaksaan kehendak dengan melanggar prinsip-prinsip supremasi hukum.
Cita-cita civil society yang dulu nyaring didengungkan kini seakan senyap, tergantikan oleh 'UNCIVIL SOCIETY' (istilah Richard Boyd), yaitu kemunculan organisasi-organisasi atau kelompok yang justru tidak sipil, sebaliknya mengancam tatanan sosial ("the perils of pluralism").
Ironis!
Ini langkah mundur, mengulang kegagalan eksperimen demokrasi konstitusional era 1950-an sebagaimana pernah diungkapkan Feith.
Padahal di luar sikap objektifnya sebagai ilmuwan politik, Feith sesungguhnya mendambakan Indonesia sebagai negara baru pascakolonial yang mampu menjadi negara modern yang demokratis-konstitusional.
Feith, seperti juga gurunya, Prof George McT Kahin, sangat percaya pada kapasitas intelektual, kapabilitas profesional, dan orientasi politik modern dan demokratis dari sebagian besar elite dan pemimpin Indonesia saat itu (ini melampaui kategori Feith yang terkenal tentang pemimpin "solidarity maker" vs "administratur").
Lalu, mengapa demokrasi konstitusional yang ingin dibangun era 1950an itu gagal?
Sejarawan Harry J Benda mengkritik Feith yang dianggapnya terlalu "memaksakan" standar demokrasi Barat yang tidak punya dasar pijak pada sebuah negara yang mewarisi sejarah dan tradisi otoritarian patrimonial.
Sementara sebagian pengamat menilai kegagalan demokrasi saat itu lebih disebabkan -dan ini mungkin relevan untuk saat ini- oleh manuver dan kontramanuver antar para elite politik sendiri, khususnya antara Sukarno yang didukung militer berhadapan dengan partai-partai politik di sisi lain.
Sukarno yang hanya berfungsi simbolis dalam sistem parlementer saat itu, mendapat sekutu pihak militer yang tidak sepenuhnya menerima asas the civilian supremacy on the military.
Inilah awal konflik berlarut yang akhirnya menggagalkan eksperimen demokrasi konstitusional pertengahan 1950-an hingga jatuhnya Sukarno tahun 1965.
Situasi konflik itu juga diperparah oleh berlarutnya dan buntunya perdebatan di konstituante, yang justru menjadi alasan bagi Sukarno dan militer untuk melakukan kontramanuver untuk melemahkan partai politik serta mengesampingkan sebagian pemimpin dan elite yang berorientasi demokratis.
Maka seakan membenarkan Benda, demokrasi ala Barat tak cocok dicangkokan di sini, di atas tradisi patrimonial otoritarian.
Apakah prinsip demokrasi berbasis hukum yang disepakati sejak awal reformasi pasca kejatuhan Suharto kini tengah mengalami ujian yang sama seperti di era 1950an-1960an awal?
Kembali mengulang kegagalan demokrasi konstitusional sebagaimana pernah dikemukakan Herbet Feith dulu, dengan risiko kemunculan kembali kepempinan politik otoritarian?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews