Mengenang Herbert Feith, Demokrasi Gagal dan "Uncivil Society"

Apakah prinsip demokrasi berbasis hukum yang disepakati sejak awal reformasi pasca kejatuhan Suharto kini tengah mengalami ujian yang sama seperti di era 1950an-1960an awal?

Sabtu, 27 Juli 2019 | 23:45 WIB
0
430
Mengenang Herbert Feith, Demokrasi Gagal dan "Uncivil Society"
Herbert Feith (Foto: Monash.edu)

Lima belas tahun lalu, 15 November 2001, Prof Herbert Feith meninggal dunia akibat kecelakaan (sepedanya tertabrak kereta api) di Melbourne, Australia.

Sejak terbit mahakaryanya, THE DECLINE OF CONSTITUTIONAL DEMOCRACY IN INDONESIA (1962), Feith meninggalkan pertanyaan yang hingga kini belum sepenuhnya terjawab: "mengapa demokrasi konstitusional selalu gagal di Indonesia?"

Itu pertanyaan era 1950an, namun terasa tetap relevan saat ini.

Bukankah sejak reformasi telah disepakati landasan baru kehidupan politik, kehidupan berbangsa dan bernegara adalah demokrasi yang berbasis supremasi hukum? Bahasa kerennya, democratische rechtstaat atau constitutional-democratic state.

Yang terjadi saat ini justru pengingkaran terhadap semua ideal-ideal itu. Kompetisi politik tidak sehat, penggunaan kekerasan dan manipulasi isu-isu primordial, manuver dan kontramanuver kotor dengan mengorbankan massa rakyat sebagai tameng, pemaksaan kehendak dengan melanggar prinsip-prinsip supremasi hukum.

Cita-cita civil society yang dulu nyaring didengungkan kini seakan senyap, tergantikan oleh 'UNCIVIL SOCIETY' (istilah Richard Boyd), yaitu kemunculan organisasi-organisasi atau kelompok yang justru tidak sipil, sebaliknya mengancam tatanan sosial ("the perils of pluralism").

Ironis!

Ini langkah mundur, mengulang kegagalan eksperimen demokrasi konstitusional era 1950-an sebagaimana pernah diungkapkan Feith.

Padahal di luar sikap objektifnya sebagai ilmuwan politik, Feith sesungguhnya mendambakan Indonesia sebagai negara baru pascakolonial yang mampu menjadi negara modern yang demokratis-konstitusional.

Feith, seperti juga gurunya, Prof George McT Kahin, sangat percaya pada kapasitas intelektual, kapabilitas profesional, dan orientasi politik modern dan demokratis dari sebagian besar elite dan pemimpin Indonesia saat itu (ini melampaui kategori Feith yang terkenal tentang pemimpin "solidarity maker" vs "administratur").

Lalu, mengapa demokrasi konstitusional yang ingin dibangun era 1950an itu gagal?

Sejarawan Harry J Benda mengkritik Feith yang dianggapnya terlalu "memaksakan" standar demokrasi Barat yang tidak punya dasar pijak pada sebuah negara yang mewarisi sejarah dan tradisi otoritarian patrimonial.

Sementara sebagian pengamat menilai kegagalan demokrasi saat itu lebih disebabkan -dan ini mungkin relevan untuk saat ini- oleh manuver dan kontramanuver antar para elite politik sendiri, khususnya antara Sukarno yang didukung militer berhadapan dengan partai-partai politik di sisi lain.

Sukarno yang hanya berfungsi simbolis dalam sistem parlementer saat itu, mendapat sekutu pihak militer yang tidak sepenuhnya menerima asas the civilian supremacy on the military.

Inilah awal konflik berlarut yang akhirnya menggagalkan eksperimen demokrasi konstitusional pertengahan 1950-an hingga jatuhnya Sukarno tahun 1965.

Situasi konflik itu juga diperparah oleh berlarutnya dan buntunya perdebatan di konstituante, yang justru menjadi alasan bagi Sukarno dan militer untuk melakukan kontramanuver untuk melemahkan partai politik serta mengesampingkan sebagian pemimpin dan elite yang berorientasi demokratis.

Maka seakan membenarkan Benda, demokrasi ala Barat tak cocok dicangkokan di sini, di atas tradisi patrimonial otoritarian.

Apakah prinsip demokrasi berbasis hukum yang disepakati sejak awal reformasi pasca kejatuhan Suharto kini tengah mengalami ujian yang sama seperti di era 1950an-1960an awal?

Kembali mengulang kegagalan demokrasi konstitusional sebagaimana pernah dikemukakan Herbet Feith dulu, dengan risiko kemunculan kembali kepempinan politik otoritarian?

***