Film ini juga merupakan kritik terhadap masyarakat kita ketika berinteraksi dengan penyintas trauma. Karena kekejaman Adrian, Cee mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD).
Inspirasi film ini ternyata sebuah novel karangan HG Wells dengan judul sama. Novel ini sebelumnya sudah pernah diadaptasikan ke layar lebar menjadi seri The Invisible Man pada tahun 1930-an (50 tahun sebelum Pak Guru lahir), dan film terbaru ini menjadi reboot dari seri tersebut. Tentu saja ekspektasi Pak Guru sangat tinggi, mengingat karya-karya Wells biasanya keren-keren.
Film ini menceritakan Cecilia "Cee" Kass (Elisabeth Moss), yang terjebak dalam hubungan tidak sehat dengan Adrian Griffin (Oliver Jackson-Cohen), seorang peneliti fisika optik terkenal. Cee berusaha kabur dari rumah Adrian, namun nyaris gagal karena sedikit kecerobohan. Untunglah Cee bisa kabur dengan bantuan adiknya, Emily (Harriet Dyer).
Dua minggu kemudian, Cee yang masih trauma tinggal di rumah James Lanier (Aldis Hodge), detektif polisi yang merupakan kawan masa kecilnya, Cee mendapat kabar bahwa Adrian meninggal bunuh diri. Melalui adiknya yang berprofesi sebagia pengacara, Tom Griffin (Michael Dorman), Adrian mewariskan seluruh harta kekayaannya kepada Cee, yang disalurkan secara bertahap dengan kondisi tertentu.
Meninggalnya Adrian dalam situasi yang aneh tidak membuat situasi makin baik untuk Cee. Cee yang masih berjuang untuk menyembuhkan traumanya akan hubungan dengan Adrian, malah mengalami berbagai kejadian yang tak masuk akal dan kesialan yang bertubi-tubi. Cee yakin, Adrian ada di balik ini. Namun, bagaimana membuktikannya?
Film ini sangat direkomendasikan bagi penggemar thriller. Jalan cerita yang seperti mesin diesel (lama panasnya) benar-benar seru, juga menghadirkan berbagai twist yang tak terduga. Suasana mencekam dihadirkan dengan sangat apik melalui efek musik dan pengambilan gambar yang sangat tepat, namun tidak berlebihan. Jumpscare memang ada, namun tidak ada 'jumpscare kosongan' yang membuat penonton kaget tanpa ada 'sesuatu'.
Akting Elisabeth Moss benar-benar memukau Pak Guru selama menonton. Moss mampu menggambarkan dengan baik paranoia yang dialami Cee setelah berhasil lolos dari Adrian. Mbak Moss berhasil mengajak penonton masuk ke dalam perasaan Cee, campuraduk ketakutan akibat kejadian-kejadian yang tidak jelas dan traumanya akan Adrian.
Unsur sains fiksi yang dihadirkan dalam film ini menarik. Rupanya tim kreatif film sampai melakukan riset di University of Sydney untuk membuat film ini. Konsep fisika yang menjadi bumbu dalam film ini jelas membuat Pak Guru terkesima. Jika selama ini keadaan tidak kasat mata (invisible) dalam film-film fiksi ilmiah dicapai dengan penggunaan zat-zat kimia tertentu, contohnya adalah serum pada film Hollow Man (2000), film ini menggunakan konsep fisika yang lebih simpel untuk penonton umum. Apa itu? Makanya nonton!
Film ini juga merupakan kritik terhadap masyarakat kita ketika berinteraksi dengan penyintas trauma. Karena kekejaman Adrian, Cee mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD). Sialnya, orang-orang lain dalam film ini menganggap keresahan Cee dengan "Sudahlah, itu sudah berlalu," tanpa memberikan solusi bagi Cee. Kejadian-kejadian aneh yang dialami Cee dianggap sebagai 'halu', dan Cee malah terperangkap dalam hal-hal yang lebih menyulitkan. Mirip dengan masyarakat kita kebanyakan.
Sesuai yang diprediksi, film ini jos tenan, rek! Tidak salah jika 91% review film ini di Rotten Tomatoes adalah positif, dengan rating rata-rata 76.6%. Oh iya, film ini untuk 17 tahun ke atas, pastikan Anda tidak mengajak anak di bawah umur untuk menonton. Dalam film ini terdapat adegan yang terlalu sadis untuk disaksikan anak-anak.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews