Rocky Gerung sering menyebut lawan politiknya, para pendukung Jokowi dengan umpatan dungu. Sebaliknya pendukung Jokowi lebih santun, menyindir para pendukung Prabowo---Rocky Gerung termasuk di dalamnya---dengan menyitir kutipan populer, "The difference between stupidity and genius is that genius has its limits." Kasarnya, bebal tak tertolong.
Ada sejarah menarik kutipan soal 'kebodohan tak berbatas' di atas. Selama ini banyak yang sangka kutipan tersebut berasal dari Albert Einstein.
Situs pelacak asal usul dan kebenaran quote, quoteinvestigator.com menduga kesalahan mengaitkan ujar-ujaran ini dengan Albert Einstein bermula dari artikel tahun 1994 di Cedar Rapids, koran yang terbit di Iowa. Padahal tidak ada catatan sebelumnya bahwa Einstein pernah katakan itu.
Menurut penelusuran quoteinvestigator.com, kutipan tadi berasal dari Alexandre Dumas. Begitu yang tercatat dalam "Grand Dictionnaire Universel du XIXe Sicle" volume 2 yang terbit circa 1865. Aslinya dalam Bahasa Prancis, "... que le gnie humain a des limites, quand la btise humaine n'en a pas."
Alexandre Dumas yang dimaksud adalah penulis naskah drama "The Lady of the Camelia". Jangan tertukar dengan orang bernama sama, Alexandre Dumas, ayah dari Alexandre Dumas pertama. Si ayah lebih-lebih terkenalnya sebab ia penulis novel "The Count of Monte Cristo" dan "The Three Musketeers."
Baiklah, cukup di situ pernak-pernik informasi tambahannya. Kepentingan saya membuka artikel ini dengan kutipan tadi ada dua hal. Pertama, lihatlah betapa serius sebagian orang mencari kebenaran. Hanya soal dari mana kutipan itu sungguh berasal pun ditelusuri serius. Berbeda langit dan bumi rasanya, di tanah air kita kini orang-orang justru sengaja menerbitkan informasi sesat.
Kedua, kalimat "the difference between stupidity and genius is that genius has its limits" mungkin tak berlaku dalam konteks politik Indonesia saat ini. Apa yang kita sangka kebodohan, ternyata merupakan kekeliruan yang disengaja, didesain sebagai strategi memenangkan pemilu dan pilpres.
Penyebaran informasi yang memang diciptakan keliru adalah salah satu ciri metode propaganda firehose of falsehood. Ciri lainnya, informasi itu disebarkan secara massif melalui banyak kanal untuk membanjiri kesadaran publik. Karena bukan kebenaran yang dituju, konten informasi tersebut tidak konsisten. Satu-satunya yang ajek adalah kesimpulan akhir dalam kepala publik, kesadaran palsu yang dikehendaki si pengguna strategi.
Contoh terkini yang saya kira memperkuat bukti penggunaan teknik propaganda firehose of falsehood adalah narasi tentang Jokowi bukan pemimpin yang baik dari sudut pandang masyarakat muslim.
Salah satu mata rantai narasi sesat itu adalah laku spiritual dan simbolik Joko Widodo tidak mencerminkan keislaman yang pantas. Ia dituduh tidak fasih membaca kitab suci, tidak bisa mengucap doa dengan benar, tidak bisa menjadi imam salat, hingga yang paling keji sebagai anti-Islam.
Seluruh format media digunakan. Mulai dari media tradisional (koran dan tv), media berita daring, blog pribadi yang tak jelas milik siapa, media sosial hingga beragam aplikasi pesan. Aktor-aktor produsen konten pun luas spektrumnya. Ada pejabat parpol, tim sukses capres-cawapres, tokoh kelompok masyarakat, sembarang orang yang mendadak ditokohkan, hingga para anonim di balik akun-akun palsu di media sosial.
Ketika satu fitnah dibantah, fitnah lain dimunculkan sembari klarifikasi atas fitnah lama tak dipedulikan. Cara lainnya adalah dengan memutarbalikan pernyataan sendiri.
Kita ambil contoh pernyataan pendukung garis keras Prabowo, Yusuf Martak merespon testimoni uztad kondang Yusuf Mansur tentang Jokowi.
Ulama, politisi, dan intelektual berkredibilitas tinggi, TGB Zainul Majdi menyebarkan testimoni Yusuf Mansur tentang laku spiritual Joko Widodo dan keluarga. Menurut Yusuf Mansur, ia menyaksikan sendiri sejak 2007, kemampuan Presiden Jokowi menghafal Qur'an dan sikap hidup saleh keluarga Joko Widodo yang menekuni puasa sunah. Bahkan menurut Yusuf Mansur, seorang sahabatnya sudah semenjak 1994 menyaksikan Joko Widodo dan keluarga menekuni puasa sunah.
Hebatnya, kesaksian Yusuf Mansur tidak membuat Yusuf Martak insyaf. Ketua GNPF-U ini malah menyatakan kesalehan Jokowi cuma pencitraan. Weleh. Pencitraan seperti apa yang tekun dijalani selama lebih dari 25 tahun?
Berkebalikan dari sebelumnya, Yusuf Martak kini menyatakan ibadah seseorang bukan manusia (Yusuf Mansur) yang menilai, melainkan Allah. Wuaduh. Padahal Yusuf Mansur memberi kesaksian begitu sebab sebagai orang baik dan benar, ia merasa bertanggungjawab meluruskan fitnah ketika dirinya tahu hal sebenarnya. Beragam fitnah yang mendiskreditkan keislaman Jokowi datang dari orang-orang yang merasa memiliki hak untuk menilai keislaman orang lain.
Menghadapi kondisi seperti ini, andai tak tahu skenario propaganda firehose of falsehood sedang dimainkan, kita mungkin akan buru-buru mengumpat oleh kesalnya. "Jurang kedunguan memang tak terhingga dalamnya."
Tetapi kita tahu, semua kedunguan itu adalah kesengajaan. Didesain orang-orang cerdas yang memang menempatkan hasrat akan kekuasaan jauh lebih tinggi dibanding penghormatan terhadap kebenaran.
Begitulah, ketidakwarasan massal ini mungkin sedasyat bencana. Mungkin kita tak bisa benar-benar memukulnya mundur. Maka yang bisa kita lakukan adalah membiasakan hidup aman di tengah semua ini.
Mirip seperti sikap seharusnya dalam menghadapi potensi gempa bumi dan gunung api. Kita tak bisa menolak peristiwa gempa bumi dan letusan gunung api. Kita hanya bisa waspada, mengasah terus kewarasan kita.
Sumber:
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews