Pilih Temperamental atau “Nice Guy”?

Selain menuding penonton yang ketawa, Prabowo juga sempat menyarankan agar Joko Widodo mempersoalkan penasihat pertahanannya.

Selasa, 2 April 2019 | 21:15 WIB
0
595
Pilih Temperamental atau “Nice Guy”?
Prabowo dan Jokowi (Foto: Okezone.com)

Hari gini belum punya pilihan siapa yang akan kita coblos, boleh dikatakan Anda telmi. Telat mikir. Kecuali tentunya kita memang tidak berniat memilih siapapun alias golput. Kali ini golput pun sama artinya memberi keuntungan bagi yang kelewat berambisi berkuasa, untuk memenangi pemilihan.

Masa kampanye yang panjang sejak Oktober 2018, lima bulan lebih, merupakan masa kampanye terpanjang dalam sejarah Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden di negeri ini. Maklumlah, pemilihan yang biasa berlangsung dua tahap – seperti juga terjadi di setiap pilkada serentak sejak 2015 – pada Pilpres kali ini berlangsung hanya satu tahap. Pilpres 2019 langsung head to head, menghadapkan dua pilihan capres karena tidak ada capres dan cawapres lain yang lolos presidential threshold. Hanya Capres petahana Joko Widodo dan Cawapres Ma’ruf Amin, serta Capres Prabowo Subianto dan Cawapresnya Sandiaga Salahudin Uno.

Pertimbangan-pertimbangan politis bagi para pemilih untuk menentukan pilihan pemimpin, tentu sudah mengerucut di kepala  – siapa tokoh politik atau capres yang akan memimpin Republik ini lima tahun ke depan. Waktu dua minggu tersisa, sebelum hari coblosan Pemilu dan Pilpres 17 April 2019, tinggal pilihan watak dan track record (rekam jejak) para pemimpin yang seharusnya menentukan. Bukan lagi pidato soal program. Sebab selama lima bulan, rakyat boleh dibilang sudah jenuh bahkan terkadang mual mendengar janji-janji manis para capres dalam masa kampanye yang panjang.

Apalagi untuk Pilpres 2019 kali ini watak dan track record-nya begitu kontras. Yang satu sosoknya temperamental, pemarah, yang satu bolehlah dijulukinya dengan olok-olok “nice guy”, seperti yang dilekatkan oleh lawan capresnya dalam Debat Capres di Hotel Shangrila Sabtu kemaren. Yang satu mantan menantu orang terkuat di negeri ini selama 32 tahun di abad lalu, Soeharto. Yang lainnya berasal dari rakyat sipil, mantan pengusaha mebel dan bahkan pernah dalam catatan hidupnya menjadi kuli panggul paruh waktu ketika masih hidup pas-pasan di Solo tahun 70-an.

Dari potongan fisiknya pun kontras. Capres 01 berasal dari rakyat sipil, postur tubuhnya kerempeng, tinggi, baju kesukaannya hem putih lengan digulung sama sekali tidak formal, tak pandai berpidato meski pintar menguasai bidang yang ditanganinya sebagai presiden petahana. Meniti karir pemimpinnya sebagai Wali Kota Surakarta dua periode, satu tahun sempat Gubernur DKI Jakarta sebelum akhirnya terpilih sebagai Presiden RI pada Pilpres 2014.

Yang satunya Capres 02 mantan menantu Soeharto, suka berbaju jas, rapi, pakai peci kopiah. Tubuhnya gempal, hampir tambun, bicara pun lantang, parau, jago berorasi dan penuh percaya diri (sering kelewat percaya diri dan suka merendahkan orang lain) lantaran memang pengalamannya meyakinkan sebagai mantan Komandan Jendral Kopassus, dan bahkan Pangkostrad semasa Soeharto, meski pada perjalanan karirnya sempat terhenti. Atau tepatnya dihentikan dari jabatannya, pada tahun 1998 pasca reformasi, pasca tergulingnya Soeharto sang mertua.

Kontras lagi harta kekayaannya. Bumi langit bedanya, antara Capres-Cawapres 01 dan Capres-Cawapres 02. Yang satunya masih milyader, miliaran, satunya sudah triliunan, trilyuner.  Yang satu merintis dari hidup susah, yang satunya tak pernah hidup kekurangan, keluarga kaya dan terpandang dan lama dibesarkan di luar negeri.

Coba bandingkan betapa kontras perbedaan harta kekayaan para Capres-Cawapres ini. Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan kedua pasangan Capres-cawapres yang dirilis situs Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di elhkpn.kpk.go.id sejak 15 dan 16 Agustus 2018 silam, Capres petahana Joko Widodo memiliki total kekayaan mencapai Rp 50,2 milyar (Rp 50.248.349.788) bandingkan dengan Capres yang diusung Partai Gerindra Prabowo Subianto yang Rp 1,9 triliun (Rp 1.952.013.493.659) meningkat dari Rp 1.6 triliun (1.670.392.580.402) ketika nyapres di Pilpres 2014 silam.

Kekayaannya itu mencakup harta milik berupa tanah dan bangunan, alat transportasi dan mesin, harta bergerak lain, surat berharga, uang tunai ataupun setara tunai serta harta lainnya.

Ketika nyapres tahun 2014, harta kekayaan Joko Widodo senilai 29, 9 milyar (Rp 29.892.946.012). Rincian jumlah harta kekayaan Jokowi empat tahun lalu itu, Rp 29.453.455.000 di antaranya berupa harta tidak bergerak. Berupa alat transportasi senilai Rp 954.500.000, peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian, kehutanan, pertambangan dan usaha lainnya senilai Rp 572.440.076.

Logam mulia senilai Rp 27.200.000, batu mulia Rp 15.000.000, dan harta bergerak lainnya Rp 488.140.718. Giro dan setara tunai mencapai Rp 488.140.718 dan US $ 27.633. Waktu itu, 2014, Capres Jokowi punya utang senilai Rp 1.9 milyar (Rp 1.936.939.782) per Mei 2014. Adapun ketika nyapres di Pilpres 2019 kali ini, Jokowi juga masih punya utang Rp 1.1 milyar (Rp 1.192.972.916). Prabowo Subianto? Dia tidak punya utang ketika nyapres...

Cawapres-cawapresnya pun harta mereka berbanding serupa. Antara bumi dan langit. Cawapres 01 Ma’ruf Amin masih milyader, sementara Cawapres 02 Sandiaga Salahudin Uno trilyuner. Sama harta kekayaan Sandi? Jumlah bersama harta Prabowo, Jokowi, dan Ma’ruf Amin belum separuh kekayaan Sandi yang di atas Rp 5 triliun!

Coba digelar harta kekayaan para Cawapres di Pilpres 2019. Cawapres 01 Ma’ruf Amin yang ketua MUI ini hartanya Rp 11,6 milyar (Rp 11.645.550.894). Total kekayaan Ma’ruf Amin ini masih dikurangi utang miliknya sebesar Rp 657.584.431. Sedangkan Sandiaga Uno? Kekayaannya Rp 5 triliun (Rp 5.099.960.524.965) berupa tanah, bangunan, alat transportasi, mesin, benda bergerak, surat berharga, uang tunai, setara tunai dan hartai lainnya...

Pertarungan di Pilpres 2019 kali ini, ibarat Gajah bertarung melawan Pelanduk jika diukur dari kekayaannya. Pertarungan yang bergelimang harta kaya. Bukan hanya kaya dalam kemampuannya, kapabilitas dan pengalamanan mengelola negara, atau publik. Tetapi juga harta kaya yang sebenarnya.

Bisa dibayangkan, betapa bumi langit kekayaan yang ada di kubu Capres 02, kalau di belakang mereka, pada partai koalisi mereka masih ada pekaya-pekaya lama seperti keluarga Cendana anak-anak Soeharto, dari Bambang Trihatmojo, Mbak Tutut, Sigit Harjoudanto, Tommy Soeharto maupun Titiek Soeharto mantan isteri Prabowo. Berapa triliun kekayaan mereka? Belum lagi ada mantan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono.

Soal perbedaan karakter, maupun watak personal kedua Capres? Juga sangat kontras. Dalam rentang lima bulan masa kampanye, sudah tercatat beberapa kesempatan Capres 02 marah-marah. Tidak hanya pada ibu-ibu dalam sejumlah kampanyenya. Akan tetapi bahkan dalam Debat Capres ke-4 di Hotel Shangrila, Sabtu pekan silam.

Sempat terekam kamera, yang ditonton langsung jutaan pemirsa televisi, emosi Prabowo meluap dengan tangannya menunjuk-nunjuk ke arah hadirin di Hotel Shangrila, Sabtu (30/3/2019) malam.

“Yang ketawa..., kenapa kalian ketawa? Pertahanan Indonesia rapuh, kalian ketawa. Lucu ya? Kok lucu?” kata Prabowo dengan nada tinggi. Kemarahan Prabowo di panggung debat itu ternyata dipicu suara riuh dari depan panggung. Suara Prabowo terdengar keras, pada saat menanggapi jawaban Jokowi soal pertahanan.

Sebelum marah, ada tenggang waktu beberapa detik sampai pada saat Prabowo menunjuk-nunjuk penonton (menurut Badan Pemenangan Nasional BPN Prabowo, itu publik pendukung Jokowi). Kala itu, Prabowo sedang berbicara: “Ribuan tahun sejarah perang saya pelajari, saya tahu jarak-jarak peluru kendali, masih saya tahu.

Jadi saya mohon, pak, ini bukan menyalahkan. Tapi saya berpendapat, kekuatan pertahanan kita sangat rapuh dan lemah. Bukan salah bapak. Salah siapa, enggak tahu saya...,” Ketika selesai memberi tanggapan pun, Prabowo masih mengulangi “Silakan ketawa, kalau negara ini lemah, silakan....,” katanya.

Selain menuding penonton yang ketawa, Prabowo juga sempat menyarankan agar Joko Widodo mempersoalkan penasihat pertahanannya. Info pembisiknya menurut Prabowo, nggak bener. Kata Prabowo, sudah biasa menurut pengalaman dia, laporan bawah itu selalu ABS, asal bapak senang. Laporan selalu yang baik-baik, padahal kenyataannya belum tentu demikian.

Kejadian emosional lain, saat menjelang awal masa kampanye, pada saat berkecamuknya kasus hoaks Ratna Sarumpaet – yang mengaku dipukuli orang tak dikenal di Bandung, padahal operasi plastik di sebuah rumah sakit di Menteng Jakarta Pusat – dalam jumpa pers yang tanpa cek dan ricek kebenarannya terlebih dulu, Prabowo juga terlihat emosi serta menyalahkan kubu rival Capres.

Tetapi kemudian dikoreksi sehari sesudahnya, ketika pihak Polri mampu membuktikan bahwa Ratna Sarumpaet tidak dipukuli di Bandung, akan tetapi dioperasi plastik di Menteng. Ratna, adalah salah satu anggota Badan Pemenangan Nasional Prabowo, yang kemudian dipecat setelah mengaku bahwa peristiwa pemukulan itu hoaks.

Dalam permintaan maafnya pada rakyat Indonesia yang sangat mencermati kasus hoaks Ratna Sarumpaet tersebut, Prabowo malah mengaku dirinya “Grasa-grusu,” dan kurang cek serta ricek peristiwa “pemukulan” Ratna tersebut. Kasus Ratna Sarumpaet ini merupakan salah satu pukulan berarti bagi kubu Capres 02 Prabowo Subianto, menjelang masa kampanye Oktober 2018 silam.

Nah, sekarang terpulang pada publik politik Indonesia yang punya hak pilih. Akankah memilih calon pemimpin temperamental, sugih, tegas, dari latar belakang dulunya militer? Atau pemimpin yang diolok-olok, sebagai nice guy, berasal dari rakyat biasa, bahkan sempat menjadi kuli panggul, sedang-sedang saja kekayaannya, akan tetapi berpengalaman menjadi Wali Kota, Gubernur, dan bahkan empat tahun terakhir ini menggenjot infrastruktur Indonesia, termasuk membuat tol Trans Jawa tersambung, dan berbagai tol baru dibangun di luar Jawa?

Silakan saja. Paku coblos ada di tangan Anda. Coblos sesuai pilihan hati nurani. Karena, keputusan pilihan masing-masing pendukung capres pada saat ini pun sudah sulit digoyahkan.

Mesti diingat, ada semacam adagium baru yang muncul selama Pilpres di Indonesia sejak 2014 dan 2019 ini. Bahwa, “orang yang paling sulit dinasehati itu adalah para pendukung capres...”

Coba saja nasehati mereka. Disodori dengan iming-iming “serangan fajar” sekalipun, mereka tak akan goyah meski dapat duit sekalipun. Emangnya dikasih duit, trus pasti memilih yang menduiti? Publik politik Indonesia kini sudah pada pinter.

***