"Victory" di Antara Kinerja Pahlawan Demokrasi

Akankah ada pembiaran bagi para pahlawan demokrasi yang masih bekerja, hingga demi "victory" terbuang rasa malu akibat memaksakan kemenangan "semu".

Rabu, 24 April 2019 | 10:43 WIB
0
208
"Victory" di Antara Kinerja  Pahlawan Demokrasi
Ilustrasi Pemilu (Foto: Berita Kota Makassar)

Pemilihan umum 2019 telah berlangsung dengan segala cerita yang menyertainya. Masa perebutan suara sejatinya telah usai seiring dengan berlalunya tangga l 17 April yang akan tercatat dalam sejarahsebagai  rangkaian pelaksanaan proses demokrasi ala negeri ini. 

Sistem perundang-undangan yang baru memberlakukan pemilihan legislatif dan pemilihan Presiden dilaksanakan berbarengan sekaligus. Satu sisi menggambarkan efisiensi pelaksanaan dan biaya yang sekali rampung. Namun sisi lain, kompleksitas permasalahannya pun acapkali muncul menjadi pernik demokrasi tersendiri.

Proses panjang dan pastinya melelahkan bagi segenap individu yang bergabung sebagai penggerak dan pelaksanan sistem. Komisi Pemilihan Umum bukan satu-satunya pihak yang menjadi tulang punggung demokrasi. 

Ada multi stakeholder yang terlibat untuk mensukseskan pesta demokrasi lima tahunan ini. Begitupun para calon legisatif ditingkat pusat, propinsi, kota/kabupaten. Terlebih dua pasang kandidat Presiden dan wakil presiden yang sedari awal bolak balik mengikuti jadwal sosialisasi pun kampanye.

Lembaga Kajian Australia, Lowy Institute seperti yang dirilis melalui bbc.com mengemukakan bahwa Pemilu 2019 di Indonesia adalah pemilu paling rumit sekaligus paling menakjubkan di Indonesia. 

Dimana Skala pemilihan yang besar hanya dilakukan dalam satu hari saja.Kata data.co.id menyebut terdapat  809.497 Tempat Pemungutan Suara (TPS) di seluruh Indonesia. 

Sementara jumlah pemilih mencapai 190,77 juta penduduk yang terdiri atas 96,51 juta laki-laki dan 95,4 juta perempuan. Selain itu terdapat jumlah pemilih luar negeri sebanyak 2,06 juta jiwa.

Dengan kondisi geografis yang memiliki tantangan berbeda tiap wilayah yang tersebar di seluruh Indonesia, hingga aneka kendala teknis yang sempat menjadikan beberapa tempat tidak maksimal dalam menerima distribusi kotak suara, Nyatanya Pemilu 2019 berlangsung tanpa kendala yang cukup berarti. 

Keamanan selama H-1, Hari H pemilihan hingga H+3 dan seterusnya dijamin penuh oleh sinergi TNI-Polri. Indonesia sukses melewati tangga menuju jenjang demokrasi yang lebih  dibanding dengan periode pemilu 5 tahunan sebelumnya.

Sehari setelah pemilu dilangsungkan, Wiranto selaku Menko bidang politik , hukum dan Ham menyebut partisipasi politik masyarakat pada pemilu 2019 mencapai kurang lebih 80 %. 

Sementara ketua Komisi Pemilihan Umum  Arief Budiman sempat menyatakan bahwa target partisipasi politik pada pemilu 2019 di angka 77,5 %. Kita patut bangga atas pencapaian tersebut. 

Terlebih partisipasi politik tersebut berasal dari sebaran  yang merata dari kalangan perempuan, kelompok milenial atau pemilih pemula dan beberapa lainnya yang aktif menggunakan hak pilihnya.

Hasil akhir perolehan suara khususnya Pilpres belumlah resmi diumumkan. Proses penghitungan berjenjang dari tingkat TPS-PPK- Kota/Kabupaten hingga hitung manual tingkat nasional yang berpusat di kantor KPU masih terus berlangsung. 

Beberapa daerah yang pada tanggal 17 April mengalami kendala logistik hingga tidak dapat melangsungkan pemilihan secara serentak, telah pula melakukan penghitungan suara. Bukan soal mudah terkait hitung-menghitung angka. Terlebih untuk memanipulasikannya

Lima lembar surat suara yang masing-masing telah dicoblos dan ditempatkan di kotak suara dibuka pada waktu yang telah ditentukan. Setelah semua Daftar pemilih Tetap (DPT), pemilih dengan formulir A5, dan daftar pemilih tambahan yang datang dengan menggunakan e-KTP dengan domisili di wilayah TPS setempat rampung menggunakan hak pilihnya. 

Berdasarkan pengalaman, saya yang berkesempatan menggunakan hak pilih berbekal form A5 di wilayah Bekasi, petugas pemungutan suara (PPS) baru selesai melayani pencoblosan bagi pengguna hak suara sekitar pukul 15.30. 

Tidak menyia-nyiakan sepenggal proses demokrasi begitu saja. Saya pun sempat "menongrongi" bangunan sekolah dasar yang dijadikan sebagai lokasi 4 TPS sekaligus yakni TPS 67, 68, 69 dan 73. Siang berganti sore. Waktu dimana detik-detik penghitungan suara harus dilakukan. 

Sebelum itu, anggota PPS terlebih dahulu mengatur ruang kelas yang disulap sementara menjadi TPS dari tatanan sebelumnya. Lembar form C1 diteempel pada dinding papan tulis. Kotak suara dikumpulkan ditengah, diletakkan diatas meja. 

Saksi masing-masing pasangan calon Presiden dari 01 dan 02 sigap menempatkan diri, begitupun saksi partai yang tidak semuanya ada. Pengawas TPS yang menjadi perpanjangan tangan Bawaslu di lapangan, tampak memeriksa kondisi kotak suara. Memastikan segel gembok yang di segel tidak rusak.

Petugas Pemungutan Suara membagi tugas, antara mereka yang menghitung surat suara, mencatat di form C1, juru teriak "sah", hingga yang membentangkan surat suara yang terbuka lebar lalu memperlihatkan ke arah saksi dan mereka yang hadir diruangan itu. 

Penghitungan dimulai dari Kotak suara pemilihan Presiden. Bisa dipastikan, semua yang hadir dalam ruangan itu mengalami ketegangan yang luar biasa. Belum lagi mereka para petugas PPS telah bekerja seharian ditambah persiapan saat malam pencoblosan.

Saya tahu persis, beberapa diantara petugas PPS itu harus lelah psikis karena sempat ada warga yang berkata-kata kasar akibat memaksa untuk menggunakan hak pilih diluar prosedur yang semestinya. Beruntung secara mental anggota PPS tersebut mampu meredam upaya provokatif "oknum tersebut" dan tetap prima dalam melayani.  

"kosong satu :sah", dijawab "sah" oleh saksi "kosong dua, sah" begitupun dijawab sah oleh saksi yanng melihat. kalimat itu berulang bergantian. Terkadang paralel dari pihak 01 tanpa jeda 02, demikian pula sebaliknya. 

Tidak ada tepuk riuh saat 01 memperoleh tambahan suara, apalagi dengan 02. Kami sama-sama bungkam. Jeli mencermati posisi kertas suara yang tercoblos. 

Manakala ada kertas suara yang dianggap meragukan, semua mendekat, memeriksa dan mata begitu teliti mencari lubang coblosan dalam kertas bergambar dua kandidat presiden itu. 

Saat kertas suara dianggap rusak, atau tidak sah itulah, ada helaan nafas dari sebagian yang hadir. Waktu menjadi sedikit lambat karena kertas suara yang rusak.

dok. pri penghitungan suara Pilpres TPS Jaka Sampurna Kota Bekasi

Hingga akhir penghitungan suara pilpres , kurang lebih butuh waktu 1 jam untuk menghitung 188 pengguna hak suara. Dengan perolehan 102 suara untuk 01 dan ; 84 suara untuk 02; 2 suara  rusak/tidak sah. 

Begitulah detik-detik mengangkan itu berlalu saat hasil akhir dihitung dan dituliskan oleh Petugas. Tidak ada pekik kemenangan dalam ruangan itu. Semua yang hadir, termasuk saya dan beberapa simpatisan pendukung 01, pun 02 diluar saksi begitu menjaga ketertiban.

Jauh dari unsur hoax, ketika kami melihat langsung proses penghitungan suara itu. Dari 4 TPS paralel, 2 TPS  dimenangkan oleh pasangan 01, 2 TPs lain dimenangkan 02 dengan selisih total suara keempat TPS tesebut tetap unggul 01.

Namun apakah itu berarti kemenangan patut kami pekikkan di depan para petugas PPS? tidak, tentu saja tidak. Proses masih berlanjut hingga batas waktu pengumuman hasil akhir peroleh suara diumumkan ditingkat pusat pada 22 Mei nanti.

Tentu semua tidak ingin merasa mendahului. Wajah-wajah lelah para anggota PPS masih terlihat. Penghitungan suara pada kotak Pilpres tidak lantas mengakhiri kerja-kerja mereka. 

Empat kotak suara untuk DPRD I, DPRD II, DPR RI dan DPD telah menanti untuk dihitung lagi. JIka kotak pilpres yang hanya terdiri dari 2 pasang calon membutuhkan waktu 1 jam, maka mari kita bayangkan berapa waktu yang dibutukan untuk menghitung 4 kotak suara dengan ukuran hampir 4 kali lipat surat suara pilpres.

Sadar akan hal itu, menjelang maghrib saat keempat TPS telah menyelesaikan penghitungan suara untuk Pilpres, saya pun berlalu. Lantas, saya mengikuti kinerja para petugas PPS melalui media daring. Beberapa teman yang terlibat langsung pun bercerita bahwa mereka berkerja hingga larut malam. 

Pukul 01.00 saat saya kembali ke hunian sementara kami, TPS yang terletak tak jauh dari rumah, masih menampakkan tanda-tanda aktifitas yang cukup berarti. lebih dari 24 jam mereka bekerja, hingga kelelahan mendera. 

Dan beberapa diantara mereka yang mengawal proses demokrasi di level grass root rela menghembuskan nafas terakhirnya demi berlangsungnya cita-cita demokrasi.

Ketika mereka yang hanya menjadi tim sukses kandidat kemudian memilih merayakan "kemenangan", satu pertanyaan mendasar....etiskah? Sebab pahlawan demokrasi itu masih terus bekerja hingga kini dalam lelah dan tekanan atas hasrat "kemenangan" yang didengungkan. Bukankan "Victory" itu dirayakan bukan hanya bersama sekelompok golongan yang mendukungnya saja?

Akankah ada pembiaran bagi para pahlawan demokrasi yang masih bekerja, hingga demi "victory" itu, terbuang rasa malu akibat memaksakan kemenangan "semu".

***