Hanya Karena Sistem Pemilu yang Berbeda, Haruskan Damai Itu Tiada?

Minggu, 24 Februari 2019 | 10:07 WIB
2
360
Hanya Karena Sistem Pemilu yang Berbeda, Haruskan Damai Itu Tiada?
dokumentasi Pribadi penjagaan Aparat sesaat setelah terjadi ledakan tak jauh dari lokasi Nonton bareng debat calon Presiden kedua di Parkir timur senayan

Malam dilaksanakannya debat kedua kandidat Presiden di Hotel Sultan begitu membekas bagi saya. Bukan menyoal materi debat yang konon ramai  diperdebatkan oleh masing-masing pendukung di dunia maya hingga sekarag ini. Melainkan bunyi ledakan yang cukup keras saya dengar langsung di lokasi nonton bareng debat yang berlangsung di kawasan parkir timur senayan. Tak jauh dari hotel tempat dilaksanakan debat kandidat Presiden 17 Februari 2019 lalu.

Waktu menunjukkan pukul 8 malam lewat sekian menit ketika saya memasuki arena nonton bareng debat. Langkah kaki saya melewati areal yang dikhususkan bagi pendukung capres 02 yang terletak persis diseberang Istora Senayan.

Saya mempercepat langkah kaki ketika layar lebar yang terletak di ujung tenda bernuansa merah putih sudah menayangkan siaran langsung debat. Mata saya sempat melirik ke arah layar, terlihat moderator debat memanggil kedua kandidat capres untuk memaparkan visi misinya.

Belum sempat saya berada di lokasi nobar debat pendukung Capres 01 dalam rentang jarak sekitar 500 m, ledakan keras terdengar. Sebagian peserta nobar menghambur dari tempat awal dimana mereka menyimak. Sebagian langsung mendekat ke arah sumber suara ledakan.

"Teror bom??!" refleks insting saya mereka-reka ledakan itu bunyi apa?. Urung mendekat ke lokasi nobar pendukung 01 yang jaraknya lebih dekat dengn sumber suara ledakan, akhirnya saya memilih bergabung dengan pewarta berita yang langsung berkerumun mendekat. Aparat keamanan yang berjaga langsung sigap menghimbau agar semua kembali ke tempat semula dan kembali melanjutkan nonton debat.

Debat calon presiden kedua konon berlangsung sengit. Entah kenapa menonton debat Calon presiden malam itu terasa begitu hambar bagi saya.Rasa was-was, tidak tenang begitu kuat menyeruak. Tidak ada rasa nyaman dan damai saat mata melihat layar lebar dan fikiran menyimak apa yang disampaikan kedua calon presiden. Sementara diluar sana ada bahaya berpeluang  mengintai.  

Debat hanyalah sepenggal proses yang menjadi rangkaian kegiatan pemilu. Jika dalam sepenggal proses pemilu saja unsur damainya ternodai oleh ledakan meski tidak secara langsung membahayakan kandidat presiden, namun sungguh begitu berartinya rasa damai ditengah hiruk pikuk politik menjelang pemilu 17 April 2019 mendatang.

Ironisnya, Siang tadi pada hari yang sama saya baru saja mengikuti deklarasi penulis untuk pemilu damai di sebuah hotel di bilangan Slipi Jakarta Barat. Hanya berselang 7-8 jam dari diskusi dan konsensus bersama melalui pengucapan deklarasi dan penandatanganan Penulis untuk pemilu damai, nyata  peristiwa di lokasi nobar debat membuat saya semakin meyakini sedemikian penting pemilu damai dapat terwujud.

Satu jam pasca ledakan, Kapoda Metro jaya Irjen Pol Gatot Eddy Pramono melakukan konferensi pers tak jauh dari tempat kejadian perkara. Hanya petasan, bukan bom! begitu inti keterangan yang diberikan. Bersama awak media, saya berkesempatan melihat langsung tempat dimana petasan itu meledak. Dibawah sebuah pohon, radius 400 meter dari lokasi pendukung 01 melakukan nobar.

Meski tidak ada korban jiwa, namun batin dan fikiran saya tetap mempertanyakan inikah percik api yang coba dihembuskan untuk merusak komitmen pemilu damai?. Saat kami yang berjumlah 30 orang berusaha  menjadi bagian dari stakeholder masyarakat yang mengupayakan pemilu damai, kenapa ada pihak-pihak yang sengaja melakukan teror petasan di tempat umum, terlebih di lokasi nonton bareng pada saat debat calon presiden berlangsung?

Pemilu 2019  berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya. Ini kali pertama pemilihan wakil rayat ditingkat pusat, propinsi hingga kota/kabupaten dibarengkan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. Efektif dan efisien jelas. Namun terbayang betapa kompleks sistem yang akan dilangsungkan secara serentak di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Desember 2018 KPU menetapkan jumlah pemilih tetap sebanyak 192.828.520. Data tersebut meliputi pemilih dalam negeri dan pemilih luar negeri dengan rincian  96.271.476 merupakan pemilih berjenis kelamin laki-laki dan pemilih  perempuan sebanyak 96.557.044. 

Sejak reformasi bergulir, sistem demokrasi mengalami perubahan dalam tiap periodesasinya. Ilklim politik semakin terbuka membuka sekat-sekat yang selama ini dinilai tabu. Perempuan dalam ruang politik bukan lagi hanya di tingkat wacana.

Wajah-wajah baru pelaku politik muncul mengganti sebagian wajah lama. Selisih antara jumlah pemilih  perempuan dan laki-laki cukup signifikan. Sebanyak  285.586 pemilih perempuan cukup menentukan siapa pemenang kontestasi politik 2019.

Wajar jika perempuan tampil cukup intens dalam pelbagai panggung poliitk baik sebagai objek maupun subjek. Sebut saja pasukan emak-emak yang cukup militan memamerkan dukungannya kepada dua kandidat  presiden.Meski diantara dua pasang kandidat pemimpin negeri semuanya berjenis kelamin laki-laki.

Kaum milenials pun cukup terangkat posisinya sebagai ranah perebutan suara. Itu hanya secuil beda dari banyaknya pernik pemilu 2019 dibanding dengan pemilu sebelumnya

Hanya karena sistem yang berbeda pada pemilu tahun ini, haruskah damai itu tiada?Lantas siapa yang bertanggung jawab penuh atas terwujudnya pemilu damai itu sebenarnya? Cukupkah hanya KPU beserta aparat keamanan saja yang menjamin pelaksanaan pemilu damai?

Kapan mereka yang terlibat dalam kontestasi pemilu baik itu calon anggota DPR RI, DPRD Propinsi dan DPR Kota/Kabupaten turut mengambil bagian untuk mewujudkan pemilu damai? Begitupun tak kalah penting kedua pasang kandidat Presiden dan wakil presiden menandatangai konsensus bersama menjaga damai di Indonesia terlepas peluang konflik politik yang mungkin saja terjadi dalam rentang waktu pemilu dan setelahnya.

Sayang, jika KPU selalu fasilitator penyelenggaraan sistem politik lima tahunan hanya mampu merangkul kandidiat Presiden dan wakilnya memaknai pemilu damai sebatas  masa kampanye saja. Sudahkah kita semua terlibat dan ambil bagian didalamnya, terlepas apapun posisi dan pekerjaan yang dijalani?

Termasuk saat penulis politik dibawah naungan platform Pepnews berkomitmen untuk ambil bagian mewujudkan pemilu damai. Dengan cara apa? Tentu melalui kualitas konten terlebih sikap politik kita yang mengendepankan "netizen polite".

Lepas dari itu, penulis diharapkan mampu menjadi individu yang memerangi segala bentuk Terorisme, radikalisme, dan intoleransi dalam lingkup kehidupan terkecil baik dalam keluarga, antar warga, hingga antar pendukung politik yang berbeda

Belakangan marak wacana politik baik artikel, maupun konten media sosial yang jauh dari kesan "polite". Merebaknya pemutarbalikan berita nyata menjadi berita yang mengada-ada dan cenderung mengadu domba. Sudah barang tentu melawan hal demikian yang dikenla dengan istilah Hoax pun menjadi andil bagi para penulis.

Kini, penulis tidak semata-mata menempuh jalan sunyi dalam tiap kata yang menginspirasi. Sebab penulis milenial pun wajib hukumnya menjaga jalan damai dalam hajat politik negeri ini.  

Semoga tidak ada kejahilan berupa  ledakan petasan hingga hoax yang membabi buta sebagai sebuah kejahilan yang pastas untuk kita khawatirkan. Sebab bukan tidak mungkin unsur itulah yang mencederai pemilu damai itu sendiri.

Salam Damai.

***

Sumber:

kompas.com