Gerilya Hoax "Beras Plastik" yang Coba Hantam Keberhasilan Jokowi

Jumat, 15 Februari 2019 | 16:43 WIB
0
267
Gerilya Hoax "Beras Plastik" yang Coba Hantam Keberhasilan Jokowi
Ilustrasi beras (Foto: Tirto.id)

Dari sederetan serangan yang menghantam pemerintah Jokowi, hoax "beras plastik" sempat bertengger di posisi puncak trending topik pada tiga minggu terakhir Mei 2015.

Hoax ini bermula dari unggahan Dwi Nurizza Septiani lewat akun instagramnya @dewinurizza pada 18 Mei 2015. Dalam unggahannya, Dwi bukan menyebut "beras plastik", melainkan "beras palsu".

"BERAS PALSU" Pagi ini... tepatnya tgl 18 Mei 2015 saya mendapati beras yang sudah dibeli adalah beras palsu. Ketika saya memasak untuk membuat bubur dan nasi uduk (kok beda ya??) Tidak seperti beras sebelumnya... padahal saya beli di harga Rp8.000,- dan di tempat langganan saya," unggah Dwi.

Selang beberapa saat kemudian berdasarkan pelacakan via Topsy, sepanjang 18-19 Mei 2015 setidaknya terekam lebih dari 43 ribu postingan yang memuat kata kunci "Beras Plastik". Isu "beras plastik" ini kemudian digoreng lagi dengan diimbuhi "asal China". Jadiah sebuah isu yang mengarah ke wilayah SARA.m

Isu "beras plastik asal China" ini kemudian mewarnai aksi unjuk rasa 20 Mei 2015 yang digelar sejumlah kelompok, khususnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), di beberapa kota. Kelompok ini turun ke jalan dengan memakai topeng Guy Fawkes sambil mengacung-acungkan poster "anti-asing aseng asong'. Lewat gorengan isu "beras plastik" juga, organisasi mahasiswa yang dekat dengan Partai Keadilan Sejahtera ini menyuarakan sentimen pribumi versus non-pribumi.

Karena tinggal meng-googling, maka tidak perlu lagi dituliskan akhir dari kasus beras palsu yang kemudian "di-mark up" menjadi "beras plastik asal China". 

Masalahnya, bukan hanya pengusutan kasus ini yang tidak tuntas, melainkan juga informasi tentang "beras plastik" pun tidak terungkap. Tidak mengherankan jika isu ini masih kerap melintasi lini masa media sosial.

Pertanyaannya, benarkah beras yang ditanak Dwi Nurizza adalah beras yang terbuat dari bahan plastik yang produk polimerisasi sintetik atau semi-sintetik?

Benarkan "beras" yang ditanak Dwi Nurizza adalah beras yang terbuat dari plastik, sebagaimana ember plastik, kantong plastik, mobil-mobilan plastik?

Jika melihat foto hasil tanak Dwi yang mirip hunkweesulit dibantah jika Dwi memang benar-benar menanak "beras plastik". Karena "beras plastik" memang benar-benar diproduksi.

"Beras plastik" adalah beras yang dibuat dari campuran mocaf (produk turunan yang berasal dari tepung singkong/tapioka dan setelah melalui modifikasi sel singkong lewat fermentasi, menghasilkan karakteristik khas, sehingga dapat digunakan), jagung, protein susu, dengan bahan tambahan untuk meningkatkan kandungan protein serta sifat fungsionalnya.

Karena bahan campurannya, jika cara menanak "beras plastik" sama dengan menanak beras biasa, hasilnya hunkwee atau sama seperti beras yang ditanak oleh Dwi pada 18 Mei 2018.

Karena bahan pembuatnya, "beras plastik" memiliki sejumlah kelebihan dibanding beras biasa, di antaranya, memiliki kandungan protein, serat, vitamin dan mineral tinggi. Selain itu, "beras plastik" ini pun bebas gluten dan berkadar gula rendah.

Karenanya, istilah bagi beras buatan atau beras tiruan bukan "beras plastik", melainkan "beras cerdas". Beras cerdas ini merupakan upaya diversifikasi pangan yang digagas oleh Achmad Subagyo pada 2004.

Dan, sebenarnya, "beras plastik" ini sudah diberitakan oleh sejumlah media pada 2013.

Maka jelas sudah, bagi sebagian orang yang tidak malas googling, beras plastik adalah sebuah fakta akan kemajuan dalam sektor pangan. Sebaliknya, bagi yang malas googling, beras plastik adalah beras yang terbuat dari bahan polimer. Dengan kata lain, orang yang memercayai isu beras plastik adalah orang yang miskin informasi, atau setidaknya kurang up date.

 
Lihat Tweet Partai Gerindra lainnya
 
Karenanya, ketika kelompok yang malas googling ini bicara atau mengritik kebijakan pangan pemerintah Jokowi, maka kelompok yang tidak malas googling pastinya tidak mungkin menerimanya begitu saja.

Dan, benar saja, ketika mereka meneriakkan tentang pemerintah Jokowi yang dikatakannya gagal dalam menyediakan kebutuhan pangan, fakta yang sebenarnya justru sebaliknya. Menurut data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor produk pertanian terus meningkat dari Rp 403,8 triliun pada 2015 menjadi Rp 499,3 triliun pada 2018.

Demikian juga dengan Sandiaga Uno yang kerap kali menarasikan petani bertambah miskin, sebab faktanya jumlah penduduk miskin di desa yang tentu saja mayoritas petani semakin menurun sejak 2015. Jumlah penduduk miskin di desa, menurut BPS, menurun dari 17,74 juta jiwa pada 2013 menjadi 15,81 juta jiwa pada 2018.

Begitu juga dengan bawang merah. Menurut data BPS, nilai ekspor bawang merah dari 2014 ke 2018 meningkat 41,21 persen. Sementara, sejak 2017 Indonesia sudah tidak impor bawang merah lagi. Padahal nilai impor bawang merah pada 2014 tercatat 74,90 ribu ton.

Jadi kalau ada petani bawang merah yang menangis, mungkin bukan lantaran merugi, tetapi karena baru saja mengupas bawang merah untuk memasak nasi goreng.    

Bila hoax "beras platik asal China" tidak lagi sehebat di masa awal penyebarannya dan hanya sesekali melintasi lini masa, tidak demikian dengan hoax yang menarasikan bila kehidupan petani lebih menderita di era Jokowi. Hoax ini terus disemburkan berulang-ulang secara masif lewat sejumlah media, terutama media sosial. Karenanya, hoax tentang petani yang lebih menderita di masa Jokowi bisa digolangkan sebagai "Propaganda Rusia" atau "Firehouse of Falsehood".

Dan, seperti dalam artikel "Propaganda yang Serang Jokowi Lebih Jahat dari "Firehouse of Falsehood", isu "beras plastik" yang kemudian diimbuhi "asal China" merupakan salah satu contoh propaganda yang jauh lebih jahat dari "Firehouse of Falsehood". Sebab, isu "beras plastik" yang kemudian diimbuhi "asal China" bukan hanya sekadar hoax, melainkan juga berpotensi memecah belah anak bangsa.

***