Jika ingin melihat orang yang marahnya sudah sampai ke ubun-ubun, lihatlah komentar-komentar Amien Rais lewat media. Ketua Majelis Kehormatan PAN ini seperti tak henti-hentinya berkomentar julid terhadap Jokowi. Ada saja komentar-komentar pedasnya tentang Jokowi.
Amien bahkan menyebut bahwa pemerintahan Jokowi ini otoriter dan lebih militer dari Prabowo. Lho, kalau dianggap lebih tegas dari Prabowo bagus dong kalau gitu. Berarti pilihan pak Amien ini sudah tepat kan? Kalau ada yang lebih tegas, ngapain cari yang lain?
Bapak Reformasi yang sempat disebut-sebut sebagai lokomotif reformasi ini memang seperti tak lelah untuk merecoki kondisi politik di Indonesia yang makin semrawut dengan drama hoaks. Meskipun bersahabat erat dengan Buya Syafii Maarif, Amien justru kini bersikap bertolak belakang sebagai bapak bangsa tersebut.
Buya Syafii berkomentar apa adanya. Tak pernah sampai mengomentari Prabowo ataupun Sandiaga Uno dengan cara yang amat tendensius. Beda dengan Amien Rais. Sepertinya kehidupan Amien Rais sehari-harinya hanya diisi dengan mendawamkan keburukan-keburukan Jokowi.
Tuduhan Amien bahwa pemerintahan Jokowi otoriter sebetulnya tak perlu ditanggapi secara serius. Wong Indeks Demokrasi Indonesia tahun dari tahun 2015 sampai 2017 cukup positif dan terus meningkat setiap tahunnya.
Jika dilihat dari tabel yang ada, indeks Demokrasi Indonesia pada tahun 2015 memiliki skor 65, kemudian naik pada tahun 2016 dengan skor 68 dan pada tahun 2017 menjadi 70. Dari data yang dilansir dari BBC.com ini jelas membantah tuduhan bahwa pemerintahan Jokowi otoriter.
Sikap otoriter itu justru tercermin pada Prabowo, calon presidennya pak Amien Rais. Prabowo tercatat dua kali melangkahi perintah atasan. Pertama, kisahnya diceritakan Sintong Panjaitan dalam bukunya Perjalanan Seorang Prajurit Komando (2009).
Prabowo saat itu menyuruh pasukannya bersiaga tanpa sepengetahuan Luhut Binsar Pandjaitan yang menjadi atasannya. Prabowo menduga bahwa L.B.Moerdani akan melakukan kudeta. Belakangan setelah diusut oleh Luhut, dugaan Prabowo tersebut meleset.
Bukan kali itu saja Prabowo bersikap otoriter. Sikapnya yang mau seenaknya sendiri itu akhirnya menutup karirnya dalam dunia militer. Saat pergantian kepemimpinan dari Presiden Soeharto kepada wakilnya BJ Habibie, Prabowo pernah menyiagakan pasukan Kostrad tanpa sepengetahuan dari pucuk pimpinannya.
Untunglah Habibie tegas dengan ancaman tersebut. Dan terbukti bahwa kini Prabowo memang sangat ambisius sekali untuk meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Entah apa jadinya jika saat itu Habibie tunduk pada Prabowo.
Lain Prabowo lain juga Jokowi. Jokowi sebagai negarawan paham bagaimana menentukan posisi. Dengan tegas Jokowi mengatakan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasar pada konstitusi, bukan mobokrasi yang memaksakan kehendak massa.
Penyataan tersebut boleh saja sih ditafsirkan sedang menyentil Amien Rais dan Prabowo yang tergabung dalam setiap aksi Alumni 212. Gerakan yang diklaim tak ada kaitannya dengan politik itu begitu gigih menyuarakan aksi ganti presiden dan pro khilafah yang dibekingi oleh HTI.
Rakyat kini bisa menilai sendiri apakah pemerintahan Jokowi otoriter atau tetap menjunjung asas demokrasi.
Yang lebih gila lagi, setiap ada "ulama" yang tersandung kasus karena kesalahannya sendiri, kerap kali dikait-kaitkan dengan Jokowi. Kriminalisasi ulama digaungkan untuk mencitrakan bahwa pemerintahan Jokowi ini anti Islam.
Padahal "ulama-ulama" yang tersandung kasus hukum tersebut tak ada kaitannya sama sekali dengan Jokowi sebagai pribadi apalagi Jokowi sebagai Presiden. HRS tersandung chat mesum sampai melarikan diri ke Arab Saudi. Sikap HRS ini dianggap mecederai akhlak seorang ulama. Sosok Ahok saja yang dilaknat habis-habisan oleh HRS tetap menghadapi proses hukum dan menjalani hukuman. Dari sini saja rakyat bisa menilai sendiri.
Terakhir Habib Smith yang jelas-jelas melakukan kekerasan kepada anak di bawah umur, tersandung akibat ulahnya sendiri pula. Tapi, oleh kubu Prabowo menggoreng isu ini sedemikain rupa bahwa inilah upaya kriminalisasi ulama oleh pemerintah.
Tak tanggung-tanggung, dukungan terhadap Habib Smith pun mengalir dari Sandiaga Uno. Apa jadinya jika preman yang menyelesaikan masalah dengan kekerasan, malah didukung oleh cawapres yang akan memimpin negara hukum?
Semua orang di mata hukum sama. Hukum tidak pernah membedakan siapapun. Mau ulama, mau keluarga presiden, mau menantu presiden, mau anak presiden jika berbuat salah apalagi pernah membunuh dengan menggunakan tangan orang lain, sudah layak mendapatkan hukuman yang setimpal.
"Pemerintahan Jokowi menjadikan hukum sebagai instrumen untuk menegakkan keadilan, bukan sebagai instrumen untuk melanggengkan kekuasan. Komitmen Jokowi terlihat dari beberapa kasus yang menimpa kader parpol Koalisi Indonesia Kerja, Jokowi tidak membela kader yang menjadi tersangka, meski berasal dari parpol pendukungnya."
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews