Rencana Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) untuk demonstrasi pada 30 April 2020 tidak mendapat simpati masyarakat . Rencana aksi saat Pandemi Covid-19 dianggap membahayakan buruh, keluarga buruh, hingga masyarakat sekitar.
Kelompok buruh senantiasa memperingati hari buruh 1 mei dengan aksi demonstrasi, termasuk KSPI. Kelompok pimpinan Said Iqbal tersebut berencana mengelar aksi massa guna menolak penerapan Omnibus Law. Selain itu mereka juga menginginkan agar perusahaan tidak melakukan PHK saat pendemi Covid-19.
Terdapat dua titik yang menjadi fokus utama aksi para buruh yakni di Gedung DPR/MPR RI dan Kantor Menteri Koordinator Perekonomian RI.
Rencananya, sebanyak 50.000 buruh Se-Jabodetabek akan berdemo di depan gedung DPR. Selain tuntutan untuk libur, maka para mereka juga meminta untuk perusahaan agar tidak memutus hubungan kerja seenaknya. Karena pandemi ini adalah kondisi khusus, dan bukan salah buruh jika pabrik jadi merugi akibat efek domino corona. Mereka juga dengan tegas menolak undang-undang omnibus law yang merugikan para buruh di seluruh Indonesia.
Secara prinsip perjuangan organisasi pekerja dalam menuntut hak-hak buruh patut didukung dan diapresiasi. Hak-hak pekerja memang tidak boleh dikangkangi. Kepentingan kaum buruh harus dilindungi, termasuk hak untuk menyampaikan pendapat. Namun demikian, buruh juga patut mempertimbangkan krisis kesehatan yang saat ini sedang terdampat akibat Covid-19.
Di tengah pandemi COVID-19, demonstrasi seperti ini sangat mengkhawatirkan. Apalagi ketika ada kebijakan PSBB, dan tidak boleh ada kumpulan massa besar-besaran. Masyarakat mengecam niatan para buruh yang tetap keras kepala dan menuntut dengan cara demonstrasi. Mereka dinilai tidak peka dan tidak bisa mengerti mengapa ada pembubaran massa.
Jika tetap ngotot ingin berkumpul dan berdemo dengan banyak orang, maka dikhawatirkan akan menularkan virus corona satu sama lain. Ketika para buruh tidak bisa tertib dan menaati PSBB, maka kapan pandemi ini akan berakhir? Seharusnya mereka menghargai keputusan pemerintah untuk jaga jarak, agar tidak ada lagi pasien COVID-19 berikutnya.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbakl memang mewacanakan bahwa demonstrasi akan menggunakan konsep physical distancing dengan tetap menjaga jarak peserta aksi, memakai masker, dan membawa hand sanitizer seper. Namun hal itu sepertinya sulit untuk dipraktekkan secara disiplin, apalagi dalam jumlah massa yang besar.
Belum lagi, potensi benturan antara pihak pengunjuk rasa dengan pihak aparat keamanan sangat mungkin terjadi. Hal ini bisa berpotensi menimbulkan kerusuhan yang lebih luas di tengah frustasi sosial akibat wabah COVID-19.
Polisi juga sudah bersiap-siap dalam menghadapi aksi di hari buruh. Mereka dengan tegas menolak demo di tanggal 1 mei dan tidak akan pernah memberi izin keramaian pada acara tersebut. Ketika ada aksi massa maka harus segera dibubarkan. Bukannya jahat, tetapi itu demi keamanan mereka sendiri.
Para buruh tidak sadar bahwa ketika berdempetan sambil membawa poster tuntutan, akan menambah potensi penularan virus dan keluarga yang di rumah bisa saja jadi korban berikutnya.
Para personel Brimob dan Sabhara sudah dipersiapkan untuk mencegah jika nanti aksi massa ini benar-benar terjadi.
Jika memang tidak bisa dicegah dan aksi massa tetap diadakan, maka polisi bisa dengan cepat membubarkan demo ini. Tindakan ini bukannya mencegah terjadinya demokrasi, tapi memang harus dilakukan demi keamanan semua orang karena berpotensi menularkan virus COVID-19.
Demo di tengah pandemi corona tentu dilarang habis-habisan. Para buruh diharap mengerti lalu membatalkan rencananya. Namun jika mereka masih ngotot, dengan alasan membela hak kaumnya, maka akan terjadi pembubaran massa. Sudah seharusnya aturan social distancing ditaati sehingga tidak boleh ada demonstrasi walau dengan alasan memperingati hari buruh internasional.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews