Mari Menonton Sinetron (Indonesia) Episode Baru

Itulah ironi demokrasi di Indonesia, yang walau selalu mendaku sebagai mayoritas, bukanlah gambaran kekuatan besar sesungguhnya.

Selasa, 22 Oktober 2019 | 13:51 WIB
0
683
Mari Menonton Sinetron (Indonesia) Episode Baru
Prabowo Subianto (Foto Liputan6.com)

Premisnya dimulai dari saya bukan cenayang, apalagi cenayang politik. Saya hanya kebetulan seorang lulusan FISIP di UI, dengan latar belakang Ilmu HI yang tidak (bisa) sepenuhnya dianggap sebagai ilmu politik. Namun saya harus sampaikan, bahwa tidak terlalu sulit untuk membaca dan memahami peta politik bahwa apa yang terjadi sampai sehari setelah Presiden dilantik akan berujung seperti ini.

Jauh hari sudah bisa diprediksi, karena itu tak perlu terheran-heran banget. Santai san biasa-biasa saja. Wabil khusus, bahwa Prabowo dan partainya diundang masuk ke dalam Kabinet Jokowi yang entah apa itu namanya. Konon namanya jadi Kabinet Rekonsiliasi. Nama yang cukup aneh menurut saya, karena perang sesungguhnya bukanlah perang yang betul berdarah-darah.

Bahwa terjadi segregasi, perpecahan di tengah masyarakat, permusuhan internal keluarga, blok-blokan di kantor. Itu hanya masalah sosial biasa di era digital, yang penyebabnya bisa apa saja. Hal itu justru menunjukkan bahwa belum siapnya kita berdemokrasi dengan menggunakan nalar sehat. Masih lama atau tidak akan pernah, saya tidak tahu.

Apalagi kalau melihat bahwa sesungguhnya yang berseteru di Pilpres kemarin adalah antar-saudara sendiri: sesama nasionalis. Lain ceritanya, kalau yang bertarung head to head kemarin adalah kaum nasionalis-abangan dengan agamis-relijius. Tentu ceritanya akan jadi lain. Lah yang disebut belakangan itu, ada di kedua belah pihak dan hanya berstatus pembonceng, pendompleng, dan kaum rewo-rewo yang tak pernah bisa bersatu dalam satu kotak tertentu.

Itulah ironi demokrasi di Indonesia, yang walau selalu mendaku sebagai mayoritas, bukanlah gambaran kekuatan besar sesungguhnya. Mereka terlalu mudah menjadi sektarian, bukan dengan kelompok yang berseberang secara ideologi, tapi justru terutama dengan saudara-saudaranya sendiri yang seiman. Menggambarkan bahwa mantra devide et impera yang diwariskan Snouck Hourgrenje ratusan tahun yang lalu masih panjang umurnya. Sangat panjang....

Beberapa waktu yang lalu, saat kampanye Pilpres memasuki masa Debat Publik. Saya sempat menegur seorang sahabat yang saya anggap bersikap sarkas terhadap rival Jokowi tersebut. Beliau meletakkan kakinya, ketika muka pasangan Prabowo Sandi sedang tayang di televisi. Publik hingga saat itu masih bersitegang, sedemikian rupa bahwa pilihan masing-masing adalah harga mati.

Dan sandiwara tersebut berlangsung terus, hingga Pilpres berlangsung, quick count dilakukan, bahkan hingga penetapan resmi dari KPU. Konon, di lapangan untuk menentang hasil pengumuman KPU harus berjatuhan korban "massa bayaran" yang saya pikir bukan saja konyol, tapi ironi sekali. Karena sesungguhnya, di belakang layar kedua elit partai itu, sedang nongkrong bersama di sebuah cafe.

Sambil minum dan makan, mereka sudah merancang sedemikian rupa hal mana yang akan terjadi di hari ini. Bahwa kemudian publik kaget, ada ceremony politik nasi goreng di rumah Megawati. Hal tersebut sudah jauh waktu dipersiapkan sebelumnya.

Pertanyaannya kemudian, seserius apakah sebenarnya Prabowo mencalonkan diri?  Bagi saya sih tidak serius-serius amat! Apa indikasinya? Ia memilih Sandiaga Uno sebagai wakilnya. Sebuah pilihan yang melulu karena pertimbangan finansial. Tak ada yang lain!

Ia hanya mencontoh Anies Baswedan, ketika ia bersedia dicalonkan tapi sekaligus menanggung biaya yang diakibatkannya. Prabowo dan keluarga besarnya, rupanya belajar dari pencalonannya pada 2014 lalu. Yang diongkosi sendiri, tetapi ternyata di tengah jalan dikadali oleh geng-nya PKS untuk membiayai para calegnya sendiri di berbagai daerah. Gaya berpolitik PKS yang suka mengkadali teman sekoalisinya inilah, yang kemudian menghasilkan istilah kadal gurun. Disingkat dengan sadis sebagai "kadrun".

Momentum terbaik Prabowo, sesungguhnya ketika ia ditawari untuk menjadi Cawapres Jokowi. Tapi, ia terganjal (atau diganjal, pilih sendiri mana yang lebih tepat) oleh "ikatan emosi" dengan keluarga Cendana yang pasti akan mencegahnya. Curangnya, Cendana sendiri tak pernah all-out mengongkosi pencalonan Prabowo.

Tanya kenapa? Cendana dicegah oleh peliharaannya sendiri. Apa peliharaannya itu? Kaum radikalis dengan berbagai segmen perjuangan, mulai dari hanya aktivis masjid, kelompok rohis, hingga para teroris yang tersegmentasi dalam berbagai aliran. Pelan-pelan ketika air dan minyak, yang terwujud dalam cebong dan kampret mampu dilumerkan, ternyata ampasnya adalah kaum kadrun itu! Itulah realita keras yang terjadi. Makanya enteng saja, ketika Prabowo bertemu Megawati yang diawali dengan pertemuan Jokowi dan Prabowo di MRT yang diakhiri dengan makan siang berdua di bawah gambar dua kelompok Punokawan beda mahzab itu!

Lalu kenapa yang jadi korban adalah justru Partai Nasdem, yang di banyak kesempatan mempromosikan diri sebagai partai tanpa mahar itu? Satu-satunya partai yang tanpa pretensi dapat jatah menteri berapa? Apakah dirinya memang sebaik dan setulus itu?

Persoalannya kan bukan baik dan tulus. Rupanya gaya main (sinetron) Nasdem dan Suryo Paloh itu dibaca dengan baik oleh Megawati, bahwa ia tak lebih baik dari SBY dan Partai Demokratnya. Berbagai manuver Partai Nasdem yang seolah memposisikan diri sebagai partai modern yang bersih itu, sialnya tanpa sengaja mulai terbuka kedoknya.

Kalau selama ini, Suryo Paloh dianggap sebagai "hanya" sebagai raja media, rupanya ia terlalu berambisi menjadi "raja minyak" di Indonesia. Tentu kita tahu, mulai tahun depan sangat banyak kontrak karya dengan banyak perusahaan minyak asing yang jatuh tempo. Dan konsesi yang seharusnya akan diambil alih oleh Pertamina sebagai perusahaan negara itu, akan digunting di tengah jalan oleh beliaunya ini. Sejenis kadal lain menurut saya.

Tapi hanya itukah kesalahan Nasdem? Ternyata tidak! Bagian terberat yang tidak banyak terungkap publik adalah pembiaran yang dilakukan oleh Partai Nasdem ketika Ahok akan dijatuhkan. Menurut Ahokers, semestinya Ahok bisa diselamatkan jika Grup Metro Tivi yang saat itu sungguh-sungguh mau menjadi benteng Koalisi Jokowi; mau sedkiit bersuara keras.

Tapi Metro Tivi memilih cara bermain aman, sebagaimana stasiun-stasiun lainnya atas nama kebebasan pers. Dan hal ini, diperparah ketika Jaksa Agung yang dipegang kader Nasdem, ternyata juga tak bisa berbuat apa-apa untuk melindungi Ahok yang belakangan memutuskan bergabung sebagai kader PDI-P.

Lebih sial lagi, tanpa rasa sungkan di akhir cerita tiba-tiba Surya Paloh seolah-olah mengelus-elus Anies Baswedan sebagai calon pemimpin masa depan. Ambyarlah semua perkiraan konstelasi politik nasional. Dan bila akhirnya, jika benar-benar Nasdem memilih jadi partai oposisi, itu karena apes saja. tapi kok saya tak yakin Jokowi akan membiarkan itu terjadi. Beda dengan Megawati, Jokowi bukanlah figur pendendam!

Saya setuju dan berempati, pada banyak sahabat saya yang akan merasa risi dengan bergabungnya Gerindra dan Prabowo dalam kabinet baru. Sebagai kaum puritan (konservatif), mereka pun saya akan tetap berpegang pada prinsip baik bahwa sekotor-kotor politik, ia hendaknya bisa jadi panduan jalan lurus kebaikan. Ia harus menjadi teladan etika kehiduan berbangsa yang sehat!

Tapi sekali lagi "politic is politic", ia juga bebas memilih logikanya sendiri. Bagi saya politik itu tak sekedar ilmu, ia juga bisa jadi seni. Tapi juga bisa hanya sekedar teknik atau bahasa. Ia bisa menjadi apa saja, tergantung cara kita mengapresiasinya. Jangan lupa kredo: semakin kita tidak berpolitik, justru sejak saat itu kita juga sedang memainkannya. Maka dalam politik sesungguhnya sejahat-jahatnya pemilih adalah orang yang tidak (berani) memilih.

Maka dari itu mulai-lah belajar politik, dari kehidupan nyata. Bukan buat apa-apa, hanya agar kita tidak terlalu mudah kecewa lalu bertanya-tanya. Agar hidup tetap bersemangat, tidak mudah kehilangan teman, dan selalu mau bersikap optimis. Ingat pula kredo lain yang mengatakan: kejahatan akan terus terjadi ketika orang baik terus diam! Karena itulah saya memilih tidak pernah bungkam....

Akhirul kata: saya tetap berkhidmad pada Jokowi, yang setegang apapun tetap santai. Sedihina apapun, tetap memiliki rasa hormat. Seditikam apapun, ia tetap berdri tegar. Karena ia memiliki kesadaran luhur: tak bisa berdiri sendiri. Ia adalah pengamal sejati the art of war Sun Tzu: ia dekat kepada pendukungnya, tapi ia akan (berani) mendekat kepada musuh-musuhnya.

Sebagai pimpinan tertinggi bangsa ini, tentu ia memiliki data yang jauh lengkap dan valid dari siapa pun: Apalagi dibanding kita yang cuma remah gorengan dalam kaleng Khong Guan. Utama siapa sesungguhnya musuh bangsa ini: ya jelas kaum kadrun itu, yang di belakangnya adalah keluarga Cendana.

Sebagaimana Dasamuka, yang telah terpenggal kepala utamanya, tapi sembilan kepala yang lainnya masih beredar mengganggu dimana-mana. Dan mulai esok hari, ia akan menggunakan jendral (sepuh, terdekat, dan terakhirnya) untuk membasmi (atau minimal meredam) mereka ini semua.

Dalam konteks itu, cara berpikirnya adalah bukan Jokowi merangkul dan berbagi kursi dengan Prabowo. Ia sedang menghukum dan mengujinya....

Sebuah serial sinetron episode baru yang layak kita tunggu ceritanya.

***