Penetrasi Lawan Politik yang Harus Jokowi Waspadai

Penetrasi tetap bisa ditolerir, tetapi sebaiknya dihitung lebih teliti. Hubungan baik secara pribadi kekeluargaan jelas berbeda dengan arti hubungan baik di wilayah politik.

Jumat, 18 Oktober 2019 | 19:46 WIB
0
234
Penetrasi Lawan Politik yang Harus Jokowi Waspadai
Prabowo dan Joko Widodo (Foto: idntimes.com)

Beberapa waktu terakhir menjelang pelantikan Presiden dan Wapres tanggal 20 Oktober 2019, muncul beberapa informasi dan indikasi adanya upaya penggagalan pelantikan. Ada teroris JAD yang ditangkap karena mau melakukan amaliah, berupa suicide bombing. Densus 88 menemukan semacam bom racun.

Aparat keamanan, baik BIN, Polri yang di back up TNI dan Bais TNI sudah memetakan ATHG, counter preventif dan represif. Tidak berspekulasi mengingat cukup banyak kepala negara dan perwakilan negara sahabat yang akan hadir. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menegaskan, yang ganggu pelantikan akan berhadapan dengan TNI (bahasa komunikasi; loud and clear).

Penulis pernah menulis mengingatkan, perlunya diperdalam rangkaian signal atas beberapa kasus seperti masalah IT rekening Mandiri, black out PLN, demo kekerasan warga Papua, statement pisau bermata dua World Bank yang menyebut Indonesia tidak kompetitif, menggeliatnya jaringan JAD. Itu perlu dibaca sebagai signal keras dengan pola proxy, turunkan atau pressure maksimal. Tersirat operasi conditioning yang sulit dibuktikan tapi dapat diraba.

Bagaimana persepsi intelijen membaca situasi dan kondisi yang berlaku? Greget berita penusukan Menko Polhukam Wiranto agak menurunkan derajat kepercayaan terhadap fungsi pengamanan (lid, pam, gal). Ada titik rawan yang bisa ditembus, apapun alasannya, dan siapapun pelakunya itu sudah terjadi. Bukan bom tapi dengan pisau, ada yang mampu melakukan aksi teror dan melukai top ranking pembantu presiden. Mereka yang anti Jokowi bisa saja beroperasi sendiri-sendiri atau berkolaborasi, tergantung principle agent.

Bagaimanapun, pelantikan presiden dan wakil presiden adalah pertaruhan dan martabat bangsa Indonesia. Ada yang tetap mengancam akan demo dan ada pendukung yang akan datang, ini bisa dikendalikan dan disekat. Pelantikan dinilai sebagai momentum bagi lawan politik dan kelompok die hard yang tidak puas. Aksi demo bisa digoreng menjadi anarchis seperti yang pernah terjadi di seputaran DPR. Gaungnya akan besar dan jelas merugikan citra Indonesia pada umumnya dan Pak Jokowi pada khususnya. Awasi penyusupan dari teroris atau spesialis riot, dikalangan yang kontra maupun pro.

Penetrasi Politik Prabowo

Penulis selain menganalisis sikon ancaman, kini melihat gelagat lain yang unik tapi perlu diperhitungkan, yaitu penetrasi dari lawan politik Jokowi. Prabowo saat pilpres adalah lawan politik Jokowi yang tangguh, didukung beberapa mantan petinggi TNI ahli strategi, ilmuwan beragam ilmu, ahli IT, juga para kelompok pembonceng fanatis yang memanfaatkan pilpres untuk mencari peluang.

Ujaran puncak saat kampanye pilpres yang tertinggi adalah "Ganti Presiden 2019". Dengan selesainya pilpres, apakah ambisi ini sudah pupus? Jelas tidak. Beberapa waktu terakhir Prabowo berhasil merapat ke Ketum PDIP, Megawati, patron terkuat di politik. Semua Ketum Parpol segan kepadanya, karena selain parpolnya pemenang pemilu, kharismanya masih besar.

Hanya Mega yang berani menyebut Presiden Jokowi sebagai petugas partai. Dalam sebuah acara yang ramai, disorot kamera, Surya Paloh Ketum Nasdem dan AHY, putra mahkota Demokrat tidak disalami Mega, ini tokoh ampuh dan confident.

Prabowo juga di setting dipertemukan dengan Presiden Jokowi, di MRT, makan di Plaza Senayan. Jelas ada pembicaraan dan kesepakatan tertutup. Prabowo juga menemui Ketum Nasdem, Surya Paloh, akrab berpelukan. Juga menemui Ketua MPR Bambang Soesatyo, menyambangi Golkar, bertemu Ketum Airlangga, bersafari ke PKB, selesai sudah.

Bagaimana membaca ini? Prabowo bukan orang lain, pernah jadi cawapresnya Mega. Dahulu bersama-sama di Golkar dengan Surya Paloh dan Airlangga. Road show politik Prabowo jelas ada tujuan tertentu. Para pengamat mengatakan Gerindra ingin ada wakilnya di Kabinet. Sesederhana itukah? Rasanya tidak. Konseptornya pintar, begitu menyebut tidak ada sekat lagi, bersama dalam membangun bangsa dan negara, tidak ada ssorangpun yang mampu membantah.

Penulis menilai ini sebagai penetrasi ke dalam kekuasaan Presiden Jokowi. Menurut Cambridge Dictionary penetrasi adalah kesuksesan mendapat akses ke suatu organisasi , atau kesuksesan menjadi bagian organisasi sesuatu, atau bisa berarti sebagai usaha untuk mencapai sesuatu. Terbaca ada tiga target, yaitu pertahanan, energi dan pertanian. Deal sudah putus, selama bukan nadi pemerintah yang diberikan, well done saja.

Kemarin penulis membaca kembali seni perang Sun Tzu, The Art of War. Jenderal China ini mengeluarkan 36 skenario perang yang diambil dari kisah fabel sejarah China pada zaman Negara-negara berperang dan zaman Tiga Negara.

Sun Tzu, Intelijen dan Penetrasi

Dari persepsi intelijen, menurut tokoh intelijen legendaris Pak Benny Moerdani Alm, bahwa begitu seseorang menang dan menjadi presiden, maka akan ada orang yang ingin menggulingkannya. Penulis pernah menganalisis ada lawan luar negeri menggunakan proxy dalam negeri dengan pola gerakan subversi. Sudah tahukah intelijen siapa mereka?

Menurut Sun Tzu "Tahu dirimu, tahu musuhmu. Seribu pertempuran, seribu kemenangan. Jika Anda memahami “Langit” dan Anda memahami “Bumi”, akan membuat kemenangan Anda semakin lengkap. Jokowi harus tetap waspada kepada lawan politiknya , seperti memahami langit dan bumi. Jangan sebaliknya justru difahami oleh lawannya . Ini persaingan taktik dan strategi.

Menurut Sun Tzu Setiap orang dapat melihat taktik-taktik dimana saya mampu menaklukkan lawan. Tapi tidak semua orang dapat melihat strategi dari kemenangan yang saya perjuangkan. Memilih pembantunya di kabinet adalah taktik, tetapi strategi besarnya jangan sampai bocor. Taktik untuk menang dalam pertempuran, strategi untuk menang perang.

Kesempatan untuk menghindari kekalahan agar sukses terletak di tangan Jokowi sendiri. Namun kesempatan untuk mengalahkan musuh, disediakan oleh musuh sendiri. Bukan hanya sekedar melihat siapa lawan politik dan musuh taktis lainnya. Lihat dan ukur siapa negara super power yang anti Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi.

"Dari semua pasukan yang bisa dekat dengan komandan, tidak ada yang lebih intim dibanding mata-mata atau intel. Penguasa yang mulia adalah pemimpin yang peka, dan jenderal yang baik adalah dia yang berhati-hati." Disini pentingnya Pak Jokowi mempunyai intelijen yang tangguh disamping harus peka membaca situasi. Inner circle-nya harus hati-hati dan waspada, alert menghadapi perkembangan situasi kawasan yang imbasnya bisa serius bak Tsunami.

Sun Tzu menegaskan, untuk menyerang dan pasti merebutnya, rumusnya, "seranglah di mana mereka tidak bertahan", keunggulan terbesar dengan memecah perlawanan musuh tanpa pertempuran. Masuknya Prabowo ke koalisi, apakah memecah kesatuan koalisi parpol? Munculnya perbedaan pendapat tokoh utama apakah melemahkan soliditas dan ketahanan pihaknya? Di sini titik terlemah pertahanan kubu politik Jokowi. Bibit perpecahan bisa menjadi malapetaka dikemudian hari.

Penutup

Penulis menyampaikan analisis ini bukan anti kepada persatuan, atau anti kepada lawan politik Pak Jokowi atau anti penghilangan sekat. Cara berfikir intelijen adalah worst condition, intelijen harus mampu membaca fenomena keganjilan dan hal-hal yang tidak wajar dan bisa menurunkan etos kerja, semangat dan kesetiaan. Agar apabila hal terburuk itu terjadi, Jokowi tidak terkena unsur pendadakan dan menjadi gugup.

Sekali lawan politik bergabung, maka kelemahan yaitu kerawanan pemerintah saat the past, the present dan the future akan diketahuinya. Kerawanan menurut ilmu intelijen adalah kelemahan yg apabila dieksploitir lawan akan menyebabkan kelumpuhan, bahkan kelumpuhan permanen.

Menurut penulis, penetrasi tetap bisa ditolerir, tetapi sebaiknya dihitung lebih teliti diminimalisir dengan kompartmentasi. Hubungan baik secara pribadi kekeluargaan jelas berbeda dengan arti hubungan baik di wilayah politik, dimana kepentingan yang lebih menonjol, disamping adanya raja tega.

Penulis kalau boleh mengatakan, Pak Jokowi masih berada pada posisi rawan pada tataran geopolitik dan geostrategi kawasan, karena masalah kebijakan di internalnya sendiri. Setelah dilantik, kelebihannya baik power kekuasaan, wewenang eksekutif, dan hak prerogatif ditangannya dan presiden dilindungi konstitusi dengan perangkat yang lengkap. Tidak perlu ragu-ragu dalam mengambil keputusan, selama presiden jeli memilih orang-orang yang loyal kepadanya.

Demikianlah sekedar pendapat penulis, semoga sumbang pemikiran ini bermanfaat. Tidak ada maksud buruk dan mengajari, ini hanyalah sumbang saran dari persepsi intelijen. Semoga Allah melindungi Indonesia tercinta dengan barokahNya, Aamiin. 

Jakarta, 18 Oktober 2019

Marsda Pur Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen

***