Makna Pertemuan Jokowi-Prabowo

Begitulah cara orang Sala biasanya mempermainkan lawannya, ia di depan sangat sopan, tapi suka sekali menunjukkan siapa dirimu dan mungsuhnya.

Minggu, 14 Juli 2019 | 22:33 WIB
0
678
Makna Pertemuan Jokowi-Prabowo
Pertemuan Jokowi-Prabowo (Foto: Facebook/Andi Setiono Mangoenprasodjo)

Sepulang dari Sala tengah malam tadi, buka efbe dan ditodong oleh banyak teman untuk menuliskan makna-makna pertemuan Jokowi-Prabowo. Saya terkekeh, ngakak melihat jawilan penulis hebat favorit saya yang selalu "nakal tapi jujur dan ekspresif" setiap kali nulis: Meicky Shoreamanis Panggabean.

Dia Ahokers dan Jokowers garis keras, gak kayak saya yang cuma garis unyu-unyu. Dia ini yang saat para polisi yang kelelahan menghadapi para perusuh saat 21-22 Mei teguh hati menggalang dana dan logistik untuk mensupport ransum mereka. Benar-benar berada di garis depan. Mengingatkan saya pada sejenis Ibu Ruswo di Jogja saat Agresi Militer 1 dan 2, yang namanya sekarang menggantikan Jalan Yudonegaran.

Atau yang lebih menasional Erna Djajadiningrat, perempuan Sunda yang menjadi penerima pertama Bintang Gerilya. Kiprahnya sebagai pendiri organisasi WANI (Wanita Indonesia) di Jakarta. Ia mendirikan Dapur Umum untuk menyediakan nasi bungkus untuk beratus-ratus tentara dari Badan Keamanan Rakyat, Polisi Umum, dan Jawatan Kereta Api.

Padahal pada masa itu situasi politik dan ekonomi buruk, keamanan jelek, uang dan pangan sulit. Namum usaha itu dijalankan Erna dengan tabah dari hari ke hari. Hingga ia dijuluki "Si Nona Keras kepala” oleh Jepang dalam menyelenggarakan dapur umum benar-benar berkarakter wani atau berani.

Saya gak heran kalau sejarah selalu berulang, dan hari2 ini ada figur-figur sejenis Erna di era yang sebenarnya juga belum lagi beranjak lebih baik betul...

Pertemuan Jokowi-Prabowo sendiri buat saya pribadi gak penting-penting amat. Itu pasti terjadi, karena sebagaimana karakternya Jokowi akan lebih terbuka dan santai.

Akan halnya Prabowo, selain dia gak punya pilihan lain. Tentu kompromi adalah jalan yang paling murah dan bermertabat. Ingat ya kompromi sama sekali tidak sama dengan rekonsiliasi! Rekonsialiasi itu pengennya yang menang, tapi kompromi itu kebutuhan yang kalah.

Pertemuan itu sendiri terasa sangat mendadak, lebih cepat dari yang kita duga. Terjadi di akhir minggu, saat nyaris semua orang kantoran libur dan bisa menyaksikannya di rumah sambil makan cemilan tau jajan pasar.

Sependek yang saya tahu, sejak zaman dahulu filosofi hari Sabtu adalah hari istirahat, berhenti bekerja, ia sering diperingati sebagai hari Sabat, hari perhentian Tuhan setelah menciptakan bumi dan seisinya. Makanya pertemuan kemarin santai sekali, diawali dari naik MRT bersama, lalu berakhir dengan makan siang.

Saya yakin, ini ide Jokowi!

Sebagai mantan walikota Sala, yang di dalamnya ada unsur Republik Aeng-Aeng yang nakal tapi cerdas itu. Improvisasi jenial seperti ini mudah saja muncul, dan yang terpenting terwujud.

Dalam konteks Prabowo, tentu ia tak akan bisa menolak ketika diajak menjajal MRT yang barangkali seumur hidupnya jadi jendral tak pernah dinaikinya di manapun. Ini moment yang bakal menunjukkan bahwa ia juga peduli rakyat loh!

Sebagai kelas borjuis, berdesak-desakan di MRT itu menyebalkan. Salah-salah jadi public enemy, kita dicuekin kaya karung beras bergelantungan sambil mecucu. Tidak percaya, tanya Wan Abud yang jadi gabener Jakarta itu!

Tapi bukan di situ point-nya, saya tidak mengerti bagaimana awal mulanya ada sebuah restoran dengan back-ground seperti yang dipakai Jokowi menjamu Prabowo. Itu satire sekali, bagaimana dua kelompok punakawan dalam pewayangan digunakan sebagai materi interior untuk mempercantik ruang.

Bagi orang Jawa yang kelas tipis-tipis, mungkin akan menganggap oh mereka semua adalah para abdi, yang hidupnya melulu mengabdi. Mereka simbol rakyat jelata, mereka simbol kerakyatan. Yang walaupun juweh, banyak omong dan banyak tingkah. Tapi setia dan selalu segar dan menyenangkan. Begitu? Tidak!

Garis demarkasi dua kelompok punakawan itu sangat jelas dengan adanya gunungan dengan tancep kayonnya. Di sisi kanan, di belakang Prabowo adalah para pamomong Pandawa: Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Di sisi kiri, belakang Jokowi adan Togog dan Bilung. Sisa kiri duduk, itu selalu posisi pemenang, sedang sisi sebelahnya kalau gak tamu yang cuma pemenang kedua (untuk tidak disebut yang kalah).

Cara baca gambar jangan terbalik, apa yang kau lihat itu adalah siapa dirimu. Artinya Jokowi adalah keempat punakawan Pandawa itu, sebaliknya Prabowo adalah Togog dan Bilung, dua tokoh punakawan kelas dua yang hanya di moment-momen tertentu saja dimunculkan.

Bahkan khusus bilung, walau sekarang selalu disebut ia tak selalu muncul dalam pertunjukan. Mbilungan adalah segmen dimana Ki Dalang dengan para bintang tamu saling berkelakar, saling ejek, saling hina. Sesuatu yang ditunggu penonton, tapi nyaris tanpa isi. Ya cuma gojekan!

Bagi orang Jawa yang suka mengamati makna-makna, saya akui Jokowi jahil bener! Ia nakal!

Begitulah cara orang Sala biasanya mempermainkan lawannya, ia di depan sangat sopan, tapi suka sekali menunjukkan siapa dirimu dan mungsuhnya.

Baca Juga: Tak Ada Rekonsiliasi Pendukung Khilafah

Apakah Prabowo mirip Togog? Dalam batas-batas tertentu iya. Togog itu anak Dewa, yang bahkan lebih dulu lahir dari Semar yang pamomong jagad, pemelihara keselarasan Jagad Raya. Sayang Togog gagal menjalankan tugasnya. Hingga ia harus menerima tugas yang sama sebagai pamomong, tapi khusus untuk satria yang berwatak buruk. Bukankah di Pilpres kemarin, yang buruk semua ada di bawah kangkangan 02...?

Sekali lagi Jokowi itu cerdas-nya bukan main! Di luar itu, ia juga selalu beruntung menemukan moment-moment aneh yang luput dari amatan mata awam. Ia bisa tiba-tiba bijaksana seperti Semar, tapi di saat lain ia berani menunjukkan kuasanya macak Petruk, ia keras hati seperti Bagong, tapi jahil setengah mati saat ia berubah jadi Gareng.

Jokowi siapakah sampean ini sebenarnya? Ra penting, pokoke madyang!

***