Saya Bersama Jokowi

Jika aspirasi itu diabaikan, silakan DPR didemo sampai mereka mengakomodasi aspirasi itu. Pasti didukung semua pihak, kecuali para pejabat korup itu sendiri, keluarga, dan teman-temannya.

Senin, 30 September 2019 | 22:04 WIB
0
214
Saya Bersama Jokowi
Presiden Joko Widodo (Foto: Facebook Presiden RI)

Sejak merdeka tahun 1945, rongrongan terhadap Indonesia, baik dari luar maupun dalam negeri, tidak pernah jeda sekejap pun. Periode 1945 – 1966, mulai agresi Belanda, Sekutu, pemberontakan separatis di banyak daerah, kisruh politik ideologi, dan lain-lain.

Lanjut periode 1967 – 1998, meski ada pembangunan tapi biayanya terlalu mahal, ratusan ribu nyawa melayang tanpa kejelasan, sumber daya alam kita terkuras: migas nyaris habis, berbagai mineral (termasuk emas) raib entah ke mana, hutan nyaris habis, kerusakan lingkungan hidup yang sangat parah, plus utang negara yang mencapai 57,7% dari PDB. Selain itu, periode Orde Baru juga ditandai dengan lahirnya sekelompok pengusaha besar yang tidak lain dari keluarga dan kroni penguasa.

Setelah berkuasa 32 tahun Orde Baru mewariskan segunung persoalan bagi bangsa ini. Bahkan 16 tahun setelah Reformasi 1998, persoalan itu nyaris tidak tersentuh sama sekali, yang ada justru korupsi makin menggila. Sungguh banyak sekali ‘piring’ yang harus dicuci. Demokrasi yang disepakati sebagai memang bukan obat ajaib yang khasiatnya instan, seperti air memadamkan api. Perlu kerja keras, perlu proses dan perlu waktu untuk membenahi Indonesia.

Tahun 2004 SBY adalah Presiden pertama Indonesia yang terpilih secara demokratis melalui Pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat. Sepuluh tahun pemerintahan SBY tidak cukup dan tidak akan cukup untuk menyelesaikan persoalan warisan Orde Baru.

Kasus-kasus pelanggaran HAM, penyerobotan tanah rakyat dan tanah negara, korupsi yang masif dan skala besar, kartel ekonomi, birokrasi formalitas, dan berkuasanya mafia di semua sektor ekonomi, nyaris tak berkurang.

Tahun 2014 Jokowi terpilih sebagai Presiden RI. ‘Warisan’ segunung persoalan itu pun jatuh ke tangannya. Sebagai catatan dan wajib dipahami, dalam setiap kasus ketidakadilan yang dibiarkan terjadi di masa Orde Baru, pelanggaran HAM, penyerobotan tanah rakyat dan tanah negara, korupsi yang masif dan skala besar, kartel ekonomi, birokrasi formalitas, dan berkuasanya mafia di semua sektor ekonomi, ada pelakunya (orang, perusahaan, atau lembaga) dan ada korbannya, yaitu kelompok masyarakat yang dirugikan dan negara.

Sekali lagi, persoalan warisan masa lalu itu segunung. Sekarang satu per satu coba diselesaikan, itu pun perlu kerja keras, perlu proses, dan perlu waktu. Tentu semua, termasuk Pemerintah, maunya semua persoalan bisa diselesaikan, kecuali mereka, para pelaku tindak kesewenangan dan ketidakadilan di masa lalu yang kini terus merongrong, bahkan ingin berkuasa lagi.

Sementara, tugas utama Presiden yang dari detik ke detik tidak boleh diabaikan adalah, pertama, memastikan NKRI tetap ada dan utuh. Kedua, memastikan ketersediaan pangan (dan energi) untuk rakyat. Ketiga, memastikan pemerintahan tetap berjalan. Keempat, mengupayakan negara ini aman. Kelima, memastikan hukum tetap berjalan, meskipun dengan segala kekurangannya. Keenam, memastikan pelayanan terhadap publik berjalan. Itu pun dengan segala kekurangannya.

Sekarang ada kelompok masyarakat korban dari kesewenang-wenangan dan ketidakadilan masa lalu menuntut penyelesaian segera. Jika tidak: Jokowi sama dengan Orde Baru! Kelompok masyarakat korban kartel ekonomi dan korban mafia di tiap sektor kehidupan minta segera dibuat peraturan untuk menutup ruang gerak mafia. Jika tidak: Jokowi tidak pro rakyat! Semua minta kepentingannya diakomodasi sepenuhnya segera, jika tidak: Turunkan Jokowi!

Hellooo .... anda yang mengalami masa Orde Baru, mengatakan Jokowi sama dengan Orde Baru? Anda yakin?! Anda yang tidak pernah mengalami masa Orde Baru, bagaimana bisa Anda bisa menyimpulkan Pemerintahan Jokowi sama dengan Orde Baru?! Di masa Orde Baru, Anda (dan teman-teman) demo menentang kebijakan Pemerintah, pasti Anda tidak akan pulang ke rumah.

Jika setiap kelompok minta kepentingannya diakomodasi sepenuhnya segera, jika tidak Presiden harus mundur, itu namanya mendikte. Mendikte itu tingkah diktator!

Benar, Jokowi itu Presiden yang sebagian besar rakyat bersepakat memilihnya dalam Pilpres (2014 dan 2019). Tapi ingat, dia itu manusia biasa. Kerempeng pula badannya. Kemampuannya pun kurang lebih sama dengan orang kebanyakan. Tidak mungkin dia bisa menyelesaikan segitu banyak persoalan negara dalam waktu singkat. Gak mungkin!

Tapi paling tidak, sejauh ini dia sudah berusaha menjalankan tugasnya, dengan segala kekurangannya, hasil kerja Jokowi bisa dilihat. Tentu saja apapun yang sudah dia kerjakan tidak akan memuaskan semua pihak.

Paling tidak bagi saya, ada sederet alasan mengapa #SayaBersamaJokowi: meskipun Jokowi memegang kekuasaan besar sebagai Presiden, dia tidak menculik dan membunuh, Jokowi tidak memenjarakan lawan-lawan politiknya, Jokowi tidak menghalangi proses hukum atas orang-orang dekatnya yang terlibat kasus hukum, Jokowi melarang anak dan keluarganya berbisnis dengan memanfaatkan kekuasaannya atau memanfaatkan fasilitas negara – apalagi sampai menyerobot tanah rakyat atau memberlakukan Tata Niaga Pisang misalnya, anak-anak Jokowi tidak ikut masuk kancah politik, Jokowi dan keluarganya tidak mencuri!

Sekarang, kalau Anda kecewa karena kemauan Anda tidak diakomodasi, lalu teriak ‘Turunkan Jokowi!’, lalu Anda maunya siapa yang jadi Presiden? Coba jawab! Menurut saya, hal yang harus diingat, terutama oleh para demonstran: jika Pilpres 2014 dan 2019 bukan Jokowi yang terpilih, maka Indonesia pasti akan kembali ke jaman Orde Baru!

Paling tidak itu yang beberapa kali dikatakan anggota keluarga penguasa Orde Baru. Sekarang, selain sisa-sisa Orde Baru, pihak yang ngotot ingin berkuasa adalah kelompok sektarian kanan: kelompok khilafah yang intoleran. Mau...?!

Lalu, apakah demo boleh? Sangat boleh! Demo itu barang halal dalam demokrasi. Asal jangan mengganggu orang lain dan tidak merusak. Kalau demo mengakibatkan orang lain terganggu atau kerusakan fasilitas umum (atau harta milik seseorang), itu destruktif. Bahkan, mahasiswa harus peka dan partisipatif dalam proses politik, tidak boleh apatis.

Begini. Untuk menunjukkan kepedulian terhadap persoalan negara, toh tidak langsung demo. Khusus terkait undang-undang, jika ada poin tidak setuju dalam draft RUU yang dibahas atau ingin menyampaikan pemikiran agar dimasukkan ke dalam RUU, kelompok masyarakat atau mahasiswa harus menyampaikannya ke DPR. Karena DPRlah wakil rakyat. Pembahasannya tongkrongi siang malam, jangan ada yang kelewat. Jika mereka bebal, barulah demo.

Sebenarnya, akan elok sekali jika mahasiswa menyampaikan beberapa aspirasi dan minta kepada DPR untuk memasukkannya ke dalam draft RUU yang terkait dengan pemberantasan korupsi. Aspirasi itu adalah, pertama, minta ke DPR agar memasukkan pasal yang dengan tegas menetapkan standar minimal integritas dan perlindungan keamanan bagi hakim-hakim Pengadilan Tipikor.

Kedua, tetapkan hukuman minimal (misalnya 15 tahun) bagi terpidana korupsi. Ketiga, tetapkan hukuman mati sebagai hukuman maksimal bagi terpidana korupsi. Tapi jika memang tidak terbukti korupsi, bebaskan. Agar pasal itu tidak jadi alat untuk menyerang atau menghabisi lawan politik. Toh pengadilannya terbuka.

Jika aspirasi itu diabaikan, silakan DPR didemo sampai mereka mengakomodasi aspirasi itu. Pasti didukung semua pihak, kecuali para pejabat korup itu sendiri, keluarga, dan teman-temannya.

Pemberantasan korupsi, sehebat apapun upaya pencegahan, segalak apapun KPK menindak para terduga korupsi, selama hakim-hakim di Pengadilan Tipikor masih cemen, rentan masuk angin, gak akan efektif.

Selama hukuman terhadap terpidana korupsi masih alakadarnya, orang gak akan takut untuk korupsi. Bahkan, sangat mungkin mereka sudah menghitung, berapa yang ‘didapat’, berapa ‘pengeluaran’ mulai kena OTT sampai bebas. Kalau sisanya masih besar, ya go head. Malu? Emang koruptor punya kemaluan... eh, rasa malu?

***