Karena mahasiswa masih belum tercebur dalam organisasi dan lembaga semacam itu maka mereka dianggap masih murni, jernih, dan menyuarakan nurani rakyat.
“Mahasiswa itu tidak lepas dari kegiatan demo, selain kuliah.” demikian kata seorang teman. “Tanpa demo kehidupan kampus itu seperti kurang bumbu,” tambahnya.
Saya tertawa kecut membaca ini. Berarti kehidupan perkuliahan saya dulu anyep bin sepo karena tak sekali pun saya pernah ikut demo.
Tapi saya punya alasan…
Pertama, saya dulu kuliah untuk menjadi guru. Dan guru sudah punya wadah sendiri untuk demo. Maksud saya mendemokan alat pembelajarannya, yaitu di depan kelas. Berdemo di jalanan itu rasanya kurang mufakat bagi guru. Guru itu sejajar dengan ulama dan dokter. Ulama dan dokter juga sangat ganjil jika berdemo di jalanan.
Kedua, saya kuliah S-1 dulu ketika Orba masih kuat-kuatnya. Tidak ada demo kepada pemerintah. Bisa dipites Kopkamtib. Masih butuh waktu lama dan tekanan yang lebih kuat untuk menumbuhkan kenekatan mahasiswa berdemo di zaman Orde Baru. Lagipula waktu kuliah saya sudah jadi guru PNS.
Jadi pagi hari saya jadi mahasiswa, siangnya saya jadi guru SMP. Tidak ada waktu untuk mencari romantisme jadi aktifis kampus, meski saya sempat menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan. Kalau pun ada hal yang dilakukan pemerintah yang menurut saya tidak benar maka saya hanya melakukan protes secara pribadi. Seperti ketika saya menolak dipaksa masuk Golkar dulu.
Pada tahun 1998 ketika para mahasiswa berupaya menggulingkan Orba saya sudah kuliah S-2. Sudah terlalu tuwir untuk ikut-ikutan demo.
Apakah saya tidak ingin ikut demo seandainya waktu diputar lagi dan saya bisa kembali ke zaman mahasiwa?
Rasanya tidak…
Saya bukan tipe orang yang suka mengekspresikan diri dalam kerumunan. Saya bahkan benci berada dalam kerumunan. I always love my being alone.
Apakah saya tidak suka dengan perdebatan dan pertukaran pemikiran secara intelektual? Saya suka. Tapi dalam bentuk tertulis. Meski demikian saya bersedia berdebat langsung tatap muka jika memang diperlukan sebagaimana saya pernah menerima tantangan berdebat para pengusung khilafah di Balikpapan dulu.
Mengapa masyarakat suka jika mahasiswa akhirnya turun berdemo? Karena mereka suka pada asumsi bahwa demo mahasiswa itu selalu murni dan tidak tercemari oleh kepentingan-kepentingan lain. Masyarakat sudah memiliki kecurigaan pada setiap lembaga dan organisasi, baik itu sosial, kemasyarakatan, atau pun politik, bahwa mereka tidaklah menyuarakan kepentingan umum melainkan kepentingan lembaga dan organisasinya sendiri.
Karena mahasiswa masih belum tercebur dalam organisasi dan lembaga semacam itu maka mereka dianggap masih murni, jernih, dan menyuarakan nurani rakyat.
Betulkah demikian…?! Sila amati dan bikin analisa Anda sendiri. Salah juga tidak apa-apa. Kalau pun salah paling tidak Anda sudah belajar menganalisis.
***
Surabaya, 24 September 2019
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews