Hoax Bukan Budaya Indonesia

Hoax itu seperti kanker yang hari demi hari menggerus persatuan dan kepribadian bangsa kita yang santun.

Minggu, 18 Agustus 2019 | 11:52 WIB
0
244
Hoax Bukan Budaya Indonesia
Ilustrasi melawan hoax (Foto: Jawapos.com)

Sebelum mengurai tentang konsep hoax, perlu dipahami terlebih dahulu tentang pengertian hoax, menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) hoax adalah berita bohong, berita bohong sendiri merupakan istilah untuk berita palsu yang dibuat oleh beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab untuk menyesatkan dan menggiring opini masyarakat, sehingga fakta di lapangan dapat digeser atau diganti.

Saat ini banyak sekali berita hoax yang bertebaran di media digital baik disebarkan oleh perseorangan maupun oleh korporasi dengan berbagai motif. Tentu hal ini menyebabkan kegaduhan di masyarakat yang mengkonsumsi isu-isu tersebut mulai dari saling tuduh hingga saling bunuh hanya karena alasan konyol yang belum tentu kebenarannya.

Dari sini budaya memiliki peran penting dalam memerangi hoax, karena budaya yang sehat akan membentengi setiap masyarakat dalam mencerna dan menyaring setiap informasi yang masuk. Oleh karena itu, dari artikel ini ini mari kita bedah satu persatu mulai dari benang merah yang menyebabkan begitu suburnya bisnis berita hoax di Indonesia dan cara memeranginya. 

Sulitnya masyarakat Indonesia menerima kenyataan meskipun itu menyakitkan menjadi problem pertama saat ini. Entah sengaja atau tidak, masyarakat Indonesia cenderung sulit menerima kejujuran yang tidak sesuai dengan ekspektasinya. Orang-orang akan mulai marah atau sedih jika seseorang memberi informasi yang menurut mereka negatif meskipun itu merupakan suatu kebenaran yang telah terjadi.

Sehingga membuat orang yang memberi informasi baik sengata atau tidak disengaja memeberi informasi bohong agar terhindar dari kemarahan atau kesedihan orang yang diberi informasi. Contoh kecilnya adalah, seorang pelajar yang mendapat nilai jelek saat ujian disekolah karena takut dimarahi orang tuanya membuat dia berbohong bahwa nilainya baik-baik saja.

Budaya kecil seperti ini yang sudah dipupuk sejak kecil membuat seseorang akan semakin merasa tidak bersalah saat membuat suatu kebohongan yang lebih besar di masa yang akan datang.

Kedua, perilaku sensitif terhadap seseorang atau kelompok tertentu. Perilaku sensitif ini cenderung kepada perasaan suka atau tidak suka berlebihan pada suatu orang atau kelompok tertentu. Hampir mirip seperti rasisme, perilaku ini membuat seseorang tidak dapat lagi menilai suatu informasi secara netran dan cenderung berat sebelah.

Hal ini menyebabkan seseorang menjadi tergesa-gesa dalam mengambil keputusan dan hanya mengedepankan ego dan perasaan mereka. Padahal, dalam setiap mencerna suatu informasi kita harus dapat bersikap netral sehingga mencapai suatu keputusan yang lebih tepat dan adil.

Contoh yang baru-baru ini terjadi adalah ketika pemilihan presiden, ada segelintir orang yang menyebarkan isu bahwa salah satu calon presiden adalah keturun dan antek-antek PKI (Partai Komunis Indonesia).

Tentu berita ini tidak bias dipertanggung jawabkan karena faktanya tidak dapat dibuktikan kebenarannya, kalau boleh berpendapat pribadi adalah bahwa isu ini adalah yang paling konyol, komunime merupakan ideologi karatan yang bahkan tidak akan mampu berdiri di era saat ini, bahkan negara-negara yang mengklaim mereka komunis-sosialis saat ini mulai beralih ideologi liberal contohnya Tiongkok dan Rusia, sehingga sangat berlebihan isu tentang bangkitnya PKI di Indonesia.

Namun anehnya masih banyak masyarakat Indonesia yang termakan isu tersebut, padahal secara logika tidak mungkin ada lagi tempat bagi ideology tersebut untuk masuk kembali.

Ketiga, Perilaku malas membaca dan mencari informasi dari referensi lain. Menurut studi dari “Most Littered Nation In the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University bulan maret 2016, Indonesia menempati peringkat ke 60 dari 61 negara tentang minat membaca.

Dari sini kita dapat langsung menarik kesimpulan bahwa masyarakat Indonesia cenderung malas membaca apalagi membandingkan informasi yang dia peroleh dengan referensi lain, justru lebih sering menyimpulakan suatu informasi hanya dari judul yang sepotong-sepotong sehingga menyebabkan kesalahan persepsi dan menimbulkan isu-isu yang berkembang liar di masyarakat.

Masih sering terjadi di Masyarakat, seseorang menerima berita yang menurut mereka menarik lalu menscreenshoot dari smartphonenya, lalu mereka menyebarkannya di grup whatsapp keluarga tanpa menjelaskan isi berita karena dia sendiri cuman membaca judulnya saja, lalu berkahir dengan mengolok-olok sosok atau kelompok yang diangkat diberita tersebut tanpa tahu esensi yang diangkat oleh penulis atau wartawan di media tersebut.

Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa budaya atau kebiasaan buruk dimsyarakat dapat memupuk berkembangnya berita hoax di Indonesia. Memang sulit mengubah kebiasaan buruk dan prosesnya tidak bias instan, namun mulailah dengan hal-hal kecil seperti jujur pada diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Karena tidak ada ruginya berkata jujur, justu dengan berbohong kita seperti menyiapkan bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Selanjutnya ayo kita mulai membiasakan diri untuk rajin membaca, seperti istilah “buku adalah jendela dunia” dengan sering membaca akan membuat kita tidak mudah dibodohi dan menjadi bekal penting dimasa depan. Dan yang terakhir, agar kita tidak menilai seseorang hanya dari berita atau isu-isu yang belum jelas kebenarannya, kenali duru baru kita dapat menilai bagaimana sifat dan kepribadian orang tersebut.

Pendapat saya membenci itu melelahkan, mencari-cari kesalahan orang lain tanpa kita mengintropeksi diri sendiri apakah sudah lebih baik atau tidak. Kehidupan kita terlalu suci dan berharga untuk menjadi seorang pembenci.

Hoax itu seperti kanker yang hari demi hari menggerus persatuan dan kepribadian bangsa kita yang santun. Semangat bangsaku, ayo saling berlomba dalam berprestasi dan berkarya tanpa membenci dan mencaci..