Batu Kerikil di Kolam Pemancingan

Dalam perang asimetris, sebagaimana ciri proxy-war, justeru perancang perang tinggal melihat bom waktu yang ditinggalkan.

Sabtu, 24 Agustus 2019 | 08:50 WIB
0
215
Batu Kerikil di Kolam Pemancingan
Polisi dan mahasiswa Papua (Foto: Tempo.co)

Pertanyaannya: Siapa yang senang dengan terjadinya kerusuhan di Malang, Surabaya, dan khususnya Papua kemarin? Pasti tak ada yang senang. Jika pun ada, bisa dipastikan; mereka yang menginginkan hal itu terjadi. Siapa yang menginginkan?

Apakah yang menyebar isu bendera merah-putih dicampakkan di parit? Benar adakah peristiwa itu? Mahasiswa yang tinggal di Asrama Mahasiswa Papua mengaku tidak tahu-menahu. Lantas, siapa membuangnya ke parit? Memotretnya, dan mempostingnya di medsos? Untuk apa?

Benarkah karena ada yang menyulut soal gerakan separatisme, Papua Merdeka, hingga FKPPI perlu mengajak FPI, juga Polisi menyertakan Satpol PP dan Tentara bersenjata, untuk mengepung AMP, yang hanya dihuni 42 mahasiswa? Benarkah ini termasuk bela negara?

Lantas, siapa yang teriak ‘anak monyet’, dan siapa yang menyebarkannya ke medsos? Benarkah ada aksi kekerasan disana? Juga pengusiran? Pertanyaan-pertanyaan itu masih bisa terus dikembangkan.

Benarkah ada kekuatan dari luar, yang memanfaatkan semua itu agar Papua memisahkan diri dari NKRI, dan kemudian menguasainya sebagaimana Timor Timur dulu? Karena di Papua masih banyak ditemukan sumberdaya alam?

Atau jangan-jangan mereka hanya ingin pemerintahan Indonesia (apalagi sepanjang dipimpin Jokowi), dalam kondisi kacau, chaos? Hingga untuk semuanya itu, mudah dibegini-gitukan sesuai agenda?

Siapa mereka itu? Lawan politik Jokowi? Pihak-pihak yang dirugikan selama Jokowi menjadi Presiden? Atau sebetulnya, mereka adalah kebodohan kita bersama, ketidakmampuan dan ketidaksabaran dalam melihat substansi masalah, di tengah media mainstream dan media sosial yang sama-sama liar serta sama-sama goblognya?

Yang pasti, sebagian besar warga bangsa dan negara Indonesia ini, tidaklah nyaman dengan kejadian-kejadian yang berkembang. Karenanya, penting kita mengetahui secara persis, sebelum bersikap dan memposting komentar atau penilaian.

Kecuali sebagai penggiat medsos, juga ingin mericuhkan suasana, ketika pihak-pihak yang bertikai (dan atau dipertikaikan) sama-sama tak bisa mengontrol diri, untuk hal yang sebenarnya sama-sama tak diketahui.

Dalam perang asimetris, sebagaimana ciri proxy-war, justeru perancang perang tinggal melihat bom waktu yang ditinggalkan. Karena dalam masyarakat yang bodoh, tak peduli tapi sok pahlawan, aktor intelektual selalu lebih diringankan pekerjaannya. Tinggal melempar batu kerikil ke kolam pemancingan, ributlah dunia persilatan.

Dimulai dari hal-hal yang tampaknya sepele. Bendera, baik itu berwarna hitam bergambar tulisan warna putih dan pedang, atau berwarna merah dengan tempelan kain putih. Itu sudah cukup untuk membakar negeri ini.

Apalagi ditambah penganjing-anjingan, atau pemonyet-monyetan. Terhadap siapapun. Oleh siapapun.

***