Kalau Bisa Damai, Kenapa Mesti Ricuh Sih?

Minggu, 24 Februari 2019 | 10:09 WIB
2
457
Kalau Bisa Damai, Kenapa Mesti Ricuh Sih?
Pilihan boleh berbeda, tapi bisa kan kita duduk satu meja mendiskusikan sesuatu yang menyenangkan!

Hari ini, ketemu sama Driver (sopir) online , dari pernyataannya yang terlontar kemungkinan dia akan memilih paslon capres 02. Saat ditanya dia menjawab belum menentukan pilihan siapa yang akan dicoblosnya. Orang seperti inilah yang sering disebut dengan swing voter (masa mengambang)  dan jumlahnya sangat banyak. Dia menyebutnya dengan kaum milnial, anak muda menurut persepsinya. 

Sepanjang perjalanan, dia menuturkan banyak kisah tentang masa kecilnya yang disebutnya sangat membahagiakan. Tidak berorientasi pada materi atau uang seperti anak anak sekarang. Memanen di sawah, mencari belut, memetik buah buahan di kebun yang saat inj jarang ditemukan di tempatnya lagi semisal jambu mete.

Bermain main dan itu membuatnya senang. Kemudian saat dia bekerja sampai larut malam, dia sering menemukan anak anak gadis berada di pinggir jalan, berbaur dengan anak anak muda seusianya. Hatinya miris, dia jadi teringat dengan dua anak perempuannya yang masih duduk di usia sekolah dasar dan satunya lagi masih usia tiga tahun.

Dia tidak ingin masa depan anaknya berakhir tidak jelas , sama seperti ketidak jelasan pilihan politiknya untuk memilih. Dia takut dan sangat takut ada kerusuhan ,ada perkelahian intimidasi dan lain sebagainya. 

Keresahan sang sopir memang sangat wajar, di mana politik dari tahun ke tahun semakin memanas dan mengkhawatirkan. Kenapa jaman sebelumnya tidak pernah terdengar sampai seseram ini. Isu PKI, Antek Asing, penjual aset negara sampai kepada tuduhan penistaan agama kerap didengungkan dan disebarkan scara luas.

Masyarakat kebanyakan yang menerimanya belum bisa memilah dan memilih apakah berita itu benar atau berita palsu . Pendidikan politik belum hadir sampai masyarakat lapisan bawah. 

Dulu, setiap mampir di rumah makan, tempat nongkrong anak muda, pangkalan ojek mereka berbicara politik namun bersubstansi. Sekarang pemikiran mereka bisa dikatakan kacau karena kesalahan informasi dan data yang didapat. Padahal apa yang mereka ketahui sesungguhnya berpotensi menimbulkan perselisihan, perdebatan yang tak berujung. Lagi lagi basis data yang harus mereka butuhkan. 

Lalu, apa yang harus dilakukan? 

Saya sangat mengapresiasi Kang Pepih, pendiri Pepnews yang menginisiasi para penulis untuk berdeklarasi berjanji menjaga pemilu damai dengan karyanya. Apa yang dihasilkan oleh penulis dalam konteks politik adalah memberikan pencerahan, mana informasi yang boleh ditulis dan mana informasi yang tidak boleh dituliskan. Karena tulisan akan dibaca oleh semua lapisan masyarakat dan kemudian pembaca akan mempresentasikan bacaannya kepada orang lain sebagai referensi. 

Kalau semua tulisan mencerahkan, inilah yang disebut sebagai feeedom of speech  salah satu judul materi dari seorang Blogger , mantan jurnalis Zulfikar Akbar yang menjadi narasumber pada deklarasi penulis minggu 17 Februari yang lalu. 

Zulfikar, mengisahkan bagaimana dia harus berhadapan dengan orang orang yang belum bisa menerima kritikan. Meski sama sama beragama, namun pemahaman terhadap agama yang diyakininya berbeda jauh. "Cinta kepada agama Islam  adalah juga bagaimana mencintai orang orang yang berbeda agama dengan kita".Pungkasnya.

Politik menyatukan yang sama pilihannya dan menjauhkan sejauh jauhnya orang yang berbeda pilihannya. Narasi yang dibangun sangat tendensius. Bahkan bisa memhuat pecah persahabatan, keluarga bahkan bisa sampai perpecahan dalam bernegara .

Apa yang dicapai pemerintah selalu dianggap gagal, meskipun yang dipilihnya mengapresiasi kinerja lawannya. Semua dianggap salah, yang benar adalah dirinya dan kelompoknya. Jangankan itu, kalaupun boleh tuhanpun ingin mereka yang atur. 

***