Menikmati Demokrasi

sudah selayaknya pemilik asumsi untuk membuktikan asumsinya di hadapan hukum dan berdasarkan aturan main yang ada. Sesederhana itu saja sebenarnya.

Rabu, 1 Mei 2019 | 05:44 WIB
0
314
Menikmati Demokrasi
Ilustrasi kecurangan pemilu (Foto: Kompasiana.com)

JIKA berharap pada demokrasi, maka pemilu adalah instrumennya. Mau pemilihan langsung atau model perwakilan ala electoral college di Amerika Serikat, terserah saja. Itu hanya perkara cara menyalurkan hak pilih.

Jika tak pandai memercayai wakil yang diwakilkan ke partai, ya sudah, coblos langsung saja, tak masalah toh. Judul besarnya tetap sama, yakni berdemokrasi.

Atau jika tak bersedia memberikan hak pilih sama sekali, tak masalah juga. Selama bersedia menjadi warga negara yang baik, taat semua aturan, bayar pajak sesuai ketentuan, maka tak perlu takut mengkritik pemerintah kalau layanannya kurang memuaskan.

Toh ikut bayar pajak, ikut bayar ini-itu jika diminta oleh negara, tentu tak salah komplain kalau feedback dari pemungut pajak kurang sesuai.

Jangan teracuni oleh omong kosong "tak ikut memilih tak boleh mengkritik". Negara ini bukan milik pengguna hak suara.

Menggunakan hak suara bukanlah segala-galanya. Apa gunanya jadi pencoblos kalau bayar pajak tak pernah, tapi seenaknya gunakan fasilitas umum yang dibiayai uang pajak.

Apa bagusnya jadi pencoblos kalau ikut merampok hak publik, ingin dapat semuanya secara gratis tetapi bayar pajak tak pernah, misalnya, atau suka merusak fasilitas umum, suka menghina hak orang lain, merendahkan hak orang lain, dan sebagainya.

Apa bagusnya coba? Demokrasi bukan untuk orang-orang yang show off hak politik, tetapi lupa kewajiban-kewajiban lainnya. Hak politik adalah satu hal, menggunakan atau tidak menggunakan hak politik adalah hal lain.

Jadi tidak perlu merasa paling mulia dan paling concern terhadap demokrasi hanya karena merasa telah memilih salah satu calon.

Kembali pada demokrasi tadi, setelah proses coblos-mencoblos selesai, hasilnya tentu perlu diterima secara dewasa. Namun, soal hasil adalah satu soal karena ada soal proses menuju hasil yang menjadi soal lain.

Selama hasilnya terverifikasi demokratis, jujur, adil, sesuai aturan main yang ada, tak terbukti dibangun di atas langkah-langkah yang curang, maka hasilnya harus ditelan secara arif oleh semua pihak.

Di sisi lain, demokrasi tak mungkin berdiri tegar jika bukan dibangun di atas landasan hukum yang adil (rule of law). Semua kecurangan yang terbukti harus diganjar sesuai aturan yang ada.

Jika ada pelanggaran, ada mekanisme hukumnya. Jika terbukti, maka hukuman harus diberikan secara pasti, bukan secara tentatif. Jika tidak terbukti, maka hukum pun harus melindunginya.

Sampai pada titik ini, kita semestinya paham, mana ranah politik dan mana ranah kepastian hukum dan penegakan hukum.

Hasil quick count adalah ranah politik. Angkanya terserah mekanisme quick count beserta justifikasi-justifikasi ilmiahnya.

Pun soal deklarasi-deklarasian kemenangan, itu pun masih di ranah politik. Mau deklarasi kemenangan atas angka quick count atau angka yang diaku riil, tak ada yang melarang, semuanya masih dalam ranah pertarungan politik, bukan ranah kepastian hukum.

Hasil perhitungan final Komisi Pemilihan Umum sejatinya sebagai penentu, bukan hasil perhitungan lembaga survei atau tim sukses salah satu kandidat.

Dengan kata lain, dalam perspektif hukum, belum ada pemenang sampai detik ini.

Proses pencoblosan memang sudah usai, perhitungannya belum kelar. Ada jeda waktu karena prosesnya memang membutuhkan waktu dan langkah-langkah yang rumit.

Tentu dalam perspektif konspiratif ada celah untuk kecurangan. Selama prosesnya transparan, tentu publik bisa memantau. Pun selama data faktual tak berubah, tentu hasilnya bisa diverifikasi.

Artinya, selama data asli pencoblosan tidak berubah, sekalipun data digital diutak-atik, maka pada ujungnya saat dilakukan verifikasi evaluatif, akan katahuan juga.

Namun, kalau data aslinya diganti, diutak-atik berdasarkan kepentingan pihak tertentu, maka saat itulah kedaulatan rakyat telah disunat.

Artinya, proses perpindahan data asli dari satu titik ke titik lain harus benar-benar bisa diamati dan diverifikasi publik. 

Setiap pergerakan data asli dari titik awal sampai ke titik akhir sejatinya harus bisa dikawal dan dinilai langsung.

Dengan lain perkataan, selain memiliki anggota KPU yang dalam otaknya hanya ada "pemilihan yang demokratis, jujur, adil, dan berdasarkan aturan yang ada", setiap detail prosesnya pun harus bisa diukur dengan parameter-parameter demokratis, jujur, adil, dan berdasar aturan hukum yang ada.

Jadi proses demokrasi tidak saja terkait sumber-sumber daya manusia pelaksana, tetapi juga sistem yang menaunginya.

Pada tataran sumber daya manusia (SDM), rata-rata memang nyaris mengalami rejimentasi. Seberapa pun independen pihak KPU menyatakan posisinya, seleksi awal tetap terintervensi oleh penguasa.

Sebelum daftar calon anggota KPU digelontorkan di lantai Senayan, pihak Istana melakukan pemangkasan terlebih dahulu. SDM-SDM yang dianggap akan merusak irama politik Istana tentu akan selesai nasibnya saat itu, sebelum dikondisikan di Gedung DPR.

Kendati demikian, memang begitulah risiko politik dari sebuah proses seleksi. Penyeleksinya ditentukan penguasa, hasilnya pun tentu tak lepas dari kepentingan penguasa pula.

Sementara itu, perkara ekosistemnya dipengaruhi oleh banyak variabel. Mulai dari konfigurasi politik domestik, intervensi kepentingan internasional terkait dengan aktualisasi demokrasi, netralitas penegak hukum, daya tawar masyarakat sipil, dan banyak lagi.

Tentu pengaruh kepentingan politik penguasa sangat besar, tetapi itu lazim terjadi di setiap periode kekuasaan, apalagi kekuasaan yang baru satu kali berkuasa alias masih memiliki kesempatan satu kali lagi untuk berkuasa. Itu pun tak salah, toh secara politik masih terbilang rasional.

Yang jadi persoalan adalah ketika kekuasaan digunakan secara bebas untuk kepentingan kemenangan.

Artinya, saat kekuasaan ikut memainkan kartu-kartu bergenre curang, tak adil, busuk, main belakang, dan sejenisnya, tak ada kekuatan sah yang bisa mengontrolnya. Maka, saat itulah bencana politik menerjang tatanan demokrasi.

Sampai di sini, tentu kita sudah bisa memahami bahwa proses dan dinamika politik sampai hari ini masih terus bergulir.

Artinya, klaim ini dan itu di ranah politik selayaknya dianggap sebagai aksi politik juga. Dengan begitu, reaksinya tentu sebaiknya dengan reaksi politik.

Bukankah sebelum proses elektoral kita sudah terbiasa dengan aksi reaksi politik seperti itu, yang terkadang terkesan berlebihan dan sepele, namun terkadang juga terkesan kekanak-kanakan, lebay, dan kurang etis.

Sampai titik itu, kita nyaris tak khawatir sama sekali kalau negara ini akan berantakan dan terpecah-belah.

Sebelum pemilihan berlangsung, baik sebelum atau di saat masa kampanye, Prabowo memang sudah seperti itu political style-nya, misalnya, dan saya yakin saat keputusan final yang sama-sama dianggap kredibel oleh semua pihak diumumkan, maka Prabowo akan memperlihatkan sikap layaknya tahun 2014.

Bahkan saya juga yakin, jika beliau kalah, beliau akan hadir pada acara pelantikan lawan tandingnya di Gedung MPR/DPR nanti.

Jadi sebenarnya tak ada alasan bagi kita untuk memelihara kekhawatiran yang berlebihan atas sikap politik yang diambil oleh pasangan calon nomor urut 02 selama dilakukan dalam ranah politik.

Jangan sampai ketakutan dan kekhawatiran yang diperlihatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menebar ketakutan atas sikap politik salah satu pasangan.

Tak ada yang salah dengan asumsi kecurangan, mari kita terima asumsi tersebut. Asumsi semacam itu tentu membutuhkan pembuktian dan verifikasi.

Maka, sudah selayaknya pemilik asumsi untuk membuktikan asumsinya di hadapan hukum dan berdasarkan aturan main yang ada. Sesederhana itu saja sebenarnya.

***