Cegah Radikalisme Harus dari Diri Kita Sendiri

Jumat, 22 Februari 2019 | 20:15 WIB
1
232
Cegah Radikalisme Harus dari Diri Kita Sendiri
Indonesia damai (Foto: Islam.co)

Sebagai bagian dari generasi dan zaman milenial, saya tak bisa lepas dari gawai dan media sosial. Dari membuka mata dan memulai hari hingga menjelang tidur, aktifitas bersama gawai selalu bersambung. Media sosial adalah dunia kedua bagi saya, ruang dimana saya bisa mengantar pesan kepada mereka yang tak mungkin saya temui secara fisik.

Hiruk pikuk di dunia nyata sebagian tergambar di media sosial dan sisanya adalah penggambaran yang berlebihan. Ya, berlebihan… Hari ini coba saja Anda pandangi dalam-dalam setiap aktifitas komunikasi massa yang terbaca di media sosial, khususnya di kalangan netizen Indonesia.

Ramai bukan? Tak jarang terbaca kata-kata yang kurang pantas, video yang membuli dan berbagai penggambaran pesan yang tak sesuai dengan budaya sopan santun ketimuran yang kita miliki. Apa sebabnya ini?

Pesta demokrasi Indonesia 2019 sebentar lagi menuju puncak perhelatannya. Kontestasi dalam pemilihan presiden dan legislatif kali ini memang cukup bernuansa perpecahan. Politik identitas, penyertaan agama dalam sepak terjang para pengejar kedudukan ini tak terelakkan.

Anehnya, meskipun banyak dari kita membawa jargon membela agama tetapi ucapan dan perilakunya justru kasar dan menimbulkan perpecahan. Bahkan, media sosial tak ubahnya menjadi etalase kosakata negatif yang berlaku dalam percakapan sehari-hari di masyarakat hari ini. Kita mengenal Hizbut Thahrir Indonesia (HTI), salah satu organisasi massa yang sejak beberapa tahun terakhir dipertanyakan komitmennya dalam NKRI. HTI menganggap ideologinya adalah ideologi Islam dan bertujuan untuk mendirikan Khilafah Islam atau Negara Islam.

Tetapi, ideologi khilafah tidak sejalan dengan nafas demokrasi Pancasila yang sudah berhasil ditegakkan kembali sejak berakhirnya Orde Baru. Organisasi HTI telah dilarang keberadaaannya sejak 19 Juli 2017 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM. Tidak puas dengan SK Menteri Hukum dan HAM, HTI mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung yang ditolak oleh Mahkamah Agung pada 14 Februari 2019 lalu.

Menjelang pemilu 2019, HTI melalui juru bicaranya, Ismail Yusanto, mendukung gerakan 2019 Ganti Presiden yang digagas oleh politikus PKS, Mardani Ali Sera.

Menjelang pemilu 2019 HTI menampakkan diri di belakang salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Perang argumen pun sering terjadi antara pendukung dengan penentang HTI di media sosial maupun di media massa.

Senafas dengan perbedaan sudut pandang antar pendukung dan penentang HTI bahkan ormas radikal lainnya, perbedaan pilihan politik pun menciptakan polarisasi yang kuat di masyarakat. Perang buli di media sosial tak bisa dihindari. Aura gerakan radikal terasa di banyak aktifitas netizen maupun di ruang pergerakan nyata.

Untuk melawan radikalisme, kita sering terpancing untuk ikut mengeluarkan buli dan caci maki. Istilah ‘cebong’ melawan istilah ‘kampret’ saja tak ada baiknya kita pilih. Masyarakat tak lagi sungkan melabel seorang tokoh senior bahkan pemuka agama sekalipun dengan sebutan yang memalukan. Bahkan cela dalam diri sendiri tertutup oleh keburukan orang lain yang mereka lihat dengan kacamata yang belum tentu bersih.

Perlu kita ingat, apapun terjadi di negeri ini yang harus kita pertahankan cuma satu, persatuan NKRI. Ini bukan negeri main-mainan yang bisa dibongkar lalu dipasang lagi. Ini bukan paguyuban yang saat ada satu pihak yang berbeda sendiri lantas kita menguasai, menyudutkan dan menekan hak-haknya. Kita ada karena bhinneka.

Bukan Indonesia namanya kalau segala sesuatunya diseragamkan. Secara ras, suku dan budaya yang melekat pada diri kita saja sudah berbeda satu sama lain di setiap daerah. Bagaimana cara itu semua mau disamakan?

Gaya bahasa zaman sekarang memang tidak lagi sekaku gaya bahasa zaman sebelumnya. Kebebasan berpendapat pun sudah dilindungi oleh undang-undang. Budaya mengarahkan kita pada terbebasnya kita dari pola primordial yang banyak mengekang dengan aturan-aturan. Setidaknya sekarang ada ruang untuk murid juga mengkritik gurunya.

Ada ruang yang muda mengingatkan yang lebih tua. Tapi bagaimana caranya? Pastinya dengan penggunaan kata dan data yang bijak. Kita harus paham siapa yang kita hadapi dan jauhi dari referensi data yang tidak sesuai dengan fakta.

Budaya hoaks yang sudah merebak jadi virus yang terus menular siapa saja yang terlalu polos berpikir dan mudah dimasuki oleh pemahaman sesat. Itu yang harus kita lawan. Hoaks bisa menggerogoti nalar, memecah persatuan bahkan mengacaukan sejarah.

Memang lisan masih mampu menahan komentar terhadap setiap fenomena yang terjadi. Tapi jari-jemari mungkin sulit berdiam diri. Jika teknologi sudah kita kuasai, perangkatnya pun kita punya, berteriak ke seisi bumi dalam hitungan detik sudah bukan lagi khayalan. Itulah ujiannya. Radikalisme bisa dicegah dari diri sendiri dengan bijak memilih kata dan data.

Lawan hoaks sebisa mungkin dan jauhi ungkapan pemicu perpecahan bisa jadi salah satu cara menghidari bahayanya radikalisme. Kalau kita semua bijak bermain nalar dan menuangkan dalam kata lisan dan tulisan, Saya yakin pemilu 2019 damai sudah dalam genggaman.

Hal ini yang jadi perhatian perhatian utama yang mendorong berkumpulnya tiga puluh penulis untuk mendeklarasikan pemilu damai dalam tulisan-tulisan yang mereka torehkan pada Minggu 17 Februari 2019 lalu di Hotel Santika Slipi Jakarta.

Semoga komitmen ketigapuluh penulis di PepNews ini bisa diadopsi oleh bukan hanya penulis lainnya tapi seluruh elemen masyarakat maupun politikus. Pemilu damai buat semua, upayanya juga harus digerakkan oleh semua.

Sejukkan pesan kita, bijakkan hati kita, lembutkan suara kita, yuk kita ciptakan pemilu 2019 yang damai.

***