Debat kedua yang melibatkan dua capres, Joko Widodo dan Prabowo Subianto Minggu (17/03/2019) lalu menjadi panggung adu pendapat paling seru dalam kampanye Pilpres 2019. Tanpa didampingi para cawapres, boleh dikata perdebatan menjadi ajang adu pendapat, adu argumen, serta adu visi calon pemimpin Republik ini.
Infrastruktur menjadi salah satu bahasan pokok debat capres kali ini, meskipun tema besarnya juga menyangkut energi, pangan, sumber daya alam dan lingkungan hidup. Capres 02 Prabowo Subianto rencananya akan membawa suara emak-emak di Sumatera Barat (diteriakkan sejak Juli silam dalam bungkus 2019GantiPresiden) yang “Tidak Makan Infrastruktur”, namun tidak tercermin dalam debat kemarin.
Kalupun itu terjadi, capres petahana 01 Joko Widodo sepertinya siap mengatakan “Haaappp, Kumakanlah Infrastruktur…,” demi keterhubungan berbagai daerah demi kepentingan yang menunjang roda perekonomian -dari pertumbuhan wilayah pertanian, perkembangan irigasi, paningkatan pangan dan seterusnya…
Capaian pemerintahan Jokowi 2014-2019 – menciptakan ketersambungan tol Trans Jawa, dengan membangun 616 km di antaranya dalam hampir lima tahun – menjadi capaian kebanggaan Presiden yang berasal dari rakyat kecil ini pula. Akan tetapi, capaian ini pulalah yang menjadi salah satu topik olok-olok utama kubu oposisi.
Di antaranya dengan ungkapan olok-olok “Kami Tidak Makan Infrastruktur”, dan “Tidak Bermanfaat Membangun Jalan Tol Terlalu Mahal, dan Sepi Kayak Kuburan” karena masih sedikit yang memanfaatkan ketersambungan Jakarta, Solo, Surabaya sampai Grati Pasuruan tanpa putus melalui jalan tol ini…
Okelah, kalau soal manfaat, tentu belum saatnya membahas saat proyek tersebut baru selesai diresmikan Desember lalu. Ibarat toko baru buka, belum tiga bulan sudah menghardik: apa untungnya membangun toko? Genap berputar rodanya juga belum.
Saya mencoba menelusur Jalan Tol dan Nontol Jakarta-Surabaya minggu pertama dan kedua awal Februari ini, sembari menyempal keluar tol ke arah Yogyakarta dari jalur tol Kartasura. Sempat tinggal beberapa hari di Yogya, Solo, menyerap komentar: apa yang mereka rasakan dengan adanya keterhubungan Jakarta-Solo-Surabaya melalui Jalan Tol ini.
Sebelum ini, sejak Soeharto, rakyat Indonesia sudah dikenalkan pada Jalan Tol. Akan tetapi, keterhubungan Trans Jawa? Ya baru pada era empat tahun lebih pemerintahan Jokowi inilah, gagasan besar sejak Soeharto itu terwujud. Bahkan empat presiden setelah Soeharto pun tak mampu mewujudkan gagasan tersebut. Termasuk dua periode kepemimpinan Susilo Bambang Yudhohono.
Bahkan Soeharto pun, dalam trilogi pembangunannya, mementingkan infrastruktur. Misalnya saja, ketika ia menyebut pembangunan Irian Jaya (Papua kini), pemerintah waktu itu belum berhasil membangun infrastruktur Jalan dari Jayapura ke Wamena. Bahkan separuh pun belum.
“Kalau saja jalan sudah dibangun antara Jayapura dan Wamena, saya yakin rakyat di kiri kanan jalan, akan bisa ditarik perekonomiannya ke jalan tersebut,” kata Soeharto tentang impian Trans Papua, dua puluh tahun silam. Apapun yang dihasilkan di Wamena, tidak akan bisa dijual keluar. Karena, menurut Soeharto waktu itu, angkutan melalui udara dinilai terlalu mahal.
Nah, apa yang diungkapkan Soeharto lebih dari dua puluh tahun lalu itu ternyata bisa diwujudkan Joko Widodo, dalam empat tahun pemerintahannya, berupaya mewujudkan impian tembusnya jalan Trans Papua sejak masa Soeharto.
Juga impian Trans Jawa yang menembus Jakarta-Surabaya melalui Jalan Tol. , Dikritik masih terlalu mahal harganya. Sekitar Rp 300 ribu ke Solo, dan dari Solo ke Surabaya Rp 500 ribu lebih. Tetapi, jika Anda menelusuri Trans Jawa tersebut, kelelahan yang biasa Anda alami jika melalui jalan normal yang berliku – terutama antara Tegal menuju Semarang yang bisa makan waktu tiga kali lipat jika ditempuh lewat tol?
Tidak lagi terasakan. Atau dari Solo ke Surabaya, baik melalui Purwodadi di jalur Pantura, ataupun lewat Madiun-Ngawi di jalur tengah. Waktu tempuh kini tiga kali lebih cepat.
Bisakah sebelum ini Anda bayangkan, bahwa sarapan pagi Anda di Cikarang Jakarta, dan siang hari sudah makan siang di Surakarta? Atau pagi sarapan di Solo, siang hari sudah menyantap rawon Surabaya siang harinya?
“Sekarang, ke Solo seperti main-main. Bisa satu hari pulang pergi, pagi berangkat, malam sudah sampai kembali di Surabaya tanpa rasa capek,” ungkap Edo, seorang drummer sebuah kelompok lumayan terkenal (Power Metal) di kotanya, kepada saya ketika bertemu di sebuah rumah kenalan di Ngagel Mulyo, Surabaya.
“Luar biasa. Biasa saya ke Caruban lebih dari dua jam. Kemaren, saya mengangkut jenasah dari Palur (Solo Timur) ke Caruban hanya sekitar 45 menit melalui tol,” kata Bambang Eddy, seorang pensiunan yang kini penghidupannya menyupir mobil ambulans dari Palur ke berbagai kota di luar Solo. Palur, sekitar 4 km dari pintu tol terdekat Trans Jawa menuju arah Jakarta maupun sebaliknya ke Surabaya. Ke Madiun? Jika dulu perlu dua jam, kini cukup 30 menit, dan 15 menit berikutnya sudah bisa keluar pintu tol Caruban.
“Kok cepet sekali ya? Tujuh jam sampai rumah,” ungkap Teh Tarisem, yang diantar sakit dari rumahnya di Kali Kepiting Surabaya menuju Bongas Benda di Indramayu. Tidak terbayangkan, betapa repotnya jika tidak melalui jalan tol dari Surabaya ke desanya. Praktis, perjalanan berat hanya sekitar 100 km sekeluar pintu tol Palimanan, di Cirebon menuju desanya yang terisolasi di tengah persawahan Indramayu.
Nah, ungkapan emak-emak “Kami Makan Infrastruktur” itu nanti akan pelan-pelan terkikis, tidak hanya oleh berbagai kepentingan mendesak untuk menjangkau kota-kota kota lain, melalui Trans Jawa. Akan tetapi juga berbagai kepentingan ekonomi.
Dari pemandangan sepanjang perjalanan Jakarta, Solo, Surabaya, Semarang, Jakarta awal Februari ini, sebenarnya berbagai “kendaraan ekonomi” sudah mulai terlihat. Tidak sedikit, truk-truk – utamanya jalur Semarang-Jakarta, yang memanfaatkan jalan tol Trans Jawa. Belum lagi “bus mewah” yang kini mulai disukai sebagian masyarakat, untuk mencapai Jakarta-Semarang dengan bus tingkat hanya dengan Rp 50.000…
Truk-truk yang banyak memanfaatkan Jalan Tol, utamanya adalah truk-truk angkutan Bahan Bakar Minyak, dan truk-truk engkel, yang membawa produk-produk ekonomi tertentu. Juga bus-bus wisata yang bertujuan Jakarta-Solo-Surabaya.
Beberapa tempat perhentian, rest area, memang belum pada selesai dibangun. Utamanya pada jalur Surabaya menuju Palimanan Cirebon. Juga pompa-pompa bensinnya. Tetapi terlihat, sudah mulai berdiri beberapa rest area, yang bukan tak mungkin akan meriah di masa datang, di jalur baru Trans Jawa ini.
Belum lagi jika nanti, siapa tahu di periode kedua pemerintahannya Joko Widodo akan mewujudkan Trans Sumatra? Wah, bisa-bisa emak di Sumatera Barat nanti malu-malu kucing akan berubah komentar, “Lumayan juga nih Infrastruktur?” Siapa tahu.
Apakah Infrastruktur itu perlu demi peningkatan kesejahteraan rakyat, atau sebaliknya tidak perlu, tergambar jelas dalam debat capres.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews