"Coup d’état” atau “Self-Coup”

Yang “terjadi di Partai Demokrat” apakah itu coup d’état atau self-coup, waktu yang akan membuktikan. Sebab, kekuasaan selalu menyimpan misteri, meski akhirnya, kebenaran yang akan menang.

Kamis, 4 Februari 2021 | 06:39 WIB
0
157
"Coup d’état” atau “Self-Coup”
Reaksi atas kudeta di Myanmar (Foto: tempo.co)

I

Tiba-tiba, sepatah kata yang sudah lama “digudangkan” dan dijaga superketat agar tidak keluar dari gudang, apalagi digunakan—seperti raja angkara murka Prabu Dasamukha yang ditindih dan dihimpit dua gunung kembar serta dijaga siang malam oleh Senggana Anoman agar tidak lolos—muncul menembus kepungan pandemi Covid-19.

Sekejap orang “lupa” pandemi Covid-19. Perbincangan di media sosial dan berita di media arus utama pun berkait dengan kata “sakti” itu: coup d’état atau kudeta. Sepotong kata yang menimbulkan rasa miris, bergidik, rasa takut sekaligus ngeri. Sebab, biasanya kudeta dilakukan dengan kekerasan pun pula berdarah. Memang, ada juga, bahkan banyak, yang tanpa kekerasan—meski dengan paksaan dan ancaman—dan tidak berdarah.

Di Indonesia, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam konferensi pers Senin (1/2/2021) mengungkapkan  dugaan adanya kudeta atau pengambilalihan kepemimpinan partainya.

Pada hari yang sama, Senin (1/2/2021) di Myanmar, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata (Tatmadaw) Jenderal Min Aung Hlaing, mengumumkan bahwa dia mengambil alih kekuasaan. Ia  menyatakan telah terjadi kecurangan dalam  pemilu November lalu yang dimenangi oleh Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), pimpinan Aung San Suu Kyi.

NLD merebut 396 dari 476 kursi di kombinasi majelis rendah dan majelis tinggi Parlemen. Komisi pemilu mengesahkan kemenangan itu. Tetapi, militer menyatakan pemilu banyak kecurangan, antara lain, banyak nama ganda. Namun, militer tidak mampu menunjukkan bukti. Sekalipun demikian, militer tetap mengambilalih kekuasaan: menangkap dan menahan Aung San Suu kyi, para elite politik, termasuk Presiden Win Myint. Dan, memberlakukan keadaan darurat untuk masa setahun ke depan.

Praktik kudeta, bukan hal baru dalam sejarah. Kudeta pertama di Myanmar terjadi pada tahun 1962 oleh Jenderal Ne Win menggulingkan pemerintah sipil dan membentuk rezim otoriter terpusat yang menggabungkan unsur-unsur sosialisme dan nasionalisme. Alasan militer melancarkan kudeta adalah khawatir bahwa pemerintah sipil gagal untuk menindak keras gerakan etnis minoritas dan sayap bersenjata yang memberontak.  Sejak itu selama hampir enam dasarwarsa militer menguasai panggung politik negeri itu.

Sekarang mereka ulangi lagi. Militer menyatakan, harus bertindak karena sekarang negara dalam keadaan darurat. Krisis Corona-19 dan kegagalan pemerintah menunda pemilu November lalu—yang dimenangi NLD lagi—dijadikan alasan adanya keadaan darurat. Maka dengan berpegang pada pasal 417 Konstitusi 2008, militer mangambilalih kekuasaan.

Konstitusi 2008 adalah hasil rancangan militer, yang memberikan peluang mereka tetap mempertahankan kekuasaannya, yang oleh Human Rights Watch disebut sebagai “mekanisme kudeta yang menunggu.” Karena militer merasa tidak nyaman berada di bawah kekuasan sipil.

II

Istilah coup d’état atau kudeta berasal dari bahasa Perancis. Dalam bahasa Prancis, coup d’état secara harfiah berarti “pukulan atau pukulan negara”, dan aslinya bisa merujuk pada tindakan politik dramatis apa pun. Frasa itu masuk ke dalam bahasa Inggris, coups, dan lalu muncul istilah-istilah lainnya dengan kata coups.

Misalnya,  coup de grâce (arti harfiahnya, pukulan atau tembakan terakhir untuk membunuh orang atau binatang yang terluka; jadi lepas dari kesengsaraan); coup de main (arti lurusnya, serangan dadakan yang mengejukan, terutama dilakukan oleh tentara saat perang).

Edward Luttwak, seorang ahli strategi militer dalam bukunya, Coup d’État: A Practical Handbook (1968), mendefinisikan kudeta sebagai “infiltrasi sebagian kecil, tapi kritis, segmen aparat negara, yang kemudian digunakan untuk menggeser pemerintah dari kendalinya.” Sementara ilmuwan politik dari Universitas Kentucky, AS, Clayton Thyne mendefinisikan kudeta sebagai “usaha ilegal dan berniat jahat oleh militer atau elite lainya dalam aparatus negara untuk menyingkirkan eksekutif yang berkuasa.”

Masih ada definisi-definisi lain tentang kudeta. Dalam kamus Merriam-Webster, istilah coup d’état diartikan sebagai “penggunaan kekuatan yang menentukan secara tiba-tiba dalam politik; terutama: penggulingan atau perubahan pemerintahan yang ada oleh sekelompok kecil dengan kekerasan” Ada lagi yang mengartikan coup d’état sebagai “tindakan ilegal secara tiba-tiba, seringkali dengan kekerasan, mengambil alih kekuasaan pemerintah, terutama oleh (sebagian dari) pasukan.”

Samuel P Huntington dalam bukunya Political Order in Changing Societies (1968) menyebutkan secara umum ada tiga tipe kudeta:

Pertama, kudeta terobosan (the breakthrough coup). Ini tipe yang paling umum, yakni kelompok sipil yang beroposisi atau militer mengorganisasi penggulingan pemerintahan dan menjadikan mereka sebagai pemimpin baru. Revolusi Bolshevik 1917 di Rusia, yang dipimpin oleh Vladimir Ilyich Lenin menggulingkan rezim tsar, adalah contoh kudeta terobosan.

Kedua, kudeta pelindung/pengawal (the guardian coup). Kudeta tipe ini biasanya dibenarkan untuk “kebaikan bangsa yang lebih luas.” Kudeta ini terjadi ketika sekelompok elite menggulingkan kelompok elite yang sedang berkuasa. Misalnya, seorang jenderal menggulingkan raja atau presiden.

Banyak yang berpendapat bahwa penggulingan Presiden Mohamad Morsi oleh Jenderal Abdel Fattal el-Sisi pada tahun 2013, sebagai bagian dari Revolusi Musim Semi Arab. Kudeta dilancarkan untuk mengawal revolusi. Itu dalihnya.

Ketiga, kudeta veto (the veto coup). Dalam kudeta veto ini, militer bertindak untuk mencegah terjadinya perubahan politik radikal. Kudeta gagal tahun 2016 oleh sebuah faksi militer Turki dilakukan sebagai upaya untuk mencegah apa yang dianggapnya sebagai serangan Presiden Recep Tayyip Erdogan terhadap sekularisme, bisa menjadi contoh dari kudeta veto.

III

Adalah Napoleon Bonaparte, menurut jurnal Terrorism and Political Violence (1994), yang dicatat sebagai pelaku pertama kudeta moderen, pada 9 November 1799. Ia menyingkirkan Komite Keselamatan Publik Perancis setelah revolusi dan menggantikannya dengan Konsul Perancis dalam sebuah kudeta tak berdarah.

Lalu, pada Desember 1851, keponakan Napoleon Bonaparte yakni Charles Napoleon Louis, yang saat itu berkuasa melantik dirinya sendiri sebagai diktator, agar tetap bisa berkuasa. Ini yang disebut sebagai self-coup, atau autocoup mengkudeta dirinya sendiri yang dalam bahasa Spanyol disebut autogolpe.

Langkah itu dilakukan antara lain dengan membubarkan atau membuat lembaga legislatif tak berdaya; membatalkan konstitusi, membekukan pengadilan, dan meminta kepala pemerintahan—yang adalah dirinya sendiri—menjadikan dirinya menjadi diktator. Dengan kata lain, autogolpe, self-coup dilakukan oleh eksekutif untuk menambah atau mempertahankan kekuasaan (Brookings, 8 Januari 2021).  

Antara 1946 dan 2020, diperkirakan terjadi 148 upaya self-coup: 110 di negara otokrasi dan 38 di negara demokrasi (The Washington Post, 5 Januri 2021). Pola self-coup atau autogolpe ini dulu kerap terjadi di Amerika Latin: sebuah kudeta militer diprakarsai atau militer bersekongkol dengan pemimpin terpilih, terutama supaya bisa memiliki kekuasaan absolut.

Secara teknis, yang dicoba dilakukan oleh Donald Trump (dengan meggerakkan orang-orangnya menyerbu Gedung Capitol) masuk dalam kategori ini, self-coup. Tujuannya adalah agar tetap berkuasa (Politico, 11/1/2021). Nicolas Maduro dari Venezuela juga melakukan autogolpe setelah kalah dalam Pemilu 2017, agar tetap bisa berkuasa. Pada tahun 2015, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan melakukan hal yang sama.

IV

Di ujung lorong, baik coup d’état maupun self-coup atau autogolpe, urusannya adalah kekuasaan. Sebuah coup d’état dilakukan untuk merebut kekuasaan. Suatu self-coup atau autogolpe dijalankan dengan menyingkirkan segala macam perintang, untuk menambah dan mempertahankan kekuasaan. Segala cara dilakukan demi yang namanya kekuasaan.

Ketika sudah berurusan dengan kekuasaan, maka ungkapan yang dulu  dikatakan oleh pelawak kondang zaman Romawi, Titus Macius Plautus (251-184 SM) dan dipopulerkan oleh Thomas Hobbes yakni homo homini lupus est—manusia adalah serigala bagi manusia lain—memperoleh tempatnya. Ungkapan itu lengkapnya Lupus est homo homini, non homo, quom qualis sit non novit, manusia serigala bagi manusia lain, bukan manusia, ketika tidak tahu seperti apa dia.

Bila sudah menjadi “serigala” maka manusia akan melihat manusia lain sebagai saingan, musuh, dan ancaman bagi dirinya, yang harus dihadapi dan bahkan disingkirkan. Menjadi serigala berarti akan rela “makan” temannya sendiri demi kekuasaan, demi popularitas, demi jabatan, demi kekayaan, juga demi karir entah di perusahaan swasta, pemerintahan, atau di politik. Egoisme radikal yang berkuasa.

Yang terjadi di Myanmar, berdasarkan pengertian di atas, adalah sebuah kudeta militer. Meskipun mereka beralasan kudeta dilancarkan untuk menjaga stabilitas nasional. Alasan klasik. Tetapi, pada dasarnya adalah militer yang sudah demikian lama menikmati madunya kekuasaan tidak mau di bawah pemerintahan sipil.

Sementara yang “terjadi di Partai Demokrat” apakah itu coup d’état atau self-coup, waktu yang akan membuktikan. Sebab, kekuasaan selalu menyimpan misteri. Meskipun pada akhirnya, kebenaran yang akan menang.

***