Separatisme

Seperti dalam praktik politik canggih di belahan dunia lainnya, separatisme bisa juga adalah sebuah "proyek" yang diciptakan dan dipelihara. Dia menjadi komoditi dalam suatu 'market of violence'

Sabtu, 22 Februari 2020 | 06:53 WIB
0
278
Separatisme
Ilustrasi seperatisme (Foto: magazine.job-like.com)

Sebagai gerakan politik, separatisme ternyata masih eksis dan terkadang muncul di beberapa daerah, dengan skala dan intensitas yang berbeda. Mengapa separatisme masih tetap eksis ?

Kemunculan gerakan politik yang menjurus ke separatisme seakan mengisyaratkan bahwa bagi 'nation-state' Indonesia yang sudah berusia 75 tahun, ada persoalan fundamental yang belum "selesai", yaitu persoalan integrasi nasional.

Sudah lama Clifford Geertz mengingatkan, Indonesia sebagai 'post-colonial state', akan terus dihadapkan pada persoalan integrasi nasional.

Persoalannya, kata Geertz, karena Indonesia seperti juga negara pasca-jajahan lainnya, adalah 'new state' yang dibangun diatas 'old societies', yang masih kuat loyalitas primordialisme berbasis agama, etnik, dan ras.

Tetapi apakah separatisme hanya berbasis loyalitas primordial semata?!

Ketika bicara "separatisme", yang segera terbayang adalah Aceh dan Papua, dua daerah di mana pergolakan bersenjata masih kerap terjadi. Latar belakang penyebabnya tentu berbeda, beragam, dan kompleks. Karena itu dibutuhkan pemahaman yang relatif holistik.

Dalam praktik politik, separatisme sering dipahami dan ditafsirkan untuk berbagai tujuan dan kepentingan berbeda. Maka pemahamannya bukan saja bisa berbeda, tapi juga bisa keliru. Pemahaman keliru akan menghasilkan kebijakan keliru dalam menangani persoalan ini.

Separatisme sebagai konsep, adalah suatu 'social reconstruction of reality' (pinjam Luckman and Berger). Sebagai rekonstruksi sosial (dan politik) atas realitas tertentu, konsep separatisme bisa ditafsirkan berbeda, tergantung siapa yang menafsirkan dan untuk kepentingan apa.

Maka separatisme bisa digunakan untuk justifikasi kepentingan politik tertentu, atau juga misalnya, untuk memberikan stigma negatif kepada kelompok lainnya (yang ini banyak contohnya dalam sejarah politik Indonesia).

Pada dekade 1950an di Sumatra dan Sulawesi, pernah muncul pergolakan bersenjata menentang pemerintah pusat. Diawali di Sumatra Barat dengan perlawanan PRRI, meluas ke Sumatra Selatan, dan juga ke sebagian Sumatra Utara.

Pergolakan daerah di Sumatra Barat itu langsung divonis Jakarta sebagai "separatisme", dan para pengikutnya diberi stigma "pemberontak"!

Apakah betul rakyat Sumatra Barat ingin memisahkan diri dari NKRI? Tidak masuk akal!

Bagaimana kita bisa membayangkan kelahiran nasionalisme Indonesia modern dan eksistensinya sebagai negara baru saat itu, tanpa sumbangan pemikiran dan perjuangan para tokoh intelektual sekaligus negarawan asal Minangkabau: Tan Malaka, 'The Grand Old Man" Haji Agus Salim, Hatta, Sjahrir, Yamin, dan lainnya (1999).

Bacalah buku-buku kajian sejarah tentang tokoh-tokoh itu, atau baca misalnya buku Audrey Kahin, REBELLION to INTEGRATION: West Sumatra and the Indonesian Polity (1999).

Demikian pula pada waktu yang sama (1956) di Sulawesi Utara dengan pergolakan PERMESTA (dipimpin Vence Sumual dan Alex Kawilarang). Apakah betul rakyat Minahasa ingin memisahkan diri dari NKRI ? Pasti tidak betul!

Sumual dan Kawilarang adalah tokoh-tokoh penting TNI yang ikut berjuang di Jawa era 1945-1949, bersama para pejuang lainnya asal Sulawesi dalam Laskar KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi). Bahkan Kawilarang, lulusan Akademi Militer Belanda (bersama AH Nasution dan TB Simatupang), adalah Panglima Divisi Siliwangi, divisi TNI paling profesional saat itu.

Studi Barbara S. Harvey, PERMESTA: HALF A REBELLION (1977), membuktikan bahwa pergolakan di Sulawesi Utara lebih merupakan ketidakpuasan sebagian elitenya atas kebijakan Jakarta, bukan gerakan separatis.
Itu sebabnya Barbara Harvey menyebut pergolakan itu sebagai "half a rebellion": pemberontakan "setengah hati" !

Dari berbagai kajian historis di atas, jelas bahwa latar belakang gerakan perlawanan di kedua daerah itu bukanlah karena ingin memisahkan diri dari NKRI, tapi ada sebab-sebab lain yang lebih kompleks.

Gerakan perlawanan itu adalah wujud ketidakpuasan atas kebijakan pemerintah pusat yang dianggap tidak adil secara ekonomi (misalnya pengelolaan dan bagi hasil SDA daerah); juga kurang responsif terhadap aspirasi daerah (sebenarnya gagasan awal otonomi daerah bisa dilacak mulai dari sini!).

Pemahaman konteks historis ini penting sebagai pembanding saat membahas fenomena separatisme setelah dekade 1950an, khususnya selama 30 tahun Orde Baru (Orba), dan juga masa kini.

Studi terbaru LIPI (POLITIK IDENTITAS, 2019) menunjukkan pergolakan daerah berbasis etnisitas selama Orba, selain Aceh dan Papua, juga terjadi di Riau dan Bali. Studi itu mengungkapkan beberapa faktor di balik pergolakan daerah tersebut. Antara lain 1) adanya kesadaran sebagai suatu kesatuan primordial yang khas; 2) adanya ketimpangan struktural (ekonomi); dan 3) dampak praktik kebijakan represif-otoriter dan diskriminatif.

Sebelum LIPI, Jaques Bertrand juga mengungkap hal yang sama dalam studinya, NATIONALISM and ETHNIC CONFLICT in INDONESIA (2004). Menurut Bertrand, kebijakan represif dan diskriminatif rezim Orba telah meninggalkan bekas yang tidak mudah hilang, sebaliknya dapat mendorong munculnya kembali gerakan perlawanan serupa pada masa kini.

Jadi, gejolak perlawanan di daerah bukanlah semata ekspresi sentimen primordialisme yang berkonotasi separatisme, ingin memisahkan diri dari NKRI. Tapi bisa juga sebagai wujud protes atas kebijakan yang tidak adil dan tidak responsif terhadap aspirasi dan kepentingan rakyat di daerah.

Tapi juga jangan lupa, seperti dalam praktik politik canggih di belahan dunia lainnya, separatisme bisa juga adalah sebuah "proyek" yang diciptakan dan dipelihara. Dia menjadi komoditi dalam suatu 'market of violence' ("pasar kekerasan").

***