KPK vs DPR [4]: Politisasi Everything

Jadilah orang yang bertanggung jawab atas segala perbuatan dan dampak yang mungkin ditimbulkannya.

Senin, 7 Oktober 2019 | 10:25 WIB
0
248
KPK vs DPR [4]: Politisasi Everything
Ilustrasi politisasi agama (Foto: DW.com)

"There was an idea... called the Avengers Initiative. The idea was to bring together a group of remarkable people to see if they could become something more. To see if they could work together when we needed them to, to fight the battles that we never could." ― Nick Fury to Tony Stark and Steve Rogers

MUI Jabar akhirnya sadar juga bahwa demo-demo yang terjadi saat ini telah ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan makar dengan mengatasnamakan demokrasi. MUI Jabar akhirnya sadar juga bahwa agama telah benar-benar dipolitisasi oleh orang-orang yang ingin memancing di air keruh melalui Gerakan Parade Tauhid dan Gerakan Mujahid 212.

Oleh sebab itu Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat menolak seruan pihak tertentu untuk melakukan gerakan aksi yang mengajak para ulama, habaib, ustadz, dan aktifis keagamaan, yang terindikasi akan menodai agama. Gerakan itu dianggap berpotensi memecah-belah bangsa.

“Gerakan itu bisa mengganggu dan memecah-belah kesatuan dan persatuan bangsa, untuk itu kami sebagai khadimul ummah DENGAN TEGAS MENOLAK,” kata Ketua MUI Jawa Barat Prof DR KH Rachmat Syafe’i, MA, Kamis (26/9).

Syafe’i menyatakan, pihaknya mengapresiasi gerakan mahasiswa yang menyampaikan kritik kepada pemerintah dan DPR RI. Namun, dia juga mengingatkan agar masyarakat waspada terhadap pihak-pihak yang ingin memancing di air keruh, terutama para provokator yang menginginkan suasana menjadi tidak kondusif. Pendapat senada juga diutarakan Sekretaris Umum MUI Jawa Barat Rafani Akhyar.

Menurutnya, kegiatan tanggal 28 September 2019, yang menamakan gerakan parade tauihid atau gerakan mujahid 212 dikoordinir oleh kelompok tertentu di Jakarta.

Untuk itu, MUI mengimbau kepada kaum muslimin, khususnya di Jawa Barat, untuk TIDAK MENGHADIRI kegiatan tersebut. “Mengimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk tidak terprovokasi ajakan mengikuti dan melakukan gerakan parade tauhid karena kegiatan tersebut merupakan POLITISASI AGAMA,” ujar Rafani.

Dia juga meminta kepada masyarakat untuk mewaspadai gejala bergesernya agenda tuntutan revisi undang-undang KPK dan undang-undang lainnya kepada isu lain, seperti pembatalan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih. 

Sebetulnya kesadaran yang baru muncul ini agak mengherankan dan menjengkelkan saya. It’s so obvious gitu loh…! And you just realize it…?! Where have you been…?! Tapi mengingat bahwa MUI Pusat saja bisa punya pengurus macam Tengku Zul saya baru sadar bahwa MUI ini justru memang perlu direformasi. 

Sekarang ini apa sih yang tidak dipolitisasi?

Apakah kalian mengira bahwa KPK itu tidak main politik? OMG…! Jangan terlalu naiflah…! 

Tidak perlu punya kenalan orang dalam untuk mengetahui bahwa orang-orang di dalam KPK itu juga ‘bermain’ politik untuk kepentingan pribadi mau pun kelompok mereka. Mereka yang ada di KPK jelas bukanlah para malaikat yang hidupnya semata diserahkan kepada pengabdian pada Allah semata. They are no saints. They are also flesh and blood with desires.

Tentu saja bahwa banyak orang-orang idealis yang menjalankan tugasnya dengan penuh kesungguhan di KPK demi membangun bangsa dan negara. Tapi tentu saja juga ada orang-orang tertentu yang sambil menyelam minum air, yang artinya selain menjalankan tugas negara yang diembannya juga membangun idealisme pribadinya dengan menyusun agenda-agenda bersama orang-orang di luar KPK.

Orang-orang di luar KPK ini tentu saja punya agenda tertentu pula. Kita semua ini kan memang tidak pernah lepas dari agenda-agenda baik itu pribadi, kelompok, golongan, agama, dll. Jadi pertama-tama tolong disadari dan dipahami bahwa KPK itu bukanlah kelompok para malaikat atau Avengers. Lha wong Avengers yang beranggotakan para superheroes itu saja harus mau diatur oleh pengawas yang bernama Nick Fury yang bukan superhero kok! 

KPK sendiri jelas main politik. Mereka dengan cerdik menggunakan tangan mahasiswa untuk menekan DPR dan Presiden (sebaiknya pakai diksi ‘cerdik’ atau ‘licik’ ya?). 

Lihat saja video ketika Bachtiar Firdaus mantan Ketua BEM UI dan sekaligus politikus PKS membriefing para ketua BEM di gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta. Alasannya menemani mahasiswa yang menginap di KPK menolak revisi UU KPK. Tentu saja Febri KPK berkelit dan menyatakan, "KPK mengajak semua pihak menghargai niat tulus dari para mahasiswa dan masyarakat yang menyuarakan pendapatnya. Jangan sampai mahasiswa dituduh digerakkan oleh pihak-pihak tertentu," kata Febri.

Lha wong jelas-jelas para ketua BEM itu dibriefing oleh politikus gitu kok!

Jika KPK ngotot menganggap Firli melakukan pelanggaran etika sangat berat karena bertemu dengan TGB yang sedang diincar dalam kasus korupsi (tapi sampai sekarang tidak naik juga kasusnya) lantas mengapa mereka dengan nyamannya membiarkan para mahasiswa dibriefing oleh politikus PKS. Apakah KPK tidak takut ada conflict of interest juga nantinya? Bukankah pada akhirnya KPK juga dituding sedang bermain mata dengan kepentingan politik tertentu? 

Apakah saya menulis ini dalam rangka menyerang KPK dan mahasiswa? Jelas tidak. Saya juga tidak sedang membela DPR dan Presiden. Mereka juga punya kepentingannya masing-masing dan mereka juga menggunakan kekuasaannya.

Saya hanya tidak tahan melihat orang-orang berkacamata kuda dan melihat dengan kacamata hitam putih. Itu gayanya George Bush ketika hendak menghancurkan Irak, “You’re with us or you’re against us.” Kalau kamu tidak membela saya maka kamu asu… Ojok ngono po’o, Rek! 

Seorang teman mengatakan pada saya bahwa seharusnya saya berterima kasih pada mahasiswa yang mampu menekan Presiden agar mau mengeluarkan Perppu. Berterima kasih…?! Apakah kalau Presiden mengeluarkan Perppu dan menegasikan sama sekali pekerjaan DPR selama ini maka ini menyelamatkan negara?

Itu kan baru asumsi orang-orang yang menganggap bahwa KPK bakal lemah syahwat dengan adanya UU KPK tersebut. Kita kan bicara negara dan bangsa dan KPK itu bukan identik dengan negara dan bangsa. KPK itu sebuah lembaga superbody yang juga harus ada aturan-aturannya agar tidak bekerja seenaknya hanya karena punya super power. Yang jelas kalau Presiden mengeluarkan Perppu maka itu menyelamatkan kepentingan kelompok di KPK yang tidak ingin dibatasi kekuasaannya.

Avengers tidak mau disetir oleh Nick Fury yang menjadi representasi dari negara. Yang jelas adalah bahwa para mahasiswa telah dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh kelompok tertentu di dalam KPK untuk menekan DPR dan Presiden melalui demo-demo yang akhirnya menjadi anarkhis. Mereka tidak bisa mengelak bahwa ekses dari demo mereka yang akhirnya menjadi anarkhis dan diboncengi berbagai kelompok dan kepentingan tersebut bukan menjadi tanggung jawab mereka.

Tidak. It’s you who started it and you should also be responsible to the effect.

Jadilah orang yang bertanggung jawab atas segala perbuatan dan dampak yang mungkin ditimbulkannya. Bukankah kita juga menuntut para polisi yang bertindak keras dan beringas pada para demonstran agar diusut dan dikenai tindakan indisipliner? Lalu siapa yang harus bertanggung jawab atas segala tindakan anarkhis, perusakan fasilitas umum, pembakaran gedung, dll? Mau ditimpakan semua pada polisi? 

Surabaya, 29 September 2019

Salam, Satria Dharma

***

Tulisan sebelumnya: KPK vs DPR [3]: Sindrom Bambang Sumantri