Terus Gimana Lagi, Jokowi?

Seorang Pemimpin harus mengambil resiko, ketika ukurannya bukan lagi trias-politika dalam konsep John Locke atau pun Montesquieu, tapi juga soal state-market-civil society-nya Huntington.

Jumat, 25 Oktober 2019 | 05:51 WIB
0
353
Terus Gimana Lagi, Jokowi?
Prabowo dan putranya (Foto: ngopibareng.id)

Keputusan Jokowi membentuk kabinet, menjadi sasaran tembak baru. Keputusan tak menyertakan kembali Susi Pujdiastuti (juga Jonan dan Archandra), tapi tetap memakai Yasona Laoly, memunculkan banyak kekecewaan.

Diangkatnya dokter Terawan sebagai Menkes, mengundang protes keras IDI. Pengangkatan Fachrul Razi sebagai Menteri Agama, memunculkan kekecewaan kalangan NU, sembari pura-pura tak tahu Wakil Presidennya dari kalangan NU.

Diangkatnya Nadiel Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, bukan hanya mengundang penolakan dan rencana demo para pengojol. Sinisme yang menolak menteri termuda ini, ngerti apa soal pendidikan nasional dan kebudayaan?

Last but not least, diangkatnya Prabowo sebagai Menteri Pertahanan. Para pendukung fanatik, para relawan yang dituding buzzer bayaran, frustrasi. Ada pula yang menuding ini bentuk pengkhianatan dan pragmatisme Jokowi mempertahankan kekuasaan.

Jokowi dinilai tak peka, karena Prabowo dulu waktu kampanye secara benderang menyatakan strategi merampok rumah tetangga yang kebakaran (bahkan bakar lalu rampoklah). Prabowo dianggap berbahaya karena menduduki pos Kemenhan, yang mengembalikan habitatnya, tentara, dengan anggaran yang besar. Tapi kekhawatiran (atau kecurigaan) pada Prabowo ini terlalu berlebihan. Bukan soal menuding Jokowi bodoh atau pragmatis, tetapi dinamika (dan konstelasi) politik tidak akan sesederhana kekhawatiran atau kecurigaan kita.

Terus maunya gimana? Tentu tak mudah. Bukan hanya melayani seluruh kehendak rakyat. Pada sisi lain, juga berada dalam situasi kompleks dengan persoalan bangsa dan negara hari-hari ini. Tentu akan lebih mudah menjadi penonton, apalagi golput yang tak beresiko, tapi berkomentar cem-macem ketika lagi-lagi kecewa.

Kita ingin diskusi yang fair. Tak hanya dengan pendapat sendiri melakukan claim dan labeling. Apalagi nuding-nuding kecebong melakukan pembenaran-pembenaran pada junjungan. Jika dikatakan lebih penting berkoalisi dengan kepentingan rakyat, kita semua rakyat. Emangnya siapa?

Jika ada rakyat lain, yang bergelar SJW, berpendapat beda, normal saja asal, tak lantas merasa paling bener. Tidak fair jika tiba-tiba mereka yang tak mau ambil resiko, melakukan judgment dengan alasan masing-masing. Menegasi wajar, tapi meniadakan, itu tidak fair. Di situ mestinya diskusi berisi negosiasi yang dibangun dengan argumentasi dan segala reasoningnya.

Kita bukan membela Jokowi dengan asal pembenaran. Tetapi, setidaknya akan sampai pada pertanyaan; Lantas mana yang terbaik, yang mesti diambil? Kita diskusi dulu? Sampai kapan? Mereka yang terlalu cerdas untuk terlibat dalam politik, ujar Plato, dihukum melalui pemerintahan oleh mereka yang lebih bodoh. Kenapa? Karena pejabat yang jelek dipilih warga negara yang baik (tapi) tidak ikut pemilihan umum, seperti ujar George Jean Nathan. Itu soal pilihan strategi, atau perjuangan yang konyol?

Jika Jokowi dipilih karena pemilihnya bodoh, bagaimana cara mendidik agar cerdas? Dengan sulap atau sihir? Marilah berpikir proporsional. Adil sejak dalam pikiran. Jangan hanya claiming paling benar kemudian nuding liyan sebagai cebong pemuja Jokowi. Sebagai sesama rakyat yang tak punya banyak pilihan. kita berada dalam satu situasi, butuh disikapi segera. Bukan sekedar perdebatan wacana, apalagi cuma sebagai penciptaan panggung tepuk tangan.

Di situ seorang Pemimpin harus mengambil resiko, ketika ukurannya bukan lagi trias-politika dalam konsep John Locke atau pun Montesquieu. Tapi juga soal state-market-civil society yang sebagaimana pendapat Samuel P. Hutington, jauh lebih kenceng dan dinamis. Bukan lagi sekedar politis tapi dialektis. Di situ antara lain, kita memilih seseorang yang berani ambil resiko untuk bertindak. Dan sayangnya, itu bukan engkau ‘kan, my dear?

Sekali lagi, ini bukan soal pembenaran, tetapi memahami masalah secara proporsional. Karena kita sebagai rakyat, urusannya jauh lebih banyak dan mendasar. Yakni memperjuangkan hidup kita agar sejahtera, nikmat dan nyaman. Kecuali seperti komentator sepakbola di televisi, mereka dibayar memang untuk teriak-teriak lebih kenceng dibanding para pemain di lapangan. Itu mah beda lagi.

Adakah engkau tidak melihat, bagaimana Didiet Prabowo berdiri di samping ayahnya, menunduk hormat dua kali pada Jokowi, ketika bersalaman? Apakah engkau masih juga menyebutnya ini sebuah skenario yang sedang dirancang? Apakah engkau tak menangkap drama di belakang panggung, atas kehadiran Didiet itu? Seberapa benci dan cintanya kita pada diri kita sendiri?

***