Legacy Politik Jokowi, dari Program Kerakyatan menuju Kemakmuran

Pemilu presiden hanya sebuah terminal antara. Kereta Indonesia harus terus berjalan. Pekerjaan lebih besar justru baru dimulai setelah pemilu presiden 2019 selesai.

Selasa, 27 Agustus 2019 | 06:19 WIB
0
403
Legacy Politik Jokowi, dari Program Kerakyatan menuju Kemakmuran
Saya di Istana (Foto: Facebook Presiden RI)

Program kerakyatan potensial membuat Jokowi terpilih kembali pada pemilu presiden 2019. Namun program kemakmuran yang akan membuat Jokowi dikenang sebagai presiden yang berhasil. 

Itulah kesimpulan cepat saya di hadapan lebih dari 24 makalah. Saat itu saya sedang berada di depan komputer. Ini sebuah kekayaan data luar biasa. Setiap bulan Lingkaran Survei Indonesia Denny JA (LSI Denny JA) melakukan survei sejak Agustus 2018. Setiap dua minggu sekali data itu sudah disajikan menjadi makalah konferensi pers. 

Di hadapan saya, berserak kumpulan lebih dari 24 makalah konferensi pers LSI Denny JA sepanjang pemilu 2019. 

Beragam judul yang diangkat dalam makalah ini. Yang paling banyak data soal efek elektoral program populis Jokowi. Agaknya program itu menjadi password utama Jokowi untuk terpilih lagi. 

Tapi ada pula data soal pertarungan calon presiden (capres) pada enam kantong suara. Ada isu yang mengukur pengaruh ulama. Ada efek elektoral kepuasan ekonomi. Ada pula yang mengukur pengaruh elektoral reuni 212. Ada soal data golput (golongan putih). Ada data soal hoax. 

Tak hanya soal calon presiden, banyak pula data soal partai politik. Ternyata lebih banyak pemilih yang terdorong memilih calon legislatif (caleg) yang ia kenal ketimbang memilih nama partai. Tapi hanya 25 persen pemilih yang mengenal nama caleg. 

Saya seolah ada dalam rimba data. Bagaimana menyajikan semua data itu menjadi sebuah buku yang inspiring. Yaitu potret yang mendapat hikmah dari dinamika perilaku pemilih. Itu era 7-8 bulan kampanye pemilu 2019. 

Saya baca kembali sekilas aneka temuan survei. Dalam pemilu presiden 2019, Jokowi kalah pada segmen pemilih terpelajar. Tapi Jokowi menang besar pada pemilih wong cilik. Jokowi kalah dalam segmen pemilih muslim konservatif. Tapi Jokowi menang dalam pemilih muslim moderat. 

Jokowi kalah dalam segmen pemain twitter. Tapi Jokowi menang dalam segmen pemain facebook. 

Yang paling penting memang kemenangan Jokowi di segmen wong cilik. Dengan definisi penghasilan 2 juta sebulan ke bawah, total jumlah populasi wong cilik sekitar 50 persen. Menang telak pada segmen ingin menjadi tulang punggung kemenangan pemilu presiden 2019. 

Tak heran, menjelang kampanye berakhir, Jokowi semakin gencar memobilisasi program populis: Pembagian Sertifikat Tanah Gratis, Program Keluarga Harapan 34 triliun. 

Kini program populis itu ditambah lagi dengan Kartu Sembako, Kartu Pra-kerja, Kartu Pra-kuliah. 

** 

Saya membaca lagi studi mutakhir yang dapat membenarkan pentingnya program populis untuk menang pemilu. Rekomendasi itu bersandar pada riset empirik berulang-ulang. 

Disertasi ini ditulis oleh Robert Nash Lupton untuk gelar akademik tingkat doktoral ilmu politik di Michigan State University, tahun 2015. 

Topik yang dibahas hasil riset empirik mengenai perbedaan persepsi dan perilaku politik antara massa dan elit dalam melihat kebijakan anggaran. Kasusnya studi mengenai 24 tahun data (1980-2004) anggaran pemerintah federal. 

Temuan itu memperkuat banyak studi sebelumnya. Massa dan elit cenderung berbeda dalam menilai dan merespon kebijakan publik. Untuk kasus anggaran pemerintah federal sebagai misal, elit sangat dipengaruhi oleh perspektif: “siapa dapat apa dan bagaimana?” (who gets what and how?). 

Elit dari Partai Demokrat akan cenderung memihak dan positif jika ujung dari anggaran itu untuk kesejahteraan rakyat kecil. Walau dengan resiko kadang harus menaikkan pajak. 

Sementara elit dari Partai Republik akan negatif jika terlalu banyak beban pemerintah bagi program kesejahteraan. Bahkan aneka subsidi program kesejahteraan sebaiknya dikurangi. Pajak sebaiknya juga diperkecil agar dunia usaha semakin bergairah. 

Tapi perilaku dan perspektif massa agak berbeda. Garis pemisah perilaku massa terutama bukan ideologi liberal versus konservatif. Penggerak perilaku massa juga bukan paham “Kurangi Pajak” versus “Perbesar Program Kesejahteraan.” 

Massa akan lebih menilai apapun dari benefit langsung yang mereka terima. Program populis, terlepas apakah efeknya bagus atau buruk bagi ekonomi nasional sangat mereka sukai. 

Tak heran dalam tahun pemilu, apalagi jika pertahana maju lagi, terlepas apakah sang pertahana liberal atau konservatif, pro kesejahteraan rakyat atau pro pajak yang dikecilkan, Ia cenderung memobilisasi program populis. Yang penting menang pemilu dulu. 

Dari sisi efek elektoral, jumlah massa itu jauh lebih banyak ketimbang jumlah elit! Pemenang pemilu hanya menghitung jumlah pendukung, bukan kualitas pendukung. Harga elektoral seorang buruh tani sama dengan harga elektoral seorang profesor doktor penerima hadiah nobel. 

Program populis memang kunci kemenangan pertahana! 

**

Memang program populis paling besar kontribusinya membuat Jokowi menang kembali. Data survei LSI Denny JA pada pemilu 2019 berulang-ulang mengkonfirmasi itu. 

Namun semata program kerakyatan tak menjamin negara cepat makmur! 

Memakmurkan negara persoalannya tak hanya masalah ekonomi. Politik harus pula stabil. Paham kebangsaan harus pula kokoh. Pertumbuhan ekonomi harus pula tinggi. Teknologi perlu terus diperbaharui. 

Tapi apa yang terjadi jika paham kebangsaan sendiri terus ditentang? Apa yang terjadi jika paham keagamaan yang berbeda punya daya tarik yang kuat membawa Indonesia tidak menyerupai negara barat sana? 

Apa yang terjadi jika lahir fragmentasi di kalangan elit politik? Apa yang terjadi jika banyaknya partai di parlemen membuat terlalu banyak negosiasi dan kompromi? 

Apa pula yang terjadi pasca 2024? Kini Jokowi sudah terpilih kembali pada pemilu 2019. Tapi apa yang terjadi jika di tahun 2024 yang terpilih adalah lawan ideologisnya? Yang terpilih adalah politisi yang membawa Indonesia ke jalan berbeda? 

Aneka pertanyaan ini membuat kita sadar. Pemilu presiden hanya sebuah terminal antara. Kereta Indonesia harus terus berjalan. Pekerjaan lebih besar justru baru dimulai setelah pemilu presiden 2019 selesai. 

***

Denny JA