Harapan Setinggi Selangit Prabowo-Sandi atas Survei Litbang Kompas

Jumat, 22 Maret 2019 | 22:12 WIB
0
605
Harapan Setinggi Selangit Prabowo-Sandi atas Survei Litbang Kompas
Prabowo dan Sandiaga (Foto: Detik.com)

Ibarat Moto GP balapan sudah hampir pada tikungan terakhir. Pada saat tikungan terakhir pengamat, surveyor, pemerhati memperhatikan kondisi ban pembalap, pemilihan ban yang pas entah keras dengan keras, keras dengan medium atau soft bisa diprediksi dengan gaya balapnya.

Pada saat tikungan terakhir jarak antara pembalap di depan dengan pembalap di belakangnya pelan- pelan terpangkas. Kalau pembalap di belakangnya cerdas ia akan memanfaatkan waktu dengan menggeber pelan- pelan sampai pada suatu titik pembalap di depannya terlewati.

Jika pembalap cenderung boros dalam menakar traksi dan kasar dalam membalap diperkirakan pada putaran terakhir kecepatan motor akan menurun secara signifikan, jika memaksa kecepatannya tentu sangat beresiko terlempar dari motor karena keseimbangan kekuatan mesin dan cengkeraman ban tidak seimbang. Kemenangan yang sudah didepan matapun buyar sudah.

Harapan menang saat tikungan terakhir itulah yang menjadi asa terakhir Prabowo Sandi. Apalagi setelah Kompas merilis survey teranyar dimana Petahana Jokowi elektabiitasnya mengalami trend menurun. Kompas yang biasanya cenderung condong pada petahana kali ini mengambil jalan beda dibanding lembaga survey lain.

Tentu saja BPN  Prabowo dan Sandiaga mulai menggantungkan asa setinggi langit terhadap realitas survey yang mulai menggoyang kemenangan Jokowi. Jika pihak Jokowi lengah bukan tidak mungkin apa yang dirilis Kompas mengindikasikan kekalahan Jokowi ataupun kalau menang hanya berselisih tipis.

Ketar- ketir pendukung Jokowi mulai muncul, sebab Kompas termasuk termasuk media terpercaya. Apa yang dirilis Kompas tentu saja membuat jagat politik Indonesia berada dalam titik didih. Dalam setiap perbincangan, diskusi- diskusi di ruang publik muncul kasak- kusuk, Di taksi online supir taksi mulai memanas- manasi penumpangnya bahwa akan ada presiden baru di tahun 2109. Lalu apakah kondisi real itu adalah sebuah sinyal bahwa serangan mirip Amerika dengan Post Truth-nya mulai menampakkan hasil.

Modal hoax serta antitesis dari populernya Jokowi di mata rakyat berdampak pada pembelahan- pembelahan pendapat. Sulit membayangkan jika Jokowi kalah. Jika ternyata Jokowi kalah oleh masifnya hoaks- hoaks yang tidak pernah lelah menyerangnya tentu sebuah keprihatinan luar biasa.

Manusia berada pada situasi di mana kejujuran dan kesederhanaan mulai ditinggalkan. Manusia akan selalu bermain dengan hembusan isu-isu. Dari bergeraknya agama yang mengglobal dengan munculnya Khilafah, HTI dan gerakan radikal agama yang menjungkalkan toleransi serta menghilangkan budaya sebagai pegangan manusia untuk bisa menghargai keindahan.

Radikalisme menuntut militansi, mereka tidak peduli pada kebudayaan, tidak mencintai seni, yang dicintai adalah bagaimana melakukan tawar-menawar untuk bisa mencapai surga. Maka hitung- hitungan agama radikal adalah sejauh mana tiap manusia bisa berlomba-lomba berdoa, berlomba- lomba melakukan kebaikan yang bisa ditakar.

Sebab, semakin banyak melakukan kebaikan terutama pada saudara seagamanya akan semakin mudah untuk memperoleh kapling surga. Maka banyak orang mulai hijrah. Melupakan “dunia” masuk dalam ritual–ritual agama. Memakai baju- baju tertentu sebagai simbol kesucian, dan tekun melakukan perang terhadap paham lain yang tidak sejalan dengan kepercayaannya.

Lihat saja Amerika, Brasil, Philipina. Apakah mereka memilih pemimpin bersih? Rakyat mereka seperti melakukan gambling, memilih pemimpin bukan berdasarkan kualitas, melainkan menyesap isu-isu yang masuk terus menerus dan akhirnya dipercayai sebagai sebuah kebenaran. Nyatanya kejujuran itu pahit, jalan lurus itu sangat susah di jaman media sosial saat ini.

Tidak baik apa Jokowi,sederhana ya, pekerja tekun iya, tegas iya. Tetapi Jokowi dikelilingi oleh serigala- serigala berbaju domba. Tampak santun tapi ternyata siap menerkam siapapun jika lengah. Orang- orang politik di kiri kanannya susah dipercaya tulus mendukung kinerjanya. Mereka hanya memanfaatkan kedekatan untuk mengambil keuntungan.

Sorak- sorai mulai merasuk dalam kubu 02. Kompas telah membuat mereka bergairah yakin bisa membalikkan keadaan. Dan kebetulan apa yang dirilis Kompas hampir mirip dengan survey internal mereka. Bintang- bintang tampaknya mulai cerah di mata mereka.

Sudah lama penantian Prabowo untuk menduduki jabatan Presiden dan Sandipun sebagai real presiden akan lebih tersenyum karena meskipun dalam pidato-pidatonya data-data banyak meleset tetapi sebagai idola milenial ia berhasil mempengaruhi pemilih untuk percaya padanya meskipun paparan- paparan keberhasilan belum terlihat.

Masih ada beberapa minggu ke depan tentu dengan semangat kubu 02 harus bisa mengejar defiait elektoralnya. Dan mereka mengejar pemilih rahasia, mereka yang masih ragu dan tentu saja yang awal mula menyatakan golput.

Untuk kubu O1 tentunya menjadi peringatan agar mereka tidak lengah dan mabuk kemenangan. Mereka harus merapatkan barisan, tidak boleh terpeleset dengan melakukan blunder. Sebab tikungan terakhir itu begitu triksi.

Salah sedikit harapan yang sudah didepan mata "bukan begitu kang Rossi(Valentino Rossi)". Anda sudah sering merasakan bagaimana dalam tikungan terakhir harus gigit jari karena salah pemilihan ban dan terlalu menggebu mempertahankan posisi, padahal kondisi ban sudah dedel duel (rusak berat).

Siapapun pemenangnya hati-nuranilah sebenarnya yang harus didengar agar bangsa ini tidak semakin terpuruk dalam keterbelahan selama pemilu berlangsung. Kembali bekerja, kembali mengejar mimpi, kembali berpijak ke bumi.

Salam damai.

***