Mengapa Indonesia Butuh Jokowi?

Rabu, 13 Februari 2019 | 23:17 WIB
1
399
Mengapa Indonesia Butuh Jokowi?
Joko Widodo dan rakyat (Foto: KSP)

Joko Widodo, sebuah nama yang mencuri hati rakyat Indonesia sejak menjadi menjabat walikota Solo. Kini, ia lah pemegang tampuk kekuasaan tertinggi di negeri ini. Siapa dia? Anak tokoh sejarah? keluarga kongromerat? keturunan pejabat?

Bukan.... Pendiri partai atau ketua umum partai? Jelas juga bukan... Dia putra daerah yang sejak kecil hidupnya ya biasa saja, melalui fase belajar sejak sekolah dasar, menengah pertama, menengah atas hingga perguruan tinggi negeri. Ia kemudian sempat bekerja dan membuka usaha meubel yang bertahan hingga kini.

Apa yang spesial darinya? Kisah hidup seorang Jokowi yang bak tangga terendah sampai tangga tertinggi dengan peluang yang tidak semua orang duga. Saat kecil ia dan keluarganya hidup sangat sederhana, pernah tinggal di sebuah bantaran kali dan mengalami penggusuran.

Sempat hidup menumpang di rumah kerabat hingga orang tuanya berusaha bangkit lagi dengan rumah dan usaha yang baru. Perannya di kota Solo mengantarkannya menjadi birokrat di kota kesultanan itu. Dua periode diamanahkan warga kota Solo mengantarnya menjadi Gubernur DKI Jakarta yang kemudian melalui fase yang cukup dramatis di akhir tahun ke-2 jabatannya itu ia terpilih sebagai presiden RI. 

Karakter Jokowi dengan Kebutuhan Sosok Pemimpin RI

Jokowi memimpin negeri dengan tanpa membawa beban dari masa lalu. Tak ada catatan negatif sepanjang perjalanan hidup seorang Jokowi. Ia bisa lebih objektif dalam menilai kondisi bangsa ini dan memperhitungkan apa yang harus diperbuatnya.

Pengalaman hidup Jokowi yang memang berasal dari rakyat kecil membawanya pada gambaran kondisi yang terjadi. Menurutnya, rakyat kecil tak tersentuh pembangunan. Ia sadar bahwa pembangunan pasti lebih ditunggu oleh masyarakat kota yang lebih kritis. Dengan fokus membangun kota ia bisa saja lebih disukai banyak orang. Tapi ia berpikir rakyat yang mana yang harus ia dahulukan.

Kejelian naluri seorang Jokowi mengantarnya memprioritaskan Papua dan wilayah Indonesia timur lainnya untuk diberi jatah pembangunan wilayah. Ia prihatin terhadap biaya logistic di wilayah Papua yang sangat tinggi hingga harga kebutuhan pokok mencapai dua kali lipat atau lebih.

Padahal pemenuhan bahan pokok adalah titik dasar pembangunan fisik manusia yang sehat. Ia menyadari banyak wilayah di Indonesia timur selama ini seperti dianaktirikan, kurang perhatian dari pemerintah pusat.

Jokowi yang hanya putra daerah, belajar di sekolah lokal hingga perguruan tinggi negeri awalnya disangsikan banyak pihak dalam kemampuannya mengelola negeri ini. Tak jauh-jauh, Jusuf Kalla yang kini menjadi wakilnya sempat menyampaikan pesimisme akan kemampuan jokowi memimpin Indonesia.

Ternyata setelah 4 tahun berjalan bersama memimpin negeri, Jusuf Kalla pun mengakui bahwa yang terbaik dari calon pemimpin di negeri ini saat ini adalah Jokowi.

Pembawaan seorang Jokowi cukup tenang, ia pandai menstabilkan emosinya sekencang apapun tekanan dari luar menerpanya. Hoaks, kini menjadi musuh utama seorang Jokowi. Dari berita palsu mengenai dirinya, ibundanya, ayahnya, agamanya, istrinya hingga kini cucunya pun diusik.

Tuduhan bahwa dirinya adalah anggota PKI, keturunan PKI, anti islam, anti ulama, keturunan Tionhoa rasanya sudah kebal ia dengar. Syukurlah ia bukan seseorang yang termperamental. Kedewasaan mental membuat Jokowi bisa membawa dirinya dan keluarganya untuk bertahan menghadapi ujian hoaks dengan tetap tersenyum.

Jokowi adalah seseorang yang berjiwa muda, selalu muda. Ia adalah penikmat musik yang juga mencintai beragam karya seni dan kreatifitas kaum muda. Pola berpikirnya tidak standar-standar saja karena ia selalu mencari inovasi terbaru. Di eranya saat ini, ia menjadi magnet bagi milenial yang kreatif. Jokowi mendirikan Badan Ekonomi Kreatif untuk mendorong berkembangnya industri-industri kreatif di Indonesia. 

Program yang dilakukannya pun disokong teknologi digital yang kini digandrungi kaum muda. Meskipun begitu, Jokowi tak mengajarkan rakyatnya lupa budaya. Setidaknya di beberapa perhelatan negara ia mengajak para menteri dan tamunya mengenakan pakaian adat dari banyak suku bangsa di Indonesia.

Gaya santai dan luwesnya sering kali membuat pasukan pengamanan bingung. Ia bisa duduk berbaur dengan siapa saja, kapan saja ia mau. Tak banyak aturan protokoler diterapkan selama Jokowi menjabat. Bahkan, ketika turun menyapa masyarakat secara langsung, Jokowi lebih memilih untuk tidak dikawal ketat agar bisa leluasa.

Meskipun beberapa pihak membulinya dengan istilah "planga-plongo", karakter asli seorang Jokowi sangatlah jauh dari yang dituduhkan. Dalam sebuah acara yang melibatkan Siti Nurbaya Bakar yang kini menjabat di kabinet Jokowi sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberi kesaksian sendiri bahwa Jokowi merupakan figur yang tegas dengan caranya. 

Jokowi tidak memberi kompromi sedikitpun pada hal yang menurutnya tidak benar atau keluar dari visi misi kerja pemerintahannya. Contoh kasus dalam menghadapi Freeport, walaupun perlawanan cukup berat untuk mengalihkan 51 persen saham perusahaan tambang Amerika Serikat itu Jokowi tak gentar sedikitpun. Padahal, banyak pihak membisikinya untuk mundur. 

Dalam hal kinerja menteri kabinetnya, jika Jokowi menemukan kejanggalan atau menteri yang keluar jalur maka ia tak segan menegur bahkan memecatnya. Menteri yang kesehariannya bergaya tomboy ini mengatakan bahwa setiap program yang Jokowi terapkan jelas ada teorinya dan jelas tujuannya, bukan sekedar pencitraan seperti yang beberapa pihak tuduhkan.

Studi Kepemimpinan Universitas IOWA mengatakan (menurut Lippit dan white dalam Sutarto:1991) gaya kepemimpinan dibedakan menjadi tiga yaitu: 1. Authoritarian atau dictactorial, yaitu perilaku pemimpin dalam mempengaruhi karyawan menuntut agar bekerja / bekerja sama dengan semua cara yang diputuskan oleh seorang pemimpin. 

2. Democratic, yaitu gaya kepemimpinan dalam mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama dalam melaksanakan pekerjaan termasuk juga antara pimpinan dan anggota organisasi. 

3. Laisser faire atau free rein, yaitu kemampuan mempengaruhi orang lain dengan menyerahkan semua wewenang kepada bawahan atau karyawan.

Dari studi itu terlihat Jokowi masuk dalam kategori pemimpin yang demokratis, yang mengajak orang lain atau bawahannya bekerjasama, bukan sekedar menjalankan apa yang ia perintahkan. Pola blusukan yang diterapkan Jokowi merupakan ajakan kepada jajaran di bawahnya untuk sering melakukan pemantauan lapangan. Itu semua dicontohkan langsung oleh beliau bukan sekedar komando.

Jokowi adalah figur pelengkap kiprah pemimpin-pemimpin Indonesia yang sebelumnya meskipun tak bisa dipungkiri pastinya beliau memiliki kekurangan dan keterbatasan. Dengan kondisi bangsa kita saat ini yang beragam secara adat istiadat dan kepercayaan serta masuknya paham-paham dari luar yang mempengaruhi masyarakat, Jokowi adalah sosok yang dibutuhkan. Indonesia butuh kedamaian dengan dipimpin oleh pemimpin yang bijak, tidak gegabah dan tidak grasa-grusu. Prinsip kehati-hatian seorang Jokowi walau terkesan agak lambat adalah jalan terbaik demi menyelamatkan masa depan negeri kita.

Sebagai penutup satu kata-kata bijak dari Jokowi yang sangat berkesan bagi saya:

"Negeri kita menyimpan banyak problem. Kita tidur di atas banyak persoalan karena dipaksa percaya bahwa solusi tak pernah ada. Padahal dengan mengubah budaya kerja, membangun perjuangan bersama, semua itu bisa diurai."

Setidaknya ada suntikan optimisme baru buat saya dalam memandang negeri ini. Bagaimana dengan anda?

***

Sumber data: Buku "Jokowi Menuju Cahaya", Tribunnews.com, Detik.com, Viva.co.id, buku "Dasar-dasar Kepemimpinan Administrasi"