Jokowi Bukan Bagian Masa Lalu

Paska Jokowi kelak, Indonesia leading jadi negara yang genah, setelah hampir setengah abad stagnan, berada dalam kejumudan dan involusi di segala bidang.

Senin, 1 April 2019 | 13:41 WIB
0
199
Jokowi Bukan Bagian Masa Lalu
Joko Widodo (Foto: Agus Suparto/fotografer keluarga Presiden RI)

Jokowi adalah kita. Karena kita adalah rakyat biasa. Jokowi juga rakyat biasa. Bukan turun ningrat. Bukan turun lulusan Sorbone atau Harvard. Bukan turun tentara. Bukan turun presiden. Bukan turun Begawan Ekonomi dan bukan pula turun anggota Permesta.

Kita rakyat jelata ini, ingin melanjutkan Reformasi 1998 yang belum tuntas. Soehartoisme masih bersimaharajalela. Reformasi ditelikung elite politik, para politikus yang dengan ideologi nasionalisme atau agamaisme, tetap saja korupsi.

Memenangkan Jokowi dalam Pilpres 2019, sesuatu yang sangat mudah. Yakni dengan mencoblos tanda-gambarnya di Pilpres 2019 pada 17 April besok. Amat sangat mudah. Meski mungkin perjuangan ke TPS bisa tidak mudah, dan menakutkan. Tapi jangan takut, karena kalau kita takut ke TPS, itulah yang dikehendaki mereka yang menghendaki Jokowi kalah.

Pentingkah kemenangan Jokowi? Sangat penting. Setidaknya menutup kemungkinan kembalinya Orbaisme. Lima hingga 20 tahun ke depan, dunia berubah tak bisa didekati dengan kepemimpinan jadul bau KKN. Tak bisa mengandalkan ASN yang tak profesional dan bermental korup. Apalagi yang memanipulasi agama sebagai topeng perilaku busuknya; seperti kasus Presiden PKS dulu dalam korupsi daging sapi, atau korupsi dua Ketum PPP partai berlambang ka’bah itu.

Indonesia membutuhkan karakter kepemimpinan yang baru, namun dengan pengalaman terukur. Jokowi 16 tahun di pemerintahan (sebagai top leader; walikota, gubernur dan presiden), dengan reputasi dan prestasi yang jelas. Bukan bandingan dengan yang nyopras-nyapres tapi gagal mulu, apalagi kemudian memakai agama untuk menakut-nakuti.

Jika dalam berbagai survei majoritas pemilih Jokowi-Amin berpendidikan SMA ke bawah, dan pemilih Prabowo-Sandi majoritas berpendidikan Perguruan Tinggi, tak usah sewot. Lepas dari valid tidaknya survei itu, kemenangan jelas di pihak Jokowi-Amin.

Itu sekiranya kita cermat membaca survei. Karena kalau membaca data BPS, berapa persen rakyat Indonesia berpendidikan tinggi? Berapa persen yang berpendidikan SMA ke bawah? Maka 50% lulusan PT dan 50% lulusan Non-PT, berbeda dalam hal jumlah. Dan pemilu kita one man one vote bukan?

Jika dalam survei sering disebut ASN dan Guru lebih memilih Prabowo, itu juga alasan penting mengapa Jokowi harus menang. Dalam revolusi mental, pembangunan suprastruktur SDM, Indonesia butuh ASN dan Guru yang bukan hanya profesional, namun mau bersama-sama berjuang membangun bangsa. Sementara mental ASN dan Guru kita, majoritas masih mentalitas lama yang perlu direformasi.

Kemenangan Jokowi penting bukan hanya dalam rangka memberi inspirasi siapapun, untuk bercita-cita setinggi langit seperti ajakan Bung Karno. Melainkan untuk menjadikan rakyat jelata mempunyai pembelaan, percaya diri. Karena yang terpenting adalah yang dikerjakan, bukan yang diomongkan. Politik kita selama ini hanyalah politik kekuasaan, yang penuh kompromi dan pencitraan, tapi tanpa eksekusi sama sekali.

Bersama Jokowi setidaknya kita tahu, subsidi BBM ternyata hanya menguntungkan yang kaya. Penghapusan pajak, juga akan lebih meringankan yang lebih mampu. Begitu juga soal tarif dasar listrik, orang miskin yang cuma dapet jatah 450kwh tak dapat apa-apa dibanding yang rumahnya magrong-magrong, lebih dari satu.

Demikian juga rakyat juga tak lagi bisa ditipu, bahwa memiliki media massa (cetak, radio, televisi) seperti Surya Paloh dan Hari Tanoe, belum tentu membuat partainya laku. Demikian juga partainya Tomie Soeharto yang juga tidak laku.

Itu sebabnya, mungkin lho, sakitnya Anie Yudhoyono menjadi berkah tersendiri bagi SBY, yang pada faktanya tak bisa menolong banyak karir AHY, kartu mati Demokrat hingga pun pilpres lima tahun kelak di 2024. Trend ke depan, bukan politik kekuasaan yang akan menjadi acuan.

Politik ke depan adalah politik kerja, politik sinergitas, politik tumbuh bersama. Ideologi dan agama akan berpulang pada fitrahnya, untuk urusan ke dalam. Sementara outputnya adalah saling bekerjasama. Justin Trudeau, Emmanuel Macron, Jokowi, adalah contoh generasi baru dalam geneaologi politik kontemporer kita. Mereka berani, independen, tak terikat dan bukan bagian masa lalu.

Jangan ambil kekalahan Hillary Clinton sebagai contoh, karena mereka yang meyakini kemenangan Hillary tidak datang ke TPS. Yakini kemenangan Macron atas Marine Le Pen (yang seolah ulangan sejarah Jean Marie Le Pen versus Jacques Chirac). Mereka didukung semangat rakyat yang menginginkan perubahan, ke arah yang lebih baik dari masa lalu.

Kebanggaan pada politik identitas, sudah kadaluwarsa, sekaligus berbahaya, tidak ramah lingkungan. Itu sebabnya, Jokowi adalah jembatan emas kedua, setelah Bung Karno mengatakan bahwa Proklamasi Indonesia adalah jembatan emas.

Paska Jokowi kelak, Indonesia mestinya leading, menjadi negara yang genah, setelah hampir setengah abad stagnan, berada dalam kejumudan dan involusi di segala bidang. Di antara Negara G-20, kini Indonesia 3 besar dunia dalam pertumbuhan ekonomi.

Kita tak ingin Indonesia bubar, karena salah pilih pemimpin settingan, dengan berbagai sandiwara cinta yang dipaksakan.

Sunardian Wirodono

***