Alumni 212 kabarnya akan menggelar aksi reuni yang akan mengundang capres dan cawapres Prabowo dan Sandi. Entah kenapa orang-orang ini ngebet banget memakai momen aksi 212 untuk setiap aktivitas politiknya. Padahal mereka selalu ngotot bahwa aksi itu dulu sebagai bagian dari membela Islam.
Sekarang apa yang mau dibela oleh aksi reuni?
Yang paling menyebalkan justru dengan terus-menerus dieksploitasi aksi 212, semakin menjelaskan bahwa sejak dulu aksi itu memang dibuat bukan untuk membela agama. Aksi tersebut dirancang oleh politisi, untuk memetik manfaat politik, dan mengatasnamakan agama. Mereka kini secara terang-terangan menipu umat Islam untuk tujuan politiknya.
Benar apa yang dikatakan Ahok dulu, "Jangan mau dibohongi pakai ayat."
Sebuah statemen yang membongkar perilaku para politisi penjaja agama yang justru malah menjebloskan Ahok ke penjara. Siapakah yang ngotot menjebloskan itu? Ya, mereka-mereka yang terkena sindiran Ahok. Mereka yang sering membohongi umat dengan mengutip ayat-ayat kitab suci.
Semakin mereka menggelar aksi reuni atau memanfaatkan branding 212 untuk memetik keuntungan politik akan semakin terang benderang juga cara mereka menunggangi agama. Agama yang diturunkan Allah untuk memperbaiki akhlak umatnya oleh mereka ditekuk cuma menjadi keset dari sandal politik yang kotor.
Dulu aksi itu dibungkus untuk membela agama, padahal tujuannya untuk mengalahkan Ahok. Sampai politisi yang dikenal bersih dan punya komitmen kuat kepada rakyat itu harus merasakan dinginnya dinding penjara. Kini aksi reuni alumni 212 mau digelar lagi. Tidak ada kepentingan agama yang mau dibela. Yang ada hanya dukungan pada Prabowo-Sandi.
Artinya sejak dulu sebetulnya bukan agama yang mau dibela. Bukan Islam yang mau diperjuangkan. Tetapi hanya mau menang Pilkada DKI Jakarta dengan memanfaatkan kebodohan umat Islam. Islam dan agama hanya dijadikan alat untuk mendapatkan jabatan politik.
Politik memang kejam. Politik yang membungkus diri dengan agama, apalagi sampai mengorbankan orang yang jika ditelisik hanya terpeleset lidah, adalah dosa kifayah yang harus ditanggung umat Islam Indonesia.
Dipenjaranya seorang Ahok karena desakan aksi-aksi memang bisa dipetik sebagai pelajaran sejarah yang menyakitkan. Umat Islam di Indonesia digiring sedemikian rupa untuk bertindak brutal pada seorang Ahok. Agama dieksploitasi sedemikian sadis untuk menistakan seorang anak bangsa.
Dan sekarang, semua itu terbukti. Mereka menggelar aksi serupa hanya untuk membela Prabowo dan Sandi. Gak ada embel-embel bela Islamnya sama sekali. Wong, kata Yusril Ihza Mahendra, Prabowo itu gak punya track record sama sekali sebagai pembela Islam. Jadi aksi reuni 212 yang bakal mengundang Prabowo Sandi sama seperti aksi tipuan yang mengorbankan umat Islam untuk sekali lagi melakukan kesalahan kolektif. Atas nama agama, umat digiring untuk mempertunjukan kebodohannya.
Dulu kesalahan kolektif dilakukan untuk memenjarakan seorang Ahok dan menaikkan Anies Baswedan ke kursi Gubernur. Umat Islam yang kemarahannya dikapitalisasi oleh para pengasong agama dijadikan senjata untuk memenjarakan seorang Ahok. Sistem hukum terus diprovokasi dan ditekan untuk menampung tudingannya itu.
Mana ada proses hukum di Indonesia yang sedemikian kilat sehingga secepat itu kasus Ahok masuk pengadilan. Ketika mengajukan kasasi keputusannya juga seperti 'mencret', keluarnya lebih cepat bahkan sebelum nongkrong di closet. Dengan kata lain tekanan massa menjadikan sistem hukum kita gagal menegakkan keadilan. Kasus Ahok diperlakukan berbeda dari kasus lainnya.
Kini kesalahan kolektif dilakukan lagi untuk menyematkan aksi bela Islam sebagai aksi pendukungan pada Prabowo. Entah dilihat dari mana keislaman seorang Prabowo.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews