Obrolan tentang Pilpres dan Keriuhan Debat Media Sosial

Sabtu, 19 Januari 2019 | 13:30 WIB
0
181
Obrolan tentang Pilpres dan Keriuhan Debat Media Sosial
Pendukung capres (Foto: Bontang Post)

“Apakah Mas Bro ikut mengikuti keriuhan debat pilpres kali ini?”

“Ya aku ikuti dan membaca komentar-komentar di media sosial.”

“Lalu apakah sebaiknya tidak ada lagi debat selanjutnya?”

“Debat kapanpun bisa diselenggarakan toh sudah terlanjur terbelah. Mereka yang fanatik mendukung calon Presiden dan oposisinya tetap saja berdebat.”

“Lalu apa untungnya debat.”

“Tentu ingin mengetahui visi dan misi calon pemimpin”

“Bukankah sudah telanjur muncul skenario bahwa yang satu bertahan dan mencoba menahan gempuran hoaks dan suara kebencian yang dilancarkan lawan. Sang lawan juga tidak peduli mau datanya hoaks atau ngibul yang penting menyerang dulu, Kata orang pertahanan terbaik adalah dengan menyerang.”

“Walaupun harus mengorbankan nurani?”

“Bukanlah nurani sudah tergadai dari awal… Untuk dunia politik hanya kemenangan yang dipikirkan mau bagaimana caranya embuh ra ruh!”

 **

Betul juga masyarakat media sosial memang sudah terbelah. Keriuhan dukung mendukung itu menjadi warna komentar yang hadir dari pagi hingga malam, dari malam hingga siang. Kalau aku ikut diskusi dan terseret dalam kesengitan dukung mendukung bukanlah hanya kegeraman yang muncul.

Padahal, yang aku ajak diskusi itu teman sendiri. Jika aku geram lalu ngabur dan ketika ketemu teman itu lantas diam- diaman wah gawat nih, hanya gara- gara politik harus kehilangan teman?Ah gak lah.

Di kantor aku sudah melihat pola bahwa sebagian pilihan sudah mengerucut ke satu tokoh dan mereka akan selalu melihat kekurangan tokoh lain untuk menjadi bahan bullyan. Aku sendiri pasti pula sudah mantap dengan satu pilihan apapun kata orang, tetapi memperkeruh suasana dengan ikut diskusi di media sosial, eits nanti dulu.

Aku memang kadang geregetan melihat komentar yang ngawur. Tetapi aku harus menahan diri, sabar- sabar kamu mesti bisa mengendalikan emosi. Kalau tidak darah tinggi kumat, detak jantung cepat berdetak dan kejernihan pikiran menjadi terganggu. Mending ikuti saja diskusinya, tidak usah ikut ikutan menyerang atau bertahan.

“Tapi jika lama–lama membaca komentar komentar bisa gila aku.”

“Ah kunci utama meredam emosi ya dengan membaca artikel di koran mainstream. Di halaman opini. Membaca runut pemikiran para pakar, membuka buku buku rujukan politik dan membedahnya dari berbagai sudut pandang.”

“Yakin bisa meredam emosi?”

“Kalau tidak ya ambil nafas dalam–dalam, atur nafas pelan pelan, sedikit bermeditasi lalu mengeluarkan segala emosi itu dengan bernafas teratur dan mengembalikan detak jantung senormal mungkin.”

“Tapi sebenarnya kau suka tidak sih dengan dunia politik?”

“Aku suka tetapi mengapa arah politik sekarang itu begitu mengerikan. Geregetan rasanya sih dengan trik- trik para politisi yang menghalalkan segala cara untuk menang.”

“Yah, itulah perkembangan zaman menuntut orang untuk membuka akses lebar-lebar. Sepertinya tidak ada rahasia yang bisa disembunyikan. Komunikasi demikian terbuka sehingga privasi orang susah terlindungi. Seperti hidup di pulau dengan 1.000 CCTV di segala sudut. Bahkan bernafaspun dipantau oleh  media sosial.”

“Nah, untuk itulah bijak-bijak menggunakan media sosial. Harus pandai memilih dan memilah media sosial yang  mampu memberikan efek pergaulan yang positif.”

“Mas bro, sudahlah tidak perlu tengsin kalau mau bicara politik ya bicara saja jangan takut.”

“Bukannya takut. Aku tidak ingin larut dalam suara kebencian yang berdengung terus di sekitar media sosial.Aku tidak ingin terlibat dalam diskusi seru tentang politik, capek dah. Lelah jadinya pikiran ini.”

“Okelah mas bro…jika tidak ingin bicara politik bagaimana kalau kita sepedaan saja… menyusuri kompleks…”

“Kompleks apa?! Rumah kita memang kompleks tapi perkampungan padat penduduk.”

“Sssst, pura- pura saja mas Bro… pura- pura menjadi  penghuni rumah elite begicu.”

“Nah pura- pura itu juga bagian dari politik, bohong itu bagian dari strategi.”

“Ah, Luweh…. serahkan saja pada kampret dan kecebong yang berdebat.”

“Hehehe…. Iya juga…Yuk sepedaan.”

***