Siapa tak mengenal Prabowo Subianto? Semua orang di negeri ini mengenalnya, mulai dari anak-anak, orangtua hingga kakek-nenek. Namanya juga selalu terpampang di agenda politik nasional.
Setidaknya, mantan Danjen Kopassus ini sudah menjajal kontestasi Pilpres sejak masih menjadi kader Golkar. Ketika dipimpin Akbar Tanjung, Golkar menggelar Konvensi Calon Presiden dari partai berlambang pohon beringin itu untuk Pilpres 2004.
Namun, kegagalan dalam konvensi Partai Golkar, tak membuat mantan menantu penguasa Orde Baru ini surut dari ambisi. Prabowo mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) sebagai kendaraannya di Pilpres 2009. Berkoalisi dengan PDIP yang mengusung Megawati Soekarnoputri, Prabowo mendampingi Presiden ke-5 RI itu sebagai calon wakilnya.
Dan, kegagalan berikutnya tak juga membuatnya kapok, hingga terus berlanjut di Pilpres 2014 menghadapi Jokowi-JK, dan kembali di Pilpres 2019 berhadapan dengan Jokowi-Ma'ruf Amin.
Tak bisa dipungkiri, kita melihat adanya perubahan penampilan dari sosok Prabowo di depan publik. Prabowo Subianto identik dengan baju safari putih, yang memiliki kemiripan dengan pakaian yang biasa dikenakan Presiden Sukarno. Bahkan, di setiap kampanye Partai Gerindra, Prabowo selalu berpidato dengan menggunakan model mikrofon yang mirip sekali dengan mikrofon yang digunakan Bung Karno dahulu.
Ada kesan Prabowo mulai mencitrakan dirinya sebagai sosok Bung Karno, Presiden Pertama Republik Indonesia, yang tak lain adalah ayah dari Megawati. Bukan hanya soal penampilan, ketika berpidato pun, Prabowo meniru cara pidato Sukarno.
Tak berlebihan, jika mantan Ketum Gerindra Almarhum Suhardi mengatakan bahwa Prabowo merupakan pengagum berat ajaran Bung Karno. Bahkan menurut Suhardi, ajaran sang proklamator itu dijalankan dan diteruskan Prabowo kepada kader Gerindra.
Bahkan, untuk memperkuat citranya yang Sukarnois, tepat di acara peringatan Hari Ulang tahun ke-73 Republik Indonesia, 17 Agustus 2018 di Universitas Bung Karno, Prabowo dianugerahi penghargaan "The Star of Soekarno" dari Pendiri Yayasan Pendidikan Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri.
Menurut Rahmawati, yang juga kader Gerindra ini, Prabowo dinilai berjasa dalam bidang keadilan, kemerdekaan, dan kemanusiaan. Selain itu, Prabowo juga dinilai memiliki sinergitas dengan pemikiran Soekarno. Entahlah, apakah penghargaan ini diberikan kepada Prabowo, karena politik pencitraan atau sebuah kepantasan?
Penghargaan yang sama, memang pernah diberikan kepada Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad, Mantan Presiden Venezuela Hugo Chavez, Presiden Korea Utara Kim Jong Un, serta Mantan Presiden Kuba Fidel Castro. Semuanya, adalah sosok yang sudah teruji kiprahnya di negara masing-masing, entahlah Prabowo?
Prabowo Tak Lagi Sukarnois?
Namun, baru berselang beberapa bulan diterimanya "The Star of Soekarno", ternyata Prabowo sudah tidak lagi sejalan dengan pemikiran Bung Karno. Bahkan, sangat bertolak belakang dengan apa yang pernah dilakukan Bung Karno. Ataukah semua itu bagian dari "The New Prabowo" untuk mengubah citra politik dari Prabowo Subianto..
Atau, sudah berubahkah ideologi Prabowo? Dia tak lagi sejalan dengan ajaran Bung Karno. Prabowo semakin jauh meninggalkan ajaran Bung Karno, dan justru semakin dekat dekat dengan cara-cara yang digunakan musuh ideologinya Sukarno, yaitu Amerika Serikat (AS). Semua tahu, Bung Karno anti-Kapitalisme, sebuah ajaran dan pemikiran yang dipasarkan Amerika.
Sangat mengherankan, jika selama ini dalam jargon-jargonnya, Prabowo selalu mengatakan dirinya anti-Asing atau anti-Aseng. Namun, kini semuanya berubah. Menghadapi Pilpres 2019, Prabowo justru memperlihatkan keasliannya yang cenderung pro asing.
Mengapa demikian? Sejarah mencatat, ayah Prabowo Subianto adalah Soemitro Djojohadikusumo, yang merupakan salah satu tokoh pemberontakan PRRI/Permesta pada 1958. Faktanya membuktikan Soemitro bersekongkol dengan Amerika Serikat menggoyang kekuasaan NKRI di bawah Presiden Soekarno, yang saat itu dianggapnya cenderung dekat dengan kekuatan kiri. Kita tak bermaksud mengaitkannya dengan sejarah tersebut, namun faktanya seperti itu..
Prabowo mengagumi Presiden Amerika Donald Trump, sehingga dia pun menggunakan jargon yang pernah dipakai Trump saat pemilu 2016 lalu, 'Make America Great Again' diganti menjadi 'Make Indonesia Great Again', yang dilontarkan Prabowo dalam Rakernas LDII, Kamis (11/10). Sepertinya apa yang diucapkan Prabowo bukan untuk hanya menimpali pidato Jokowi di acara IMF-Bank Dunia di Bali yang menyinggung 'Game of Thrones'.
Bahwa strategi dan cara Donald Trump memang sudah dilakukan Prabowo sejak lama. Setidaknya, menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari, selama ini apa yang dilakukan Prabowo sepertinya menjalankan strategi yang digunakan Donald Trump saat Pilpres Amerika Serikat (AS) 2016, dimana Prabowo selalu mempertentangkan kalangan bawah dan atas, serta menyebarkan sikap pesimisme.
Seperti diketahui, pada Pilpres 2016 di AS, Trump 'menggoreng' isu kesenjangan di AS. Selain itu, Trump juga menyebarkan rasa takut bahwa AS berada di bawah ancaman asing, seperti China, ancaman Islam, dan juga tenaga kerja imigran Meksiko.Itulah yang saat ini dipasarkan kubu Prabowo Subianto dan juga Sandiaga Uno.
Mereka menyebarkan pesimisme kepada rakyat dan juga ketakutan-ketakutan, yang tentu saja kedua hal itu sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang mengedepankan rasa optimisme.
Bukankah yang dilakukan Prabowo dengan meniru strategi Donald Trump adalah sangat membahayakan keutuhan bangsa. Kita semua tahu siapa itu Trump. Bahkan, Dunia Islam telah mengecam Amerika Serikat dan Israel, menyusul pernyataan Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Mengapa Prabowo tidak justru mencontoh tokoh-tokoh dunia atau tokoh nasional yang justru membawa kebaikan bagi peradaban dunia, bukannya meniru sosok tokoh yang justru mengancam perdamaian dunia. Seperti yang diteladani Presiden Jokowi terhadap sosok Johannes Leimena dan Mohammad Natsir.
Terima kasih, dan salam untuk Indonesia tercinta!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews