Rock 'N Roll, Mr. President!

Sense of crisis kita tidak terbangun, karena memang tidak dibangun. Ini situasi tak mudah tentu. Disitu para penumpang gelap melakukan sabotase.

Jumat, 23 Juli 2021 | 07:53 WIB
0
481
Rock 'N Roll, Mr. President!
Presiden Joko Widodo (Foto: detik.com)

Apakah situasinya menggenting, atau menjadi genting, tidaklah penting. Tapi bahwa tingkat kepercayaan publik pada Jokowi menurun, adalah fakta. Bahkan oleh beberapa orang dan kelompok yang mendukungnya. Menurut beberapa lembaga polling, ini titik terendah Jokowi, di bawah 50 persen. Bisa jadi, terus bertambah.

Tentu saja, ini kabar gembira bagi kaum yang bersemboyan ‘manfaatkan bola muntah’. Ada dua persoalan penting yang tumpang tindih. Entah siapa yang menumpang dan siapa yang menindih. Atas nama pandemi, yang berkelindan ketat bisa dituding kelompok pro bisnis berkait dengan apa yang diperlukan dalam mengatasi pandemi.

Ini pun terdiri beberapa elemen yang juga tumpang-tindih. Sementara di sisi lain, para hyena-politics menunggu bangkai selagi darah masih segar. Kelompok ini, bisa juga kaum bisnis, juga pastilah para petualang politik. Baik itu politikus maupun aktivis sosial-politik yang mengatasnamakan norma-norma demokrasi, hukum, dan HAM.

Namun gagasan mengganti, atau menurunkan Presiden di tengah jalan, bukanlah ide atau gagasan menarik, apalagi disebut cerdas. Karena situasi chaostic yang terjadi tidak menjanjikan perubahan yang lebih baik. Situasi ekonomi dunia yang buruk, juga majalnya teori konspirasi international yang dibangun, tidaklah meyakinkan. Apalagi kalau normatif mematuhi konstitusi, ketika Presiden diturunkan senyampang itu Wakil Presiden dinaikkan. Mau?

Mengingat balik pencapresan Jokowi 2019, dengan manuver politik mak-bedunduk Ma’ruf Amien sebagai Cawapres, di situ bola muntah akan ditangkap para hyena-politics. Dan kekacauan menjadi lebih buruk lagi.

Di tengah kebaikan Jokowi, ada beberapa keburukan Jokowi. Namun karena soal kepresidenan ini masih berjalan dalam sistem klenik, hanya mengandalkan kepemimpinan ethics (etos), kritik terhadap Jokowi ditabukan, justeru oleh para pendukung Jokowi yang fanatik. Faktor pathos dan logos disingkirkan, bahkan sama sekali memang tak ada. Bagi yang berani mengritik Jokowi, bakal dituding cem-macem. Apalagi ketika orientasinya kemudian adalah komisaris ini dan itu.

Padal, demikianlah, blunder politik acap muncul dari the all president’s men. Di mana di dalamnya ada penyusup, tukang copet, bahkan sekedar tukang kuping, kambing-congek dan dan tukang jowal-jawil.

Beberapa blunder terakhir Jokowi, memang menyedihkan. Mungkin efek pandemi. Jokowi tak lagi muncul dengan senyuman yang khas, dengan bahu terguncang. Padal, sumpah mampus, mendengar dan melihat senyuman Jokowi itu, menyejukkan. Kalau terpaksa harus membandingkan, berapa kekayaan Presiden kita? Lebih besar atau lebih kecil dibandingkan kekayaan KSAD Jenderal Andika Pratama?

Sebelumnya, di PBB, Presiden Joko Widodo berpidato tidak boleh ada diskriminasi untuk vaksin. Vaksin untuk semua. Tetapi, entah bagaimana tukang copet bekerja. Ada vaksinasi berbayar. Dikritik rakyat, Pemerintah berkilah. Katanya itu kesepakatan dengan DPR. Tapi begitu dikritik WHO, kebijakan vaksin berbayar dibatalkan, dengan berbagai alasan dari karakter yang tak mau disalahkan. Katanya ditunda untuk waktu yang tak ditentukan.

Apakah keputusan vaksin berbayar datang dari langit? Atau dari got depan istana? Istana mainan anak-anak? Jokowi hanya mengatakan dalam situasi seperti ini, menterinya harus memiliki sense of crisis. Vaksin berbayar adalah bukti menteri dan atasannya tidak punya sense of crisis. Kecuali dari sudut pandang pedagang. Ada situasi kritis butuh vaksin, ayo jualan!

Blunder yang lain, penanganan pandemi yang hanya berkonsentrasi pada mereka yang terpapar. Tentu saja yang terpapar adalah prioritas. Tapi mana ada gerakan membangun kesadaran untuk menumbuhkan imunitas masyarakat? Tak ada. Sementara Pemda-pemda (di mana ada gubernur, bupati walikota), bagaimana kinerja mereka? Nunggu perintah pusat? Terus selama menunggu ngapain?

Serapan anggaran rendah dalam situasi krisis. Ada 19 (dari 34) Provinsi berkinerja buruk dalam penilaian Mendagri soal serapan anggaran. Itu bukan jumlah kecil. Pada ke mana dan ngapain? Ngamuk kalau dituding nggak kerja. Karena memang tidak bisa. Yang bisa tentunya tidak akan tersungging dan baper. Karena bekerja.

Konsep pengatasan pandemi, memposisikan rakyat menjadi objek, bukan subjek. Baru setelah situasi memburuk, Pemerintah membujuk masyarakat berpartisipasi. Terlambat. Karena di sisi lain, Pemerintah memakai berbagai istilah penanganan pandemi tak sebagaimana UU 6/2018 yang mereka tetapkan. Untuk apa? Untuk menghindari konsekuensi hukum jika hal itu diterapkan?

Kekacauan di bawah, dalam pelaksanaan PPKM, semua menunjuk bagaimana keputusan sejak awalnya. Untuk menghindari beban anggaran pakai istilah macem-macem. Untuk mengatasi reaksi masyarakat, pakai pasal hukum yang mengancam dengan denda dan penjara. Lihat efeknya, bagaimana soal kegawatan pandemi tapi memperlakukan masyarakat kayak penjahat.

Pernyataan terbaru Jokowi, saat ini semua wajib pakai masker. Untuk apa? Sementara Jokowi sendiri tiap hari minum empon-empon. Kok nggak ngajari rakyat bikin empon-empon? Di luar itu, muncul berbagai gossip. Dari sejak digantinya dr. Terawan sebagai kemenangan IDI, agenda politik kadrun, pertarungan vaksin Nusantara dengan BPOM, di luar teori konspirasi yang simpang-siur.

Dalam situasi ini, para ahli virus (saya tak mempedulikan apakah itu epidemolog, virolog, atau bahkan virtuolog) berdebat terbuka, dan tidak pada tempatnya. Semakin membuktikan bagaimana gotong-royong bukanlah sifat dasar manusia Indonesia, seperti diyakini Bung Karno.

Apalagi, mengutip Bung Karno pula, dulu musuhnya adalah penjajah. Kini, musuhnya berbentuk virus. Tapi apa itu virus? Sudah setahun lebih, perdebatan dibebaskan di ruang terbuka, bukan sebagai debat akademik tetapi debat politis sifatnya. Apalagi media juga berkepentingan untuk hajat hidupnya. Tanpa memperhitungkan kemampuan literasi masyarakat di jaman medsos ini.

Sense of crisis kita tidak terbangun, karena memang tidak dibangun. Ini situasi tak mudah tentu. Disitu para penumpang gelap melakukan sabotase. Main kesempatan, yang mereka tak memikirkan akibat-akibatnya. Cuma saya juga menyayangkan, Jokowi ini kayak model anak gaul. Lebih percaya medsos. Kini para menterinya ngantri nunggu dipodcast Dedi Corbuzier, setelah Najwa Shihab kayaknya nggak disukai lagi. Kapan presiden podcast, kabarin ya?

Jika persoalannya adalah literasi masyarakat, negara tak punya official media. Satu-satunya media yang bisa menjadi sumber referensi formal. Justeru ketika medsos menjadi media arus-utama, negara mestinya tetap berpegang teguh pada protokol media. Sedih melihat TVRI cuman nayangin album lagu-lagu memori. Atau RRI yang sibuk ngomongin hukum agama.

Rock ‘n Roll, Mr. President! Ini memang bukan situasi mudah. Karena itu anda dipilih semesta menjadi Presiden. Tak terbayang jika yang jadi presiden saya. Mungkin saya akan lebih sibuk membangun kekayaan pribadi dan kelompok. Bikin partai pula tentunya.

Karena saya bukan presiden, saya bersama Presiden. Mainkan lagi kocokan gitarmu, kali ini tagihan yang terakhir. Tidak akan ada kompromi lagi. Sementara melihat beberapa baliho di jalanan, miris melihat foto-foto yang dipajang untuk 2024. Wajah-wajah culun yang rakyat ngerti banget ukuran serta bau celdam mereka. Let’s go rock, Mr. President!

@sunardianwirodono