Kasus Covid-19 Dunia Tembus 100 Juta, Saatnya "Bersahabat" dengan Sang Virus

Dari proses yang dilakukan oleh bakteri-bakteri itulah, yang menghasilkan keadaan yang ini disebut dengan autophagisom itu.

Rabu, 27 Januari 2021 | 17:09 WIB
0
137
Kasus Covid-19 Dunia Tembus 100 Juta, Saatnya "Bersahabat" dengan Sang Virus
Infeksi Covid-19, Indonesia peringkat ke-19 dunia. (Foto: Covid19.go.id)

Infeksi Virus Corona alias COVID-19 di seluruh dunia hingga kini telah menembus lebih dari 100 juta kasus. Amerika Serikat masih menjadi negara dengan kasus dan kematian tertinggi, sebanyak 0,25% dari total kasus dunia (25.861.597 kasus) dengan 431.392 kematian.

Mengutip CNNIndonesia.com, Selasa (26/01/2021 16:02 WIB), data statistik Worldometers mencatat total kasus Covid-19 di seluruh dunia telah mencapai 100.318.305 dengan angka kematian mencapai 2.150.606 korban jiwa dan 72.367.490 dinyatakan sembuh.

Selain AS, India, dan Brazil masing-masing menempati urutan kedua dan juga kedua negara dengan kasus corona tertinggi di dunia. India sejauh ini memiliki 10.677.710 kasus Covid-19 dengan 153.624 kematian.

Sedangkan Brazil yang berada di urutan ketiga dunia memiliki 8.872.964 kasus dan 217.712 korban jiwa. Brazil menjadi negara kedua setelah AS dengan angka kematian tertinggi akibat Covid-19.

Di Eropa, Rusia menjadi negara dengan kasus corona tertinggi dengan 3.756.931 dan 70.482 kematian. Inggris membuntut sebagai negara dengan kasus corona tertinggi kedua di Benua Biru dengan 3.669.658 dan 98.531 kematian.

Indonesia ada di urutan ke-19 sebagai negara dengan kasus corona tertinggi di dunia. Hingga Selasa (26/1/2021) kasus corona di Indonesia tembus 1.012.350 (tambah 13.094 kasus baru). Indonesia satu-satunya negara di Asia Tenggara yang memiliki 1 juta kasus Covid-19.

Sementara itu, data John Hopkins University mencatat, kasus corona global saat ini sebanyak 99.734.558 dengan 2.140.446 kematian. Seperti halnya data yang dirilis Worldometers, JHU juga mencatat AS sebagai negara dengan kasus dan angka kematian tertinggi di dunia.

Menyusul di bawah AS, kasus tertinggi Covid-19 berturut-turut berada di India, Brasil, Rusia, dan Inggris. Sementara kematian tertinggi di dunia setelah AS tercatat berada di Brazil, India, Meksiko, dan Inggris.

Sejak pertama kali dilaporkan di Wuhan, China pada akhir 2019, virus corona hingga saat ini telah menyebar ke lebih dari 100 negara di dunia. Baru-baru ini virus corona bahkan telah dinyatakan bermutasi di Inggris, Brazil, dan Afrika Selatan.

Perdana Inggris Boris Johnson pekan lalu bahkan memperingatkan jika jenis baru jika jenis baru virus corona yang ditemukan di sana 30 persen lebih mematikan dan diyakini 40 hingga 70 persen lebih cepat menular.

“Kami telah diberi tahu bahwa selain menyebar lebih cepat, sekarang juga tampaknya ada beberapa bukti bahwa varian baru mungkin lebih terkait dengan tingkat kematian yang lebih tinggi,” kata Johnson dalam konferensi pers, Jumat (22/1/2021).

Di Indonesia sendiri, meski Pemerintah mengumumkan angka positif Covid-19 sudah tembus 1 juta kasus, dalam Hersubeno Point FNN, tapi menurut epidemiolog dari FKM Universitas Indonesia, dr. Pandu Riono, MPH, PhD, angka realnya bisa 8-15 kali lipat.

Nilai tengahnya sekitar 10 juta orang, setidaknya yang sudah terinveksi. Begitu kata Dokter Pandu Riono.

Pahami Bakteri

Perlu dicatat, dengan mutasi yang begitu cepat dan semakin kuat, Covid-19 sekarang ini tidak hanya menyerang saluran pernafasan hingga masuk ke paru-paru, tapi juga mulai menyerang saluran pencernaan, sistem saraf, dan mata.

Mengapa corona bisa bermutasi sampai ratusan variasi genetika yang berbeda? Salah satunya karena masifnya penyemprotan desinfektan berbasis alkohol dan bahan kimia lainnya. Itu yang tidak pernah dipikirkan oleh para peneliti.

Perlu diingat, virus corona itu basic-nya seperti virus influenza. Habitatnya juga ada di kulit sekitar hidung manusia. Mereka ini bertugas membersihkan zat-zat patogen yang menempel di kulit sekitar hidung dan bibir atas.

Mereka juga bertugas membantu menjaga kelembaban kulit manusia. Jadi, sebenarnya virus corona tersebut berada di tubuh manusia. Sifat dasar virus/bakteri itu serupa dengan antibodi, manusia, hewan, atau tanaman.

Yakni, kalau mereka tersakiti, mereka akan memperkuat dirinya, dan menggandakan dirinya beratus-ratus kali lipat, dibandingkan pada kondisi normal. Hewan, akan beranak sebanyak mungkin. Tanaman, akan berbuah dan bertunas sebanyak mungkin.

Si corona itu, begitu masuk ke dalam tubuh kelelawar, mereka meriplikasi dirinya sebanyak mungkin. Hal itu dilakukan, karena itu tempat asing bagi mereka, itu membuat mereka ketakutan, maka mereka menggandakan dirinya sebanyak mungkin.

Begitu si kelelawar itu dimakan manusia, maka corona ini beralih ke manusia, dan langsung menggandakan diri lebih hebat lagi. Pertanyaannya, mengapa kelelawar-kelelawar itu tidak sakit seperti manusia?

Karena kelelawarnya ndablek, cuek, masa bodoh, dan “tidak berpikir”, sehingga antibodinya kuat, dan tidak tersakiti. Maka kalau manusia ingin sehat, walaupun sudah terpapar Covid-19, bersikaplah seperti kelelawar, minimal ndablek, cuek, dan masa bodoh.

Covid-19 yang tertuduh sebagai pembunuh massal sadis itu, berusaha dibunuh secara massal pula, dengan disemproti desinfektan secara massal. Akibatnya, ada sebagian yang mati, ada sebagian yang masih hidup.

Barangkali yang masih hidup lebih banyak dibanding dengan yang telah mati. Karena sudah menjadi sifatnya virus/bakteri itu, maka yang hidup ini menggandakan dirinya beratus-ratus atau beribu-ribu kali lebih banyak dan lebih kuat dibanding sebelumnya.

Kalau sebelumnya kemampuan terbangnya hanya sekitar 1,8-2 m, menjadi akan lebih jauh lagi dibanding dengan itu. Kemampuan terbang lebih jauh inilah yang menyebabkan mereka menjadi bersifat “airborne infection”.

Lalu karena jumlah mereka sangat banyak, mereka juga menemukan bakteri-bakteri lain yang mempunyai daya terbang lebih jauh. Corona menumpang pada bakteri lainnya. Hal ini serupa dengan pesawat ulang alik yang numpang pada pesawat yang berbadan lebih besar.

Akibat dari penyemprotan desinfektan secara massal, menyebabkan mereka menjadi: Lebih banyak; Lebih kuat; Mampu terbang lebih jauh; Daya rusaknya lebih hebat. Makanya tidak heran kalau sekarang ini banyak ditemukan varian baru corona di dunia.

Jadi, kita tidak mungkin bisa lari dari corona, lha wong sejatinya corona itu memang ada di kulit sekitar hidung dan bibir atas manusia. Yang terbang itu corona “liar” yang sedang mencari pasangannya.

Karena pasangannya ada di bibir atas, makanya kita disuruh pakai masker agar corona yang liar tadi tidak hinggap di sekitar hidung kita.

Dengan mutasi yang begitu cepat dan kuat, Covid-19 sekarang ini tidak hanya menyerang saluran pernafasan hingga masuk ke paru-paru, tapi juga menyerang saluran pencernaan, sistem saraf, dan mata.

Inilah yang saya duga kemarin itu yang menyebabkan kematian Dokter JF di Palembang. Karena jika dilihat tanda-tandanya seperti terkena serangan Covid-19.  

Duodenum

Di duodenum (usus 12 jari) tubuh kita itu berkumpul sekitar 19 juta strain bakteri. Bakteri-bakteri itulah yang membantu memproses semua nutrisi yang kita makan, dipecah-dipecah sampai menjadi asam amino.

Dalam bentuk asam amino-lah, nutrisi itu terdistribusi ke seluruh sel, dan bisa diserap oleh sel-sel tubuh kita. Yang berperan sebagai expeditor-nya adalah sel-sel darah merah. Makin bagus proses pengolahannya oleh bakteri itu, maka yang terserap lebih maksimal.

Begitu pula sebaliknya, makin kurang bagus proses pengolahannya, makin minimal pula yang bisa diserap oleh sel-sel tubuh kita. Jadi, sel-sel tubuh kita itu user/konsumen, bukan produsen.

Nah, kalau kita sengaja berpuasa, sengaja mengosongkan perut, maka bakterik-bakteri itu akan keluar dari persembunyiannya, berebut makanan, lalu memprosesnya secara maksimal, menjadi asam amino.

Semua potensi nutrisi yang ada, diolah menjadi asam amino-asam amino yang bisa diserap oleh sel tubuh kita, sehingga yang tersisa menjadi residu makanan, menjadi sangat minimal.

Kalau usus terlalu banyak menimbun sisa makanan, bisa menghasilkan gas metane, yang bisa meracuni tubuh kita sendiri. Sementara kalau makanan yang di lambung selalu ada, mereka merasa nyaman, karena persediaan makanan cukup banyak.

Seperti orang menengok sebentar, lalu mereka kembali lagi. Sehingga, dia tidak keluar, dan memproses nutrisi secara maksimal. Maka, akan banyak tertimbun sisa-sisa makanan di usus kita.

Dari proses yang dilakukan oleh bakteri-bakteri itulah, yang menghasilkan keadaan yang ini disebut dengan autophagisom itu.

Bakteri yang mengubah nutrisi menjadi asam amino dan menghasilkan berbagai jenis enzim. Asam amino/enzim-enzim hasil olahan bakteri-bakteri itulah yang salah satu berupa protein yang disebut dengan autophagi.

Autophagi itu output dari suatu proses yang dilakukan para bakteri-bakteri itu. Ini sebenarnya kebenaran substansi dari sebuah kalimat bijak: “berpuasalah kamu, niscaya kamu sehat”.

***