Mengagetkan Guru Ketika Nilai Siswa Melonjak Sejak Home Learning

Banyaknya mata pelajaran yang diuji dan banyaknya mata pelajaran yang harus dikuasai membuat sekolah belum bisa mewujudkan pendidikan berbasis karakter.

Minggu, 17 Mei 2020 | 20:23 WIB
0
182
Mengagetkan Guru Ketika Nilai Siswa Melonjak Sejak Home Learning
Home learning (Foto: republika.co.id)

Apakah guru merasakan ada yang aneh dengan nilai – nilai anak sejak Pandemi Covid 19 di mana belajar mengajar dilakukan dari rumah menggunakan media internet. Sejak Sekolah diliburkan di pertengahan Maret 2020 budaya pembelajaran berubah drastis, tidak ada lagi interaksi langsung belajar mengajar di kelas, tidak ada lagi pembelajaran interaktif melihat tingkah laku siswanya di kelas dan diluar kelas.

Mungkin kelas – kelas sekarang kursinya berdebu, kalau boleh bicara mereka pasti mengeluh kesepian sebab tidak ada kegaduhan lagi, tidak ada anak- anak yang saling ledek atau sengaja menumpahkan makan di lantai. Tidak ada lagi yang iseng pada siswa lainnya hingga membuat guru  dan wali kelasnya berang.

Wajah- wajah siswa meskipun terlihat tengil dan ada yang nakalnya kelewatan tetaplah sebuah dinamika kehidupan. Setiap hari selalu dihadapkan masalah baru, peristiwa baru yang membuat guru tampak lebih muda daripada pekerja lain yang lebih monoton.Saat ini jumlah usia produktif memang luar biasa sehingga dengan adanya pandemi banyak menimbulkan persoalan.

Bonus demografi di Indonesia menjadi peluang sekaligus tantangan untuk Indonesia, jika bisa memanfaatkan peluang maka ada prospek cerah untuk bersaing dengan negara lain, tetapi jika bonus demografi ternyata hanya menambah banyaknya pengangguran usia produktif ini sebuah masalah bagai bangsa yang jumlah penduduknya termasuk yang terbesar di dunia, tepatnya keempat, setelah Amerika Serikat, India dan Terbesar adalah China yang berjumlah sekitar 1.379.302.771 orang (Data tahun 2019). Indonesia menurut data sekitar 260.580.739 orang.

Interaksi di kelas bagi guru merupakan sebuah upaya pengenalan berbagai karakter manusia. Selama mengajar guru mengenal ratusan hingga ribuan siswa dengan karakter berbeda- beda. Tingkat kecerdasannya pun berbeda- beda. Salah satu indikator kepandaian siswa tentu diukur dengan test – test baik teori maupun praktik. Test teori bisa menggunakan metode lisan maupun tertulis. Tes atau ujian tertulis menguji tingkat pemahaman siswa pada mata pelajaran yang diajarkan guru.

Biasanya guru mengenal siswa yang tekun, rajin, pandai dan rapi. Demikian juga guru hapal pada murid yang bandel malas, jarang mau belajar dan terlalu menggampangkan perkara. Siswa yang rajin belajar biasanya terlihat dari nilai – nilai ulangannya yang stabil mendapatkan nilai tinggi di hampir setiap pelajaran.

Murid- murid yang tekun dan rajin pasti menyenangkan guru. Sebab guru merasa berhasil mengajar jika apa yang diajarkan mampu diserap dan mendapat nilai tinggi, sebaliknya guru jengkel dengan murid yang masa bodoh, jarang mengerjakan tugas, ketika ulangan selalu mendapat nilai minus.

Guru tampak emosional jika membicarakan tingkah murid yang sebutlah kasarnya. Bodoh!. Sebetulnya tidak ada murid yang terlalu bodoh, hanya rasa malaslah yang membuat murid itu ketinggalan pelajaran. Dan ketika berbagai pelajaran terlambat menguasainya maka semakin berat beban siswa menyebabkan ia merasa semakin malas mengerjakan dan mempelajari apa yang diajarkan guru.

Dengan berbagai pendekatan guru dan rekan- rekannya berusaha memotivasi siswa. Dengan konsultasi ke guru BP atau BK ( Bimbingan Konseling). Mengapa si A bisa pintar dan si B tampak bodoh, padahal kalau dilihat dari IQ nya sama, tetapi outputnya si A pintar dan Si B bodoh, malas, trouble maker dan sebagainya. Apa yang salah dari proses pembelajarannya. Apakah ada masalah di rumah. Bisa jadi karena orang tuanya terlalu sibuk, terlalu memanjakannya, bisa juga orang tuanya broken home, sehingga anak merasa tidak mempunyai motivasi dalam belajar.

Nah, suasana pembelajaran langsung itu yang membuat guru merasa tertantang dalam mengajar. Nah ketika pembelajaran HL (Home Learning) apalagi siswa semisal kelas 9 dan kelas 6 SD tampaknya terkaget- kaget. Masalahnya ujian akhirnya sebenarnya hampir berakhir. UN pun sebetulnya sudah disiapkan. Ketika siswa diliburkan maka metode ujian  berubah.

Guru tidak bisa lagi mengawasi ujian siswa. Guru guru akhirnya mengandalkan ujian dengan menggunakan Google Form misalnya atau  dengan Kahoot, atau dengan menggunakan Moodle. Guru hanya mengandalkan hasil akhir, tidak bisa mengawasi prosesnya. Ketika nilai – nilai siswa tampak bagus ketika ditest dengan google form misalnya apakah ada titik kepuasan tersendiri bagi guru.

Padahal sebelum metode HL ada beberapa siswa yang nilainya dibawah rata- rata. Ujiannya sangat pas- pasan dan cenderung kurang. Namun dengan ujian di rumah tiba- tiba nilainya melonjak. Matematikanya yang biasanya tertinggi 6 ketika ujian menggunakan metode Home Learning dengan google form hasilnya luar biasa selalu di kisaran 8.

Apakah guru akhirnya harus berkata wow.. luar biasa perkembangannya, atau malah curiga jangan – jangan bukan dia yang mengerjakan.  Ini sebuah dilema bagi guru, sebuah kasus yang jarang terjadi ketika masih berlangsung di kelas.

Banyak resiko dengan pembelajaran daring. Kuncinya sebetulnya adalah kejujuran siswanya. Kalau dari awal niat siswa tidak jujur maka ujianpun bisa diakali. Sambil mengerjakan mereka masih bisa mencari jawaban lewat google. Atau di bantu teman atau saudaranya yang lebih pintar. Resiko pembelajaran daring adalah pengawasan guru yang lemah. Mengandalkan kepercayaan akan kejujuran siswa juga tidak mungkin, karena saat ini muara pembelajaran masih pada nilai. Bukan proses. Yang dikumpulkan guru untuk dilihat layak tidaknya siswa naik kelas dominannya adalah nilai.

Maka jangan kaget ketika banyak orang cerdas, dengan IP tinggi saat ini banyak yang kaget ketika dihadapkan pada sekolah kehidupan. Kerja nyata di dunia yang sangat berbeda dengan ketika masih dibangku sekolah atau perkuliahan. Sekarang ilmu pengetahuan gampang di dapat. Dengan membuka mesin pencari google referensi gampang di cari, kalau malas membuat karya ilmiah dari hasil usaha sendiri bisa dengan copy paste.

Kembali pada bahasan awal, Nilai ujian teori masih menjadi andalan untuk mengukur suksesnya proses belajar dan mengajar. Banyaknya mata pelajaran yang diuji dan banyaknya mata pelajaran yang harus dikuasai  membuat sekolah di Indonesia belum bisa mewujudkan pendidikan berbasis karakter dan siapnya mereka menghadapi persaingan global. Padahal dasar pendidikan utamanya adalah mendidik siswanya untuk bisa bersaing di berbagai bidang,kreatif menciptakan temuan baru. Mampu dan siap menghadapi ujian sebenarnya yaitu ujian kehidupan. Salam damai selalu.

penulis juga sering menulis di: sini

***