Koalisi Penuh Sanksi, Banyak Prahara Minim Aksi

Jumat, 28 Desember 2018 | 21:56 WIB
0
271
Koalisi Penuh Sanksi, Banyak Prahara Minim Aksi
Koalisi Adil Makmur (Foto: IDN Times)

Pilpres 2019 akan dilangsungkan tak sampai empat bulan lagi. 17 April 2019 pertaruhan politik dimulai. Ini istimewa, penting tapi bukan hal baru bagi petahana. Memenangkan pemilu adalah alarm disusunnya rencana program dengan pasti. Yang jelas, semua dilakukan agar negeri ini lebih baik dari sebelumnya.

Tapi buat pesaingnya, Prabowo Subianto yang notabene ini sudah keempat kalinya bertarung menuju kursi pemegang komando negeri ini pilpres ini adalah arena hidup dan mati.

Senafas dengan pendekatan kampanye koalisi Prabowo di 2014, di pilpres 2019 koalisi ini mengangkat jargon moral "presiden pilihan ulama" dengan jargon moral partai-partainya yang diklaim sebagai "partai Allah".

Jargon moral yang mereka angkat senada dengan himbauan "anti partai penista agama" yang sering dihembuskan Habib Rizieq Shihab. Koalisi ini juga menjadi oposisi yang proaktif dengan kritik pedas kepada kubu petahana yang seringkali asal njeplak, nyaris tanpa data dan fakta.

Dengan jargon dan gerakan moral yang mereka jalankan seolah pilpres 2019 hanya ada dua kubu  yaitu kubu suci dan kubu penuh dosa. Tapi siapakah mereka di balik topeng 'suci' yang mereka pakai.

Adalah Tommy Soeharto, salah satu pewaris trah Soeharto yang rekam jejak kejahatannya bukan lagi rahasia publik. Dialah yang melakukan tukar guling tanah gudang beras Bulog di Kelapa Gading, Jakarta Utara ke PT. Goro Batara Sakti.

Pada Februari 1999 ketika dua rekan persekongkolan jahatnya, kepala Bulog Beddu Amang dan pengusaha Rucardo Gelael didakwa Pengadilan NegerinJakarta Selatan, Tommy justru terbebas dari dakwaan. Ia divonis bebas. Jasa penuntut umum, Fachmi, mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) pada November 1999. 

Pada 22 Desember tahun 2000 majelis hakim MA yang diketuai hakim agung Syafiuddin Kartasasmita memvonis Tommy bersalah atas kasus yang sama. Tommy diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp 30 miliar, denda Rp 10 juta, dan hukuman kurungan 18 bulan penjara.

Tak terima  keputusan tersebut, Tommy pun mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Abdurrahaman Wahid (Gus Dur) pada 31 Oktober 2000 yang kemudian ditolak melalui Keputusan Presiden Nomor 176/G/2000. Pada 3 November 2000, sehari.setelah grasinya ditolak, Tommy melarikan diri dengan mengubah identitasnya dengan nama palsu Ibrahim . Polri meminta bantuan interpol untuk melacak keberadaan Tommy.

Bukan Tommy Soeharto namanya kalau tidak nakal dan main jagal. 26 Juli 2001, Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita pun tewas ditembak orang tak dikenal. Berselang dua minggu, 7 Agustus 2001, polisi menangkap Mulawarman dan Noval Hadad dan menetapkan mereka sebagai tersangka penembakan. Ya, kedua pelaku itu bersaksi bahwa mereka bekerja atas perintah Tommy Soeharto. Pada 28 November 2001 Tommy pun tertangkap dan pada Juli 2002 Tommy didakwa membunuh hakim agung Syafiuddin dan divonis 10 tahun penjara.

Tommy yang harusnya bebas pada tahun 2011 akhirnya cukup merasakan dibalik jeruji hanya empat tahun saja. 1 November 2006 Tommy pun bebas, sebebas merpati hingga saat ini.
Tommy dituding berbagai pihak ada di balik aksi 212 karena kedekatannya dengan Firzha Husein sebagai bendahara aksi tersebut. Nama Tommy sempat dicatut Firzha Husein hingga Tommy melayangkan somasi kepada Firzha.

Saat ini Tommy Soeharto mendirikan partai Berkarya dan bersama saudara-saudaranya bergabung dalam koalisi Prabowo-Sandi dengan jargon akan membawa kembali sistem orde baru yang mereka klaim membawa dampak positif bagi Indonesia.  Bahkan seorang Amien Rais saja mengabaikan sekeras apa usahanya melengserkan pemerintah orde baru saat itu dan memilih merangkul Tommy dan menyemai benih orde baru kembali.

Tak cukup pada seorang Tommy Soeharto, koalisi ini juga tak lepas dari intrik seorang kapitalis borjuis yang tak lain dan tak bukan adalah adik kandung Prabowo Subianto, Hasyim Djojohadikusumo.

Bagaimanakah sepak terjang seorang Hasyim?

Menurut Jusuf Kalla, Hasyim Djojohadikusumo adalah sebuah nama yang sempat membuat kacau kondisi keuangan negara. Bersumber dari Tirto.id, Hasyim membeli saham Bank Papan Sejahtera dengan menggunakan dana pinjaman dari bank lain dengan Titik Soeharto sebagai penjaminnya. Setelah saham dibeli, manajemen bank tersebut yang diisi kaum pribumi pun dirombak menjadi komposisi yang mayoritas keturunan Tionghoa.

Sebenarnya dalam peraturan Bank Indonesia, meminjam dana bank untuk membeli bank menyalahi aturan. Tapi, dengan gubernur BI saat itu yang merupakan saudara ipar Hasyim dan Prabowo, Sudrajat Jiwandono, urusan pun jadi lancar. Peraturan Cuma seonggok tulisan dalam kertas-kertas yang tak penting.

Tak lama setelah akuisi tersebut, di tahun 1998 krisis moneter pun terjadi. Bank Papan milik Hasyim termasuk yang pailit dan masuk daftar BLBI. Aset dan jaminan besar-besaran dari sekian bank bermasalah termasuk bank milik Hasyim yang harus ditalangi pemerintah melambung dan membuat pemerintah kebobolan. Tak ayal pemerintah pun terpaksa menjual aset demi menutupi dana talangan untuk bank-bak bermasalah tersebut.

Pada tahun 2002 Hashim dijebloskan ke penjara karena terlibat pelanggaran BLBI di mana kredit yang seharusnya dikucurkan ke kreditor ternyata dikucurkan ke grupnya sendiri..

Dilansir dari news.detik.com, Hashim juga pernah menjadi terdakwa atas dugaan pencurian dan pemalsuan arca museum Radya Pustaka Surakarta. Ia dinilai telah melanggar pasal 28A UU No 5/1992 tentang Perlindungan Benda Cagar Budaya, dengan ancaman kurungan selama-lamanya 1 tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp 10 juta.

Catatan seorang Hasyim Djojohadikusumo dan Tommy Soeharto berkutat pada masa Orde Baru berkuasa. Prabowo Subianto sendiri hingga hari ini masih berhutang pembuktian hukum bahwa dirinya tidak bersalah atas kasus penculikan aktifis di tahun 1998. Sederet catatan di Komnas HAM hingga hari ini masih menunggu diolah sampai matang dengan kesaksian dan bukti lengkap.

Kasus Ratna Sarumpaet di tahun 2018 menambah aib koalisi 'partai Allah' dengan tingkahnya yang berbohong mengaku dianiaya pihak tertentu. Celakanya kebohongan Ratna Sarumpaet pun direspon secara serampangan oleh Prabowo dan tim suksesnya. Jumpa pers digelar tanpa adanya visum lebih dulu pada Ratna Sarumpaet.

Sekian pernyataan sesumbar disampaikan para tokoh di balik koalisi ini. Mereka arahkan tudingan ke pemerintah Jokowi agar seolah melakukan penindasan HAM. Masih beruntung bangsa kita selamat dari fitnah kejam Ramgkaian aksi cepat kepolisian membongkar kasus Ratna memaksa peremouan paruh baya itu mengakui kebohongannya.

Menutup malu, bukan meminta maaf kepada Jokowi para petinggi koalisi ini pun dibelit dengan pernyataan yang plin plan. Di awal mereka mengaku ingin menuntut Ratna, di akhir justru emaafkan dan mendampingi.Ratna menderita depresi pun jadi alibi. Hingga hari ini proses penyelidikan terus berlanjut sementara Ratna Sarumpaet ditahan.

Belum lama ini kasus Bahar bin Smith yang dilabel "Habib" menambah panjang catatan kriminal Prabowo cs. Belum lagi tuntas penyelidikan kasus penghinaan kepada presiden Jokowi dalam salah satu ceramahnya, Bahar Smith dilaporkan atas kasus lainnya yaitu penculikan dan penganiayaan anak di bawah umur dengan alibi memberi sanksi kepada penipu.

Laporan kriminal yang terungkap bukan membuat kubu Prabowo berintrospeksi justru malah menuding pemerintah Jokowi lakukan kriminalisasi ulama. Entah diksi apa yang pantas untuk saya menilai tingkah polah mereka.

Selama masa kampanye dari Agustus 2018 hingga hari ini hanya sedikit paparan visi misi yang kubu Prabowo sampaikan. Pendekatan kampanye pun sudah terbaca, Prabowo hadiri pertemuan dengan tokoh masyarakat dan menebar pesimisme akan masa depan Indonesia dan Sandi melulu ke pasar serta pedagang dengan janji program ekonomi yang tak jelas serta aji mumpung pada setiap momentum.

Tak jarang orasi Prabowo memancing emosi banyak pihak seperti kasus ujaran "tampang Boyolali" dan yang terbaru "wartawan otaknya di dengkul". Sementara itu, Sandiaga tak jemu menyampaikan janji dan komentar yang ujung-ujungnya dibantah oleh pihak yang lebih ahli seperti janji Sandi pada nelayan untuk mempermudah izin kapal nelayan kelas kecil yang dibantah oleh menteri kelautan Susi Pudjiastuti.

Kontradiksi antara jargon 'suci' yang digaungkan koalisi ini dengan fakta yang terjadi bisa efektif membuat pemilih golput melemparkan dukungan kepada Jokowi. Bagaimana rakyat mau memilih cikal bakal pengelola negeri ini dengan catatan negatif yang panjang ditambah minim prestasi. Sebaiknya mereka introspeksi sebelum suara sang jendral melorot lagi.

***