Kursi Wakil Gubernur DKI Masih Membara, Muncul Nama Erwin Aksa

Sabtu, 15 Desember 2018 | 07:30 WIB
0
642
Kursi Wakil Gubernur DKI Masih Membara, Muncul Nama Erwin Aksa
Erwin Aksa (Foto: Tribunnews.com)

Sepertinya penentuan siapa yang akan menjadi wakil gubernur DKI masih jauh dari kata sepakat antara Gerindra dan PKS.

Gubenur DKI Jakarta Anies Baswedan masih menjomblo, sampai sekarang belum mempunyai pendamping atau wakil gubenur, setelah Sandiaga Uno tega-teganya maju sebagai wakil presiden 2019 untuk mencoba peruntungan, padahal hubungan keduanya sangat erat saat mengalahkan Ahok di Pilkada.

Kini kursi panas wakil gubernur itu menjadi rebutan antara Gerindra dan PKS. Sekalipun berdasarkan kesepakatan awal, jabatan wakil gubernur adalah jatah PKS. Ini sebagai kompensasi mengalahkanya PKS tidak mencalonkan kadernya sebagai calon wakil presiden. Panas-panas juga kursi empuknya tidak terbakar, ya tetap diperebutkan!

Dengan berlarut-larutnya penentuan penggantian jabatan wakil gubernur ini akan mengganggu kinerja Pemprov DKI Jakarta. Karena tidak ada pembagian tugas antara gubernur dan wakil gubernur. Kekosongan wakil gubernur ini kurang lebih sudah hampir lima bulan semenjak Sandiaga Uno meninggalkannya.

Dan secara aturan atau undang-undang tidak ada batas waktu, kapan atau berapa bulan jabatan atau kursi wakil gubernur boleh kosong. Makanya Menteri Dalam Negeri tidak bisa memaksa kepada partai Gerindra dan PKS untuk segera menyerahkan calon wakil gubernur kepada DPRD DKI. Yang bisa dilakukan Kementerian Dalam Negeri yaitu menyurati Gubernur DKI Anies Baswedan untuk melakukan mediasi antara partai pengusung: Gerindara dan PKS.

Gubernur Anies Baswedan pun juga tidak bisa memaksa kedua partai untuk segera menyerahkan kedua calon wakil gubernur kepada DPRD DKI. Karena gubernur Anies Baswedan juga sadar diri, ia bisa menjadi gubernur karena mendapat "durian jantuh" (ibaratnya).

Paling banter yang bersangkutan hanya bisa menghimbau untuk segera membahas calon wakil gubernur untuk segera diserahkan kepada dirinya dan selanjutnya diserahkan kepada DPRD DKI.

Malah kader Gerindra, M Taufik yang ngebet juga menjadi calon wakil gubernur mengajukan syarat: fit and proper test atau uji kepatutan dan kelayakan kepada calon wakil gubernur yang diajukan oleh PKS.

Sebenarnya uji kepatutan atau kelayakan ini hanya akal-akalan dari M Taufik untuk menghambat calon wakil gubernur dari PKS. Jelas PKS menolak uji kepatuan atau kelayakan ini, karena jabatan wakil gubernur adalah haknya atau jatahnya. Ngapain harus diadakan uji kepatutan atau kelayakan. Aya-aya wae tah si Ontohod teh, kata urang Sunda tea mah.

Lagian uji kepatutan atau kelayakan ini juga tidak menjamin kedua calon gubernur dari PKS itu akan lolos menjadi calon gubernur. Dan kalau tidak lolos uji kepatutan atau kelayakan, maka partai Gerindra boleh mencalonkan kadernya. Terus siapa calon wakil gubernur dari Gerindra? Yaaa... M Taufik sendiri. Akal bulus. Semprul-semprul!!

Kalau mau adil atau fair melakukan uji kepatutan atau kelayakan harusnya yang melakukan adalah kalangan dari akademisi, bukan oleh partai pengusung. Karena kedua partai itu punya kepentingan masing-masing.

Ini akan saling jegal atau saling ulur waktu, sampai batas waktu yang tidak jelas. Karena kalau tidak ada kata sepakat atau mengalah dari salah satu kedua partai pengusung, maka jabatan wakil gubernur akan tetap kosong.

Bahkan seakan M Taufik sengaja membuat buntu, dengan harapan ada calon netral untuk mengisi jabatan wakil gubernur DKI. Mungkin M Taufik ingin baik Gerindra atau PKS tidak ada kadernya yang menjadi calon wakil gubernur.

Maka muncul nama Erwin Aksa yang notabene tim sukses atau pemodal yang membantu Anies baswedan maju sebagai calon gubernur DKI. Tentu nama Erwin Aksa yang ujug-ujug muncul mengagetkan PKS dan Gerindra atau gubernur Anies Baswedan. Akan tetapi M Taufik tidak keberatan dengan munculnya calon netral atau pihak lain sebagai calon wakil gubenur.

Tapi ini juga tidak mudah, kalau PKS tidak setuju,maka calon dari pihak lain juga tidak akan bisa.Karena sesuai ketentuan calon wakil gubernur harus mendapat persetujuan atau kesepakatan dari partai pengusung.

Kalau sudah begini, maka jabatan wakil gubernur DKI akan berlarut-larut akan kosong dan akan menjadi kursi panas.

***