Mengapa Prabowo Menolak Ijtima Ulama?

Minggu, 13 Januari 2019 | 21:26 WIB
0
269
Mengapa Prabowo Menolak Ijtima Ulama?

Kendornya isu agama dalam kampanye Prabowo belakangan ini, disinyalir akibat keputusan Prabowo yang tidak mengikuti ijtima versi ulama gerakan 212 dan GNPFU. Padahal, sebelumnya sudah digadang-gadang beberapa nama termasyhur seperti Mantan Gubernur Jawa Barat Ustad Ahmad Heryawan dan Ustad  kondang Abdul Somad akan masuk dalam bursa capres Prabowo, terlebih PKS sangat ngotot meminta kadernya yang menajdi wakil Prabowo.

Namun, di luar dugaan, semua kalkulasi politik yang hitung meleset. Prabowo yang sebelumnya sudah disodori sekian nama dari PKS maupun PAN, ternyata punya matematika politik tersendiri dalam memilih wakil. Tentu saja, dalam pembacaan saya, ada 3 faktor:

Pertama, Sumber Dana Kampanye. 

Dana kampanye merupakan instrument super penting dalam perhelatan pilpres ini, sebab ongkosnya memang tidak sedikit. Kenyataannya, BPN menghabiskan 21 milyar untuk membangun posko relawan. Tentu saja, bukan angka yang sedikit.

Lantaran itulah, Prabowo tidak bisa salah memilih wakil, diutamakan wakil yang memiliki modal kapital memadai. Kalau tidak, Prabowo bisa “babak belur” dalam kontestasi ini lantaran ia melawan petahana Jokowi yang memang sangat kuat, baik secara jejaring pendanaan maupun peluang keterpilihan kembali.

Sebab ongkos head to head yang  tidak sedikit inilah, Prabowo harus realistis memilih wakil, dan yang cocok adalah Sandi Uno.  Terbukti sekarang, mayortias dana kampanye memang di-supply satu orang saja, yaitu wakilnya sendiri.

"Jumlah total dari BPN Prabowo-Sandi saat ini di angka Rp54 miliar. Kalau di-breakdown tentu yang paling banyak adalah Pak Sandi sekitar 70-an persen, setelah itu Pak Prabowo sekitar 30 persen," ungkap Bendara BPN Thomas.

Kedua, Agenda Alih Generasi Gerindra. 

Prabowo memang harus memperhitungkan bahwa kandidasi 2019 ini adalah pertarungan terakhirnya dan tidak mungkin ia akan terus berdiri di posisi pemain. Sudah barang pasti, posisi harus diganti, setidaknya menjadi pemain belakang panggung.

Namun, panggung belakang tidak serta merta membuatnya aman jika yang menjadi wakilnya tak mampu ia andalkan untuk kandidasi berikutnya, baik dari sisi partai maupun personal. Kandidat yang paling memungkinkan, ya, memang Sandi Uno.

Ini sebagai langkah penyelamatan Gerindra agar tetap bisa berlaga pada kontestasi berikutnya. Jadi, ya, mau tak mau, suka tak suka, Prabowo harus mengabaikan ijtima ulama sebab itu tak menguntungkan Prabowo dan Gerindra.

Ketiga, Kepentingan Elektabilitas. 

Dari semua bakal cawapresnya dulu, hanya Sandi yang menanjak elektabilitasnya. Bahkan sekarang, barangkali faktor kunci elektabilitas Prabowo bukan pada dirinya melainkan Sandi. Bagaimana tidak, selama ini Prabowo tidak pernah terlihat blusukan, bahkan tak terlihat nampang di pasar tradisional seperti apa yang dilakukan Sandi.

Menurut survei LSI Deny JA, dinyatakan elektabilitas Prabowo secara personal telah mencapai angka 28,8%. Kehadiran Sandi cukup menambah tingkat keterpilihan Prabowo: 29,5%. Di kalangan emak-emak, elektabilitas Prabowo hanya 25,2%. Ketika dipasangkan dengan Sandi, elektabiltas Prabowo-Sandi meningkat 30,0%. Selanjutnya pemilih pemula atau milenial; Prabowo 34,2% sedangkan Prabowo-Sandi: 39,5%.

Artinya, memang moncer faktor Sandi. Maka itu, ketika Prabowo mengabaikan suara ijtima ulama yang menyodorkan calon lain, memang sudah tepat. Perkara ulama merasa tak dihormati, ya, itu urusan mereka, tapi urusan politik, ya, itu hak Prabowo.

Selain itu, barangkali juga, blusukan Sandi bukan semata-mata urusan pilpres ini tapi sudah bagian dari skenario yang lebih jauh yaitu agenda 2024 yang akan disasar Sandi, sehingga Prabowo cukup berdiam di menara gading saja.

Nah, sekarang menjadi persoalan baru bahwa Prabowo kerap dituding membohongi (mengakali) ulama atau tidak menghormati karena menolak ijtima ulama tempo hari. Mungkin dalam term politik, ya, inilah strategi pemenangan, sebuah kesadaran bahwa Prabowo memang tidak butuh ulama sebagai wakilnya sebab ini kontestasi besar yang faktor ulama secara kalkulasi politik akan kurang menguntungkan Prabowo, minimal dari tiga faktor di atas. 

Jadi, ya, ulama tak perlu gede rasa bila selama ini Prabowo menempel ketat kerja-kerja ulama dalam mengeskalasi kerumunan umat menjadi insentif elektoral.

Ini bukan persoalan agama, tapi kalkulasi politik yang harus dihitung secara matang dari sisi Prabowo itu sendiri. Sejauh ini, Prabowo akan tetap menjaga kemesraan dengan ulama GNPFU, entah kalau nanti setelah kalah atau menang. 

***