"Collective memory gives people a sense of belonging. ... History is subjective and open to different interpretations. Many politicians have used a partisan view of history to further their own ends"
Demikian Martin Schulz menulis dalam pengantar buku Politics of the Past: The Use and Abuse of History. Dan karena sejarah adalah juga kisah para aktornya, berlakulah perkataan James Ellroy dalam My Dark Places, "Dead people belong to the live people who claim them most obsessively."
Orang mati dan sejarah layaknya puisi. Hak interpretasi puisi ada di tangan pembaca, post factum momen penciptaannya. Demikian pula sejarah dan para tokoh ditafsirkan oleh generasi setelahnya. Seperti puisi yang kerab selisih dalam tafsir, demikian pula sejarah dan para tokoh masa lampau.
Begitu pula politik di Indonesia berjalan. Para tokoh dari masa lampau dihidupkan kembali oleh para politisi, citranya direkonstruksi, dipas-paskan dengan kebutuhan si politisi.
Beberapa waktu lalu, sekumpulan politisi muda pendukung Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno mengeksploitasi sosok Sudirman, Soekarno, dan Mohammad Hatta, orang-orang hebat dari masa lampau yang akbar jasanya bagi kemerdekaan Indonesia.
Dahnil, juru bicara Prabowo-Sandiaga berupaya menghidupkan kembali figur Soekarno dan Jenderal Sudirman dalam diri Prabowo, serta sosok Mohammad Hatta dalam diri Sandiaga. Seperti pelajar SD diajak guru mengapresiasi puisi, usaha menyama-nyamakan itu maksa, tanpa permenungan memadai, tanpa pertanggungjawaban.
Sepertinya anak-anak muda itu sekedar latah menghidupkan kembali projek narasi 2014, ketika pasangan Prabowo-Hatta disamakan dengan Soekarno-Hatta, atau lebih tepat Soekarno-Hatta dicocok-cocokan dengan Prabowo-Hatta. Mereka sekedar perpanjangan mulut Prabowo yang sepertinya sangat ingin dianggap seperti Soekarno, meski 180 derajat perbedaan keduanya. Karena Soekarno tak lengkap tanpa Hatta, siapapun yang berpasangan dengan Prabowo akan menjadi reinkarnasi Mohammad Hatta.
Maka jadilah Sandiaga Uno, seorang pengusaha yang perusahaannya memiliki sejarah memprivatisasi pengelolaan air bersih dicitrakan serupa Mohammad Hatta, tokoh yang sebaliknya memperjuangkan bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Penafsiran terhadap Hatta yang kelewat subjektif, tanpa landasan kuat dan bertolak belakang dari pemahaman umum jelas bikin keluarga Mohammad Hatta meradang. Sebebas-bebasnya puisi ditafsir, toh ada pemahaman umum yang perlu dituruti agar jangan seperti Hanung menafsirkan Bumi Manusia sebagai kisah percintaan.
Bung Hatta bukan satu-satunya tokoh masa lampau yang ditafsirkan ulang dengan sangat subjektif dan karenanya menuai protes keras.
Minggu lalu, 21 Oktober Sandiaga Uno dan rombongannya nyekar ke makam Gombloh, musisi kharismatis dari era 1970a-1980an.
Ia bersama sejumlah anggota tim berdoa dan melakukan tabur bunga di makam Gombloh di TPU Tembok Gede, Surabaya. Sandiaga juga berjumpa keluarga alm. Gombloh, termasuk istri Gombloh.
Soedjarwoto Soemarsono a.k.a Gombloh memang musisi hebat di masanya. Lagunya membakar semangat kebangsaan dan mendorong mencintai lingkungan. Lagu-lagu cintanya juga romantis dan hingga kini masih dinyanyikan beriring petikan gitar dalam tiap acara kumpul-kumpul generasi 1980an-1990an.
Sandiaga mengaku dirinya pun penggemar Gombloh. Bisa dimaklumi. Siapa orang seusia Sandiaga yang tak menggemari Gombloh?
Sial! Sepekan setelah kunjungan itu, Sandiaga Uno mendapat protes dari fans Gombloh. Koordinator Fans Gombloh, Guruh Dimas Nugroho memprotes dua hal dari kunjungan Sandiaga itu.
Yang pertama adalah pernyataan Sandiaga bahwa Gombloh merupakan contoh pelaku industri kreatif.
Guruh Dimas Nugroho sangat berkeberatan. Baginya Gombloh adalah seniman, bukan pelaku industri. Guruh tak terima cara pandang Sandiaga, menilik setiap orang dari sisi bisnis, seolah-olah semua orang berkarya semata-mata demi uang.
Yang kedua, Guruh Dimas Nugroho memprotes keras praktik politisasi orang mati yang dilakukan Sandiaga Uno demi pencitraan pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno dalam pilpres 2019.
Rupanya saat nyekar ke makam Gombloh dan menjumpai keluarga Gombloh, Sandiaga Uno membawa lukisan Gombloh yang digambarkan mengenakan topi bertuliskan angka 2.
Pihak fans dan keluarga Gomblo keberatan sosok alm. Gombloh diklaim dan dijadikan instrumen kampanye oleh Sandiaga Uno.
Terhadap protes fans club Gombloh Sandiaga melakukan perlawanan balik. Ia tak bisa lagi kalah kedua kalinya.
Sandiaga tidak bisa apa-apa melawan Halida Hatta dan putri cerdasnya, Gustika. Mereka turunan langsung Bung Hatta dan publik tentu akan memihak mereka dalam urusan menafsirkan Bung Hatta. Tetapi melawan fans club Gombloh? Sandiaga tak mungkin mengalah.
Hanya saja perlawanan Sandiaga salah. Ia memilih ngeles, menjelaskan bahwa lukisan dengan angka 2 pada topi Gombloh adalah pemberian relawan dan Sandiaga tak sempat memperhatikan angka itu.
Sandiaga lupa membantah penafsiran Gombloh sebagai seniman yang bebas dari eksploitasi industri. Sandiaga lupa membela cap yang ia stempelkan pada Gombloh sebagai seorang perintis ekonomi kreatif.
Padahal menjadikan Gombloh ikon ekonomi kreatif itu lah kepentingan pokok Sandiaga menghidupkan kembali Gombloh. Pada ekonomi kreatif itulah irisan Sandiaga Uno dan Gombloh hendak dibangun.
Jika Sandiaga berhasil merekonstruksi Gombloh sebagai perintis ekonomi kreatif, maka sosok Gombloh yang ia ciptakan ulang akan mengkampanyekan Sandiaga sebagai cawapres yang membawa harapan baru bagi pengembangan industri kreatif Indonesia.
Seperti yang sudah dijanjikan, Sandiga Uno akan menjadikan ekonomi kreatif sebagai program unggulan. Itu berarti para pengemar Gombloh perlu mendukungnya.
Sayangnya para penggemar Gombloh lebih memilih menafsirkan Gombloh sebagai seniman sejati, yang berkarya bukan terutama demi uang. Sandiaga gagal membantahnya.
Maka narasi ini berakhir menyedihkan. Bung Hatta dan Gombloh gagal dibangkitkan untuk berbaris bersama relawan pendukung Prabowo-Sandiaga.
Sepertinya tim Prabowo-Sandiaga perlu menimbang matang usulan bernas Halida Hatta. Kampanyekan saja prestasi dan keunggulan Prabowo dan Sandiaga. Tak perlu membawa-bawa orang mati, menyama-nyamakan orang mati dengan diri mereka.
Sumber:
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews