UAS dam Kemunafikan Bangsa Ini

Ia selalu lolos dari jerat penistaan agama, dengan berlindung di balik demikianlah Kitab Suci agamanya mengajarkan.

Sabtu, 4 Juni 2022 | 05:30 WIB
0
170
UAS dam Kemunafikan Bangsa Ini
UAS (Foto: Kompas.com)

Persoalannya akan jadi lain, jika Pemerintah "Singapore" memahami bahwa watak umum para pemuka agama di Indonesia adalah munafik. Apa yang dicitrakan di depan publik, bisa sama sekali lain dan berbeda dengan passion sesungguhnya yang ada dalam diri keseharian mereka. Apa yang dicitrakan radikal, keras, tak bersahabat, tanpa kompromi, dst dst nya itu, hanya bentuk "pencitraan" semata. Yang nilainya sangat lokal, temporer, dan mudah bias.  

Jika mereka memahami, tentu mereka akan sesantai itu menerima siapa saja tanpa pandang bulu. Santai sesantai orang pergi berjemur di pantai...

Munafik mungkin salah satu kata yang mendapat habitat paling cocok di bumi Indonesia. Apalagi di masa kontemporer ini. Walau konon, ada tiga ciri pokok orang munafik, dari agama yang mengangkatnya sebagai sebuah peringatan. Yaitu Jika berbicara berdusta, jika berjanji mengingkari, dan jika diberi amanah mengkhianati. Tapi dalam konteks negeri muslim terbesar di dunia ini, pemahamannya bisa sangat luas.  

Ia bisa saja menjadi sangat tidak konsisten, sebagaimana orang Jawa sebut sebagai "esuk dele, sore tempe". Mereka yang tak bisa kita percaya, tapi malah akan menyalahkan orang lain sebagai gagal memahami dinamika dan kerasnya hidup. Saat mereka mencuri uang negara, mereka akan bilang itu hanya masalah "kelebihan bayar". Saat berselingkuh, mereka akan memaksa orang lain memahami itu hanya cinta sesaat. Mereka yang selalu penuh penyangkalan, sebuah karakter denial yang makin tumbuh subur di negeri yang cilakanya mencitrakan diri makin agamis ini.

Untuk itu, bisa sangat dipahami jika UAS yang konon penceramah paling besar bayarannya di negeri ini. Seorang ustadz yang konon, pernah dipilih secara pribadi oleh Prabowo Subianto sebagai salah satu calon terkuat sebagai cawapres-nya. Mungkin jika PS pede pasti menang, tentu ia akan memilihnya. Tapi karena, ia tak yakin-yakin amat mampu mengalahkan popularitas Jokowi. Ia memilih Sandiaga Uno yang jauh lebih pandai mencari duit. Jadi bila PS dan SU sekarang jadi salah satu menteri di kabinet saat ini, harusnya kita sadar betapa dagelannya dulu semua sandiwara saat Pemilu Capres terakhir itu. 

Mangkanya bisa juga dimengerti, jika publik tersentak dan kaget ketika, tokoh ini ingin merayakan hari ulang tahun di negara tetangga yang "sak upil" itu ditolak masuk. Padahal harusnya mereka paham, bahwa tokoh ini butuh menghabiskan uang dari ceramahnya yang segambreng itu kalau tidak untuk dibelanjakan, atau dalam bahasa hari ini "dihedoniskan" di negara itu. Harusnya mereka paham, semaju apa pun entertaintment, atau pusat shoping, atau kemewahan perhotelan di Indonesia. Tak akanlah bisa menyamai gengsi dan standart tinggi yang dimiliki negara ini. 

Di sini, titik absurd yang sulit dipahami oleh supporter UAS, wong mau di-shodaqoh-i kok ditolak! 

Tapi, demikianlah Singapore menunjukkan dirinya kepada dunia, terutama kepada tetangga nya yang hanya "tampak gede, tapi boros, dan tak efisien" ini. Ia barangkali sudah memiliki daftar cukup panjang nama-nama tokoh yang dianggap "membahayakan" kenyamanan hidup di negara ini. Yah, kenyamanan bukan keamanan. Mereka adalah negeri yang di luar sangat alert dan peka terhadap masalah "security", tapi tentu saja mereka sangat mengedepankan apa yang hari-hari ini dianggap sebagai "hospitality". 

Apalah artinya security tanpa hospitality. Keduanya adalah dasar dari tiga kosa kata terpenting di negeri ini yang dijaga dengan sepenuh hati: keterbukaan, multikulturalisme, dan menentukan nasib sendiri...

Di sini ketegasan mereka sangat diuji dan teruji. Mereka tentu saja akan melindungi, negerinya sebagai tempat yang tidak ramah pada siapa pun yang berpotensi sebagai "teroris", sesuatu yang akan sangat menyinggung kompleksitas persoalan pokok di atas. Orang dari negeri seperti kita, dengan demokrasi yang kebablasan maupun pemahaman tentang HAM yang tanpa tapal batas. Pasti akan mudah menuduh balik Singapore sebagai negara yang justru intoleran. 

Padahal, mereka malah menjunjung tinggi toleransi, keberagaman, dan perbedaan dengan kesadaran untuk sedikit memangkas kontekstualitas demokrasi dan HAM. Mereka tak terlalu peduli pada indeks ini itu, selama keamanan dan kenyamanan, dan persatuan masyarakat mereka terlindungi. Di sini titik beda negara kita dengan mereka, dimana media pers dan SJW jatuhnya hanya menjadi hanya ceriwis dan juwih. Sesuatu yang didukung oleh KOMNAS HAM-nya yang gagu, gagap, dan kebijakannya bahkan sering terindikasi malah sebagai pelanggar HAM itu sendiri. 

Pertanyaannya apakah UAS adalah seorang "teroris"? 

Nah, di sini bias yang membuat perspektifnya menjadi beda. Kalau ukurannya adalah ia berencana katakanlah "meledakkan bom" tentu nyaris musykil. Buat apa? Ia adalah seorang juru dakwah yang sekali lagi hidupnya penuh "kemunafikan" itu. Persoalan pribadinya yang terangkat ke ranah publik terlalu banyak. Suka kawin cerai, di saat lain suka pamer barang mewah, gaya hidupnya jauh dari citra sederhana dan rendah hati. 

Ia sebagaimana trend hari ini, gagal menunjukkan relevansi antara gelar "doktoral"-nya dengan kegunaan ilmunya sebagai jalan terang bagi masyarakat luas tanpa batas.

Sebaliknya daripada itu, ia adalah "bom dalam bentuk lain". Ceramahnya yang sangat intoleran dan selalu dipahami sebagai bagian dari diskusi tertutup, walau sebenarnya sangat terbuka dan tersiar luas. Sesuatu yang tertutup, tapi selalu bocor ke ranah publik. Tak sekali dua kali, ia menyoal urusan agama lain, yang secara tak berimbang dipahami menurut kacamata agamanya sendiri. Sesuatu yang tentu saja, pasti melukai perasaan orang lain. Dan ia selalu lolos dari jerat penistaan agama, dengan berlindung di balik demikianlah Kitab Suci agamanya mengajarkan.  

Sebuah pilihan yang bahkan orang paling cekak spiritualitasnya pun mudah paham bahwa itu melulu masalah tafsir. Alih-alih peduli dan introspeksi diri, ia bersikap tak peduli!

Bagi saya, apa yang dilakukan oleh pemerintah Singapura itu sungguh sangat menarik! Lepas reaksi para supporter politisnya dari dalam negeri Indonesia yang ikut-ikutan mengecam pemerintah Singapura. Barangkali mereka lupa, Presiden negara tetangga ini adalah seorang wanita muslim. Yang saya yakin ia sudah tepat bertindak sebagai "ibu yang melindungi negara". Sebagai ibu negara, tentu ia tahu bagaimana harus bersikap terhadap warga negara tetangganya yang berpotensi "mencoreng" citra baiknya sebagai salah satu negara penyedia hospitality terbaik di dunia. 

Ia berani bersikap sebagai seorang David yang berani menantang Goliath. Ia sangat paham bagaimana mengelola manajemen marketing, secara publik relations, secara international relationship, bahkan secara kedaulatan negara. Dan ia sangat berhasil! Mereka menolak "satu orang bermasalah", tapi secara tidak langsung mengundang datang jutaan orang lain untuk masuk ke rumahnya. Ia tidak saja jeli dan teliti, tapi sekaligus cerdas dan kokoh.

Sebesar itukah UAS?  

Tentu saja tidak! Ia hanya "lantaran" atau "bahan" atau "contoh subyek". Bodohnya, para supporter mereka di Indonesia justru secara tidak langsung, ikut menguatkan kebijakan pemerintah Singapura itu. Mereka menuntut ini itu, ya penjelasan, malah yang lebay permintaan maaf. Untuk apa? 

Terbukti, mereka tak memberi pernyataan pers apa pun terkait penolakan masuk keluarga UAS! Ya mereka sekeluarga! Mereka, tak butuh memberi argumentasi apa pun. Karena, itu adalah keputusan di tingkat paling bawah. Di tingkat imigrasi, yang tentu saja sudah memiliki daftar panjang siapa saja yang boleh masuk negara ini, siapa yang tidak!

Sesederhana itu, dan siapa yang seharusnya malu? 

Ya pemerintah Indonesia. Mereka justru diingatkan bahwa sebegitu sangat toleran-nya kita pada sesuatu yang berwatak intoleransi. Pada pers Indonesia yang tak pernah adil dan berimbang dalam membuat pemberitaan pada aksi radikalisme dan intoleransi, yang nyata-nyata merusak sendi-sendi kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Pada LSM dan SJW yang hanya bisa berteriak dan menuntut ini itu, tapi selalu gagal berpijak pada esensi dasar masalah kemanusiaan. Pada parlemen yang lebih sibuk membela kepentingan jangka pendek kelompoknya, daripada kepentingan jangka panjang secara nasional. 

Terlalu panjang: intinya harusnya kita malu. Tapi bukankah malu itu sudah merupakan barang langka di negeri ini. Kita sering lupa pada satu hukum dasar hubungan antar negara, yang sesungguhnya juga tercakup dalam antar manusia, antar masyarakat bahwa: 

Everything is Possible, but Not Everything is Permissible...

NB: Saya pribadi, melihat preseden yang lucu di negeri ini. Saat UAS ditolak masuk Singapura. Di Jakarta, banyak pihak yang belum apa-apa sudah menolak kedatangan Maria Ozawa (a.k.a Miyabi) ke Jakarta. Padahal itu baru rencana, padahal bagi saya pribadi, keduanya sama-sama bergerak di dunia entertainment dan re-kreasi. Perbedaannya hanya di pilihan huruf depannya saja, bila yang satu huruf depannya pakai kapital, semisal "Hiburan". Sedangkan yang lainnya dengan huruf kecil sebatas sebagai "hiburan". 

Keduanya bagi segmen pasarnya masing-masing pada dasarnya adalah para "penghibur". Bedanya, bila diseret-seret lebih jauh yang satunya outputnya adalah Islamo-pohia sedangkan yang lainnya porno-phobia. Islamo-phobia selalu digunakan sebagai pijakan pada isu-isu gerakan politik praktis, sedangkan porno-phobia selalu digunakan sebagai landasan gerakan moral. Keduanya diidap secara akut, seharusnya oleh dua kelompok yang berseberangan. Tapi lucunya, di negeri ini isunya malah diperdengarkan, dipelihara, dan dibesarkan oleh kelompok yang sama, yang itu-itu saja. 

Sampai kapan? Sampai orang bisa memisahkan secara jujur mana ranah publik, mana ranah privat secara lebih bijak dan dewasa. Sayangnya, sekali lagi sayangnya itu muskil dalam masyarakat dimana munafik adalah bagian dari gaya hidup. Munafik adalah satu rumah yang nyaman untuk melalui kerasnya kehidupan di abad milenial ini...

***