Ketika Jenazah 6 Laskar FPI Bicara (4)

Mengubah TKP, menurut aturan hukum, itu sama halnya dengan “menghilangkan” TKP dan masuk kategori melanggar hukum, karena termasuk sebuah kejahatan!

Sabtu, 2 Januari 2021 | 03:53 WIB
0
111
Ketika Jenazah 6 Laskar FPI Bicara (4)
Rest Area KM 50 TKP penembakan pertama dengan korban 2 laskar FPI meninggal dunia. (Foto:

Apa yang sebenarnya terjadi di Rest Area KM 50 Tol Jakarta-Cikampek? Mengapa sampai ada keterangan yang berbeda saat Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran melakukan jumpa pers, Senin (7/12/2020) dengan rekonstruksi Bareskrim Polri?

Menurut Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Polisi Andi Rian Djajadi, empat Laskar FPI yang diamankan di TKP ketiga, yakni Rest Area KM 50 Tol Japek dalam perjalanannya melakukan perlawanan dan hendak merebut senjata aparat kepolisian.

Seperti dilansir Okezone,com, Senin (14 Desember 2020 06:04 WIB), oleh sebab itu, aparat melakukan tindakan tegas dan terukur ketika pelaku mencoba merebut senjata milik polisi di dalam mobil.

Hal tersebut diungkapkan Brigjen Andi usai rekonstruksi kasus penyerangan oleh Laskar FPI kepada polisi di Tol Japek, Senin (14/12/2020). “Bahwa TKP 4 ini adalah kelanjutan TKP 3, kami lihat akhir dari kegiatan atau adegan TKP 3,” ungkapnya.

“Itu 4 pelaku yang masih hidup diamankan ke mobil dengan tujuan dibawa penyidik untuk ke Polda Metro Jaya. Dalam perjalanan tidak jauh jaraknya dari KM 50 sampai 51+200 terjadi penyerangan, pelaku mencoba merebut senjata anggota,” lanjut Brigjen Andi.

“Dari situlah terjadi upaya dari penyidik yang ada dalam mobil untuk melakukan tindakan pembelaan, sehingga keempat pelaku di dalam mobil semuanya mengalami tindakan tegas dan terukur dari anggota yang ada dalam mobil,” ungkap Brigjen Andi.

Dalam rekonstruksi ini, di TKP 1, di depan Hotel Novotel, Jalan Karawang Internasional, ada 9 adegan. Di lokasi 2 yakni, selepas bundaran Jalan Karawang Internasional hingga Gerbang Tol Karawang Barat arah Cikampek ke Rest Area KM 50 ada 4 adegan.

Sedangkan di Rest Area KM 50 yang menjadi TKP 3 penyidik melakukan rekonstruksi 31 adegan. Di TKP terakhir yakni, Tol Japek selepas Rest Area KM 50 hingga KM 51 200, penyidik memperagakan 14 adegan.

Awalnya petugas yang mengamankan 4 Laskar FPI itu hendak membawa ke Polda Metro Jaya untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Pada proses itu, polisi tidak memborgol pelaku hanya sebatas meletakkan mereka di kursi tengah dan belakang mobil.

“Mereka dalam keadaan tidak diborgol mereka ditaruh di belakang kemudian satu lagi dibiarkan duduk di bagian tengah,” ujar Brigjen Andi.

Ia mengukapkan, setelah dilakukan tindakan tegas dan terukur, alhasil aparat kepolisian langsung membawa anggota Laskar FPI tersebut ke Rumah Sakit (RS) Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur. “Setelah kejadian ternyata dalam kondisi luka langsung dibawa ke RS Kramat Jati,” ujar Brigjen Andi.

Jika menyimak Kapolda Fadil Imran dalam jumpa pers pertama, Senin (7/12/2020), maka dapat disimpulkan, bahwa TKP itu berada di Rest Area KM 50 Tol Japek.

Ini merujuk pada definisi TKP: adalah tempat di mana suatu tindak pidana dilakukan atau terjadi dan tempat-tempat lain di mana tersangka dan/atau korban dan/atau barang-barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dapat ditemukan.

TKP Hilang

Ada yang dirasa janggal setelah penembakan Laskar FPI, khususnya di Rest Area KM 50 Tol Jakarta-Cikampek. Polisi tidak menutup dengan police line seperti pada umumnya jika terjadi suatu peristiwa. Padahal, garis polisi ini sangat penting.

Karena, di KM 50 itulah “tembak-menembak” antara polisi dengan laskar FPI, seperti versi polisi, terjadi hingga menyebabkan 2 laskar FPI tewas, termasuk 4 laskar lainnya yang sudah menyerah dan dibawa polisi meninggalkan Rest Area KM 50.

Biasanya, olah TKP dimulai dari persiapan, penangananTKP, perjalanan ke TKP, Tindakan Pertama di Tempat Kejadian Perkara (TP-TKP).

Olah TKP yang terdiri dari pengamatan umum, pemotretan,pembuatan sketsa, pengumpulan barang bukti, penanganan korban, saksi, dan pelaku, pengorganisasian olah TKP, dan yang terakhir penanganan TKP.

Tapi, itu semua tidak dilakukan oleh pihak kepolisian pada saat itu. Tahu-tahu dalam jumpa pers telah ada barang bukti berupa pedang dan pistol yang disangkakan sebagai pemilik dari korban (laskar FPI).

Sebagaimana dipahami secara umum bahwa jalan tol adalah jalan bebas hambatan, sehingga siapa pun yang melakukan penghadangan di jalan tol itu adalah sebuah bentuk pelanggaran hukum.

Aparat kepolisian itu tidak seharusnya berada di jalan tol dengan beberapa unit kendaraan, apalagi merencanakan penyergapan itu pada rombongan HRS secara khusus seolah mereka adalah teroris dan bandar narkoba kelas kakap.

Sekali lagi tidak mungkin tidak, direncanakan, apalagi sejak sore hari polisi sudah berada di sekitar lokasi TKP dan itu berarti bukan pihak korban yang mencari masalah melainkan polisi yang berupaya menghentikan kendaraan rombongan HRS.

Jika dicermati dari beberapa keterangan saksi, hasil investigasi wartawan Eddy Mulyadi dan TEMPO serta uraian Munarman dapat diambil kesimpulan bahwa 4 orang yang dinyatakan masih hidup saat dibawa pergi tetapi tidak dibawa ke kantor Polisi untuk dilakukan introgasi, proses verbal atau pengumpulan keterangan dari mereka.

Mereka dibawa polisi di suatu tempat dan diekskusi mati disitu. Dan, ini justru sama dengan upaya pembunuhan terhadap korban yang dilakukan polisi, lebih-lebih polisi telah menyalahi prosedur penangkapan korban yang disangkakan polisi.

Penembakan polisi terhadap para korban adalah bentuk pembantaian mengingat banyak luka tembak pada korban dan bekas penganiayaan dilakukan polisi. Ini jelas sangat bertentangan denganUU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Ini jelas bahwa polisi telah melakukan pembunuhan berencana yang diatur dalam pasal 340 KUHP. Ini juga menjawab bahwa di TKP KM 50 tidak ada tembak-menembak. Yang ada, setidaknya ada 19 luka tembak di 6 tubuh korban disertai penganiayaan.

Polisi tidak bisa menjelaskan ke mana 4 korban yang masih hidup ketika itu dibawa setelah ada 2 orang ditembak di TKP KM 50 dan apa saja yang mereka perbuat terhadap laskar FPI pengawal HRS itu.

Semua peristiwa terkait penyergapan dan penembakan di Rest Area KM 50 Tol Japek pada laskar FPI itu terekam di CCTV setempat. Apakah Komnas HAM sudah punya rekamannya atau minimal melihatnya.

Siapa yang menyimpan rekaman CCTV di Rest Area KM 50 itu, hanya polisi dan PT Jasa Marga selaku pengelola Tol Japek yang tahu. Apalagi, setelah rekonstruksi pada Senin, 14 Desember 2020, mulai Minggu (20/12/2020), TKP ini “ditutup”.

”Mulai kemarin Rest Area KM 50 kami relokasi,” kata Corporate Communication & Community Development Group Head Jasa Marga, Dwimawan Heru, Selasa (22/12/2020). Penutupan Rest Area KM 50 Tol Japek ini dilakukan mulai 22 Desember 2020 secara permanen.

Jasa Marga menyebut sejak dioperasikannya Jalan Tol Japek Elevated pada Desember 2019, khususnya pada masa liburan, kerap terjadi kepadatan di Jalan Tol Japek, arah Cikampek, pada ruas antara KM 48 – KM 50.

“Hal ini disebabkan pada lokasi tersebut terjadi pertemuan arus lalu lintas yang baru keluar atau turun dari Jakarta-Cikampek Elevated, bertemu dengan arus lalu-lintas yang melintas di Jakarta-Cikampek bawah di wilayah Karawang Barat,” kata Dwimawan Heru.

Kepadatan pada lokasi tersebut, ditambah dengan adanya kendaraan yang keluar-masuk Rest Area yang terletak di KM 50 A. Aktivitas tersebut menimbulkan antrean yang mengganggu arus lalu-lintas di jalur utama Jalan Tol Japek.

Mencermati hal tersebut, Korlantas Polri melalui suratnya pada 6 Februari 2020 meyarankan penutupan Rest Area KM 50 A dan melakukan pelebaran jalur jalan tol mulai KM 48 – KM 50.

“Hal ini diperkuat lagi dengan instruksi Badan Pengatur Jalan Tol melalui suratnya pada 20 Maret 2020, terkait hal yang sama,” kata Dwimawan Heru. Mengapa penutupan dilakukan dua pekan setelah peristiwa penembakan pada 6 laskar FPI?

Mengubah TKP, menurut aturan hukum, itu sama halnya dengan “menghilangkan” TKP dan masuk kategori melanggar hukum, karena termasuk sebuah kejahatan! (Bersambung)

***