Perempuan Perkasa

Indonesia kerap bisa memelopori dan memulainya dengan baik, namun sering tak mampu merawat dan mengembangkan warisan-warisan terbaiknya.

Senin, 27 April 2020 | 05:29 WIB
0
276
Perempuan Perkasa
Ilustrasi mata perempuan (Foto: tunaiku.com)

Dalam hal jejak langkah perempuan di ruang publik, Indonesia sesungguhnya berada di garis perintis, bahkan mendahului negara-negara termaju sekalipun.

Sejak zaman prakolonial, telah tampil tokoh-tokoh perempuan sebagai pemimpin politik. Sebutlah, Ratu Sinuhun di Palembang, Dayang Lela di Kalimantan Barat, Daeng Pasuli, Adi Matanang, Siti Aisya, dan I Madina Daeng Bau dari Sulawesi Selatan, We Tanri Ole dari Ternate, Ratu Nur Ilah, Ratu Nahrasiyah, Laksamana Malahayati, dan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah.

Kemudian, Sultanah Nurul Alam, Inayat Syah, Kamalat Syah dari Aceh, Ratu Shima (Kalingga), Pramodhawardhani (Mataram Kuno), Tribhuwanattunggadewi (Majapahit), Ratu Kalinyamat (Jepara) dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, Ratu Dewata, Ratu Sakti dan Ratu Nilakendra (Pakuan) dari Jawa Barat.

Dalam gerakan “archaic nationalism”, tokoh perempuan juga tampil. Sebutlah nama Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia dari Aceh, Martha Christina Tiahahu dari Maluku, Nyi Ageng Serang dari Jawa Tengah.

Dalam gerakan "proto-nationalism" tokoh perempuan juga hadir. Sebutlah nama Raden Ajeng Kartini di Jawa Tengah, Raden Dewi Sartika di Jawa Barat, Maria Walanda Maramis dari Sulawesi Utara, Hajjah Rangkayo Rasuna Said dari Sumatra Barat.

Dalam gerakan “nasionalisme modern”, tokoh perempuan juga berkiprah. Salah satu tokoh terpenting dari Sumpah Pemuda adalah Siti Soendari, perwakilan dari Poeteri Indonesia.

Akhirnya, dalam membincangkan dasar negara (Pancasila) dan rancangan konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945) di BPUPK setidaknya ada dua wakil perempuan; Ny Maria Ulfa Santoso dan Ny. Sukaptinah Soenarjo Mangoenpoespito.

Dengan bukti-bukti yang begitu meyakinkan tentang peran publik perempuan dalam lintasan panjang sejarah Indonesia, istilah founding fathers tidaklah tepat digunakan dalam kosa kata politik Indonesia. Lebih tepat disebut sebagai founding fathers and mothers (parents).

Masalahnya, Indonesia kerap kali bisa memelopori dan memulai dengan baik, namun sering tak mampu merawat dan mengembangkan warisan-warisan terbaiknya. Akibatnya, sesuatu yang semua kita rintis dalam perkembangan lebih lanjut justru dipandang asing.

Yudi Latif