Demokrasi Pseudo-Komedi

Demokrasi pseudo-komedi diisi para artis dengan kemampuan akting buruk. Mereka berpura-pura berkompetisi di dalam pemilihan umum. Namun, setelah selesai, mereka kembali ke sifat aslinya.

Selasa, 29 Oktober 2019 | 07:02 WIB
0
355
Demokrasi Pseudo-Komedi
Ilustrasi (Foto: rumahfilsafat.com)

Minggu lalu, seorang mahasiswa bertanya kepada saya. “Apa pendapat bapak soal susunan kabinet pemerintahan yang baru ini (2019-2024)?” Saya menjawab singkat, “Inilah tanda dari demokrasi dagelan, yakni demokrasi yang berbalut komedi, namun komedi yang tidak lucu.”

Memang, politik di Indonesia adalah politik yang unik. Banyak hal lucu yang terjadi. Namun, kelucuan itu berbarengan dengan rasa kecewa. Inilah demokrasi yang berbalut psedo-komedi.

Demokrasi pseudo-komedi diisi oleh para artis dengan kemampuan akting yang buruk. Mereka berpura-pura berkompetisi di dalam pemilihan umum. Namun, setelah selesai, mereka kembali ke sifat aslinya. Politik di Indonesia adalah politik bagi-bagi kekuasaan di antara orang-orang kaya semata.

Tidak hanya akting, skenarionya pun juga buruk. Agama dipermainkan oleh politik kekuasaan busuk. Kesatuan bangsa diancam demi kerakusan pribadi. Rakyat pun menerima pelajaran yang amat jelek tentang arti berdemokrasi.

Pada akhirnya, politik Indonesia memang berisi kompromi politik busuk. Disebut busuk, karena jelas mengingkari kehendak rakyat. Kepentingan rakyat pun dilanggar, demi memuaskan segelintir elit politik yang rakus, dan kehilangan akal sehat. Di dalam teori-teori komunikasi, kompromi semacam ini disebut juga sebagai kompromi busuk (rotten compromise).

Demokrasi Pseudo-komedi

Ada enam ciri dari demokrasi pseudo-komedi. Pertama, demokrasi semacam ini tak taat asas. Asas utama dan terpenting dalam demokrasi adalah kehendak dan kepentingan rakyat. Ketika ini dilanggar, karena kompromi politik busuk, maka demokrasi pun menjelma menjadi komedi yang tak lucu.

Dua, demokrasi pseudo-komedi juga tak taat asas legitimasi di dalam demokrasi. Artinya, semua keputusan politik di dalam demokrasi harus memperoleh persetujuan dari rakyat. Elit politik, baik pemerintah, parlemen maupun lembaga hukum, tak boleh mengeluarkan kebijakan seenaknya. Proses berpikir bersama di ruang publik harus dilakukan terlebih dahulu.

Tiga, demokrasi semacam ini juga tak taat prinsip keadilan. Padahal, sistem politik demokrasi modern diciptakan untuk memastikan, bahwa keadilan dan kemakmuran bisa dijangkau oleh semua, tanpa kecuali. Di Indonesia, demokrasi hanya menjadi ajang simbol tanpa isi, karena semua hal dikendalikan oleh mafia politik busuk. Sementara ketimpangan ekonomi begitu besar, para pejabat negara hidup mewah di dalam gelimpangan harta dan fasilitas yang dibayar oleh pajak rakyat.

Empat, semua ini menggambarkan tidak adanya tata kelola politik yang baik. Para pemimpin negeri ini tidak paham cara menata negara. Keadilan, kemakmuran dan kelestarian pembangunan pun jauh dari harapan. Diskriminasi terhadap kelompok minoritas, korupsi dan ketimpangan sosial ekonomi tetap mewarnai hidup berbangsa.

Lima, politik uang pun menjadi penyakit politik Indonesia. Ekonomi ditata untuk memperkaya pemerintah dan pemilik modal. Sementara, sebagian besar rakyat hidup dalam kemiskinan, atau pas-pasan. Gejala ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi sudah menjadi gejala global.

Enam, di dalam demokrasi pseudo-komedi ala Indonesia, pemerintah takut terhadap preman politik. Pemerintah tidak berani mengambil tindakan tegas terhadap perusuh keamanan. Yang terjadi, pemerintah justru mengajak para preman untuk berkompromi. Ini seperti mengundang musuh ke dalam selimut, dan akan menjadi bom waktu yang akan membawa kerusakan besar pada akhirnya.

Inilah demokrasi dagelan. Demokrasi yang berubah menjadi komedi. Namun, sifat lucunya justru menghilang, dan digantikan kecewa, sekaligus heran.

Mendidik Demokrasi

Ada dua hal yang kiranya penting untuk diperhatikan. Pertama, demokrasi tidak menjadi tema pendidikan yang mendalam di Indonesia. Sebaliknya, pendidikan Indonesia hanya berisi kepatuhan buta yang memperbodoh. Demokrasi, baik filsafat maupun sejarahnya, harus menjadi pemahaman umum seluruh rakyat Indonesia.

Dua, namun, pemahaman tak akan mencukupi. Mental demokratis, yakni mental egaliter dan berani berbeda pendapat, tanpa jatuh ke dalam konflik, juga perlu dikembangkan. Ini memerlukan peran serta seluruh masyarakat, sehingga budaya dan mental demokratis bisa berjalan dengan sistem demokrasi modern yang sudah ada. Hanya dengan begini, demokrasi modern di Indonesia bisa sungguh membawa keamanan, keadilan dan kemakmuran untuk semua.

Demokrasi tidak akan jatuh menjadi komedi murahan, jika ia dikelola dengan tepat. Pengelolaan membutuhkan pengetahuan dan mental demokratis yang sejati. Inilah kiranya yang tak dipunyai oleh para pemimpin politik Indonesia sekarang ini. Mau sampai kapan bangsa ini mempertotonkan mutu demokrasi yang rendah kepada dunia?

***