Buzzer muncul dari akun yang tak bisa diverifikasi, sebab identitas yang disembunyikan dan dipalsukan. Influencer atau content creator, yang muncul dari akun-akun dengan identitas jelas.
Jenderal Purnawirawan Moeldoko, dari KSPB (Kantor Staf Presiden Bro!) mengatakan aktivitas buzzer merugikan reputasi Jokowi. Ada pula yang mengatakan, dari kalangan akademisi yang hobi jualan ilmu eceran di televisi, buzzer yang pro-pemerintah bisa merusak kepercayaan atau dukungan publik pada Jokowi.
Orang Indonesia memang suka ngawur dengan istilah yang tak dipahaminya. Entahlah. Mungkin ini lahir dari tradisi bangsa yang mengandalkan bahasa lisan, bahasa komunikasi. Bukan bahasa ilmu pengetahuan yang njelimet, kayak bahasa Jerman yang dibilang paling sulit di dunia.
Bahasa Indonesia memang terasa lebih enak kalau dibacem, dan perlu. Seperti tempo, eh, tempe ding. Lebih karena sudut pandang. Kadang juga pandang yang tersudut. Jadi ngawur tak apa. Asal narasinya keren. Apalagi dengan diksi yang sastrawi.
Padahal, dalam bahasa komunikasi internet, perilaku netizen telah diamati dengan melihat kecenderungan konten dan konsistensinya. Hingga muncul definisi seperti buzzer, influencer, content creator, yang satu sama lain sangat berbeda.
Menyamakan buzzer dan influencer, adalah penyederhanaan masalah. Meski bisa juga kesengajaan, untuk membiaskan masalah. Apalagi di kalangan pengamat netizen internasional telah muncul kesepakatan, penyebutan berdasar communication-style, untuk karakter masing-masing sebutan itu.
Buzzer muncul dari akun-akun yang tak bisa diverifikasi, karena identitas yang disembunyikan dan dipalsukan. Sangat berbeda dengan influencer atau content creator, yang muncul dari akun-akun dengan identitas jelas. Dengan alamat publik yang juga jelas. Postingan antara buzzer dan influencer sangat berbeda, meski bisa jadi para buzzer merepost, atau mendengungkan postingan influencer.
Meski konten postingan sama (karena repost atau pun copast), tetapi kadar sejarah kelahirannya beda. Di situ maka ada penyebutan beda antara influencer dan buzzer. Apalagi kalau menilik karakter yang lebih spesifik lagi, misal dalam sikap, pandangan dan pemihakan pada apa yang didukung dan tidak. Belum pula jika dengan embel-embel bayaran dan sukarelawan, dengan menyisihkan kemungkinan lain dalam posisi "politik" masing-masing, di luar dua alasan tersebut.
Tapi antara Moeldoko, dan lawan yang memanfaatkan omongan itu, mirip seperti dalam komedi badut-badut pasar malam. Tuding-menuding dalam lingkaran. Sementara Menkominfo terus saja membolehkan penjualan kartu seluler perdana dengan bebas. Meski harus registrasi, tetapi bisa secara online, dan bisa ditipu nomor NIK asal asal jumlah-digitnya terpenuhi.
Padahal, di negara lebih modern seperti AS dan Eropa, untuk memiliki nomor ponsel lebih dari 1, sulitnya minta ampun. Ini negeri demokrasi, di mana kapitalisme dan kebodohan diuntungkan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews