Antara Moeldoko dan Buzzer

Buzzer muncul dari akun yang tak bisa diverifikasi, sebab identitas yang disembunyikan dan dipalsukan. Influencer atau content creator, yang muncul dari akun-akun dengan identitas jelas.

Rabu, 9 Oktober 2019 | 07:44 WIB
0
345
Antara Moeldoko dan Buzzer
Moeldoko (Foto: nusantaratv.com)

Jenderal Purnawirawan Moeldoko, dari KSPB (Kantor Staf Presiden Bro!) mengatakan aktivitas buzzer merugikan reputasi Jokowi. Ada pula yang mengatakan, dari kalangan akademisi yang hobi jualan ilmu eceran di televisi, buzzer yang pro-pemerintah bisa merusak kepercayaan atau dukungan publik pada Jokowi.

Orang Indonesia memang suka ngawur dengan istilah yang tak dipahaminya. Entahlah. Mungkin ini lahir dari tradisi bangsa yang mengandalkan bahasa lisan, bahasa komunikasi. Bukan bahasa ilmu pengetahuan yang njelimet, kayak bahasa Jerman yang dibilang paling sulit di dunia.

Bahasa Indonesia memang terasa lebih enak kalau dibacem, dan perlu. Seperti tempo, eh, tempe ding. Lebih karena sudut pandang. Kadang juga pandang yang tersudut. Jadi ngawur tak apa. Asal narasinya keren. Apalagi dengan diksi yang sastrawi.

Padahal, dalam bahasa komunikasi internet, perilaku netizen telah diamati dengan melihat kecenderungan konten dan konsistensinya. Hingga muncul definisi seperti buzzer, influencer, content creator, yang satu sama lain sangat berbeda.

Menyamakan buzzer dan influencer, adalah penyederhanaan masalah. Meski bisa juga kesengajaan, untuk membiaskan masalah. Apalagi di kalangan pengamat netizen internasional telah muncul kesepakatan, penyebutan berdasar communication-style, untuk karakter masing-masing sebutan itu.

Buzzer muncul dari akun-akun yang tak bisa diverifikasi, karena identitas yang disembunyikan dan dipalsukan. Sangat berbeda dengan influencer atau content creator, yang muncul dari akun-akun dengan identitas jelas. Dengan alamat publik yang juga jelas. Postingan antara buzzer dan influencer sangat berbeda, meski bisa jadi para buzzer merepost, atau mendengungkan postingan influencer.

Meski konten postingan sama (karena repost atau pun copast), tetapi kadar sejarah kelahirannya beda. Di situ maka ada penyebutan beda antara influencer dan buzzer. Apalagi kalau menilik karakter yang lebih spesifik lagi, misal dalam sikap, pandangan dan pemihakan pada apa yang didukung dan tidak. Belum pula jika dengan embel-embel bayaran dan sukarelawan, dengan menyisihkan kemungkinan lain dalam posisi "politik" masing-masing, di luar dua alasan tersebut.

Baca Juga: Buzzer

Tapi antara Moeldoko, dan lawan yang memanfaatkan omongan itu, mirip seperti dalam komedi badut-badut pasar malam. Tuding-menuding dalam lingkaran. Sementara Menkominfo terus saja membolehkan penjualan kartu seluler perdana dengan bebas. Meski harus registrasi, tetapi bisa secara online, dan bisa ditipu nomor NIK asal asal jumlah-digitnya terpenuhi.

Padahal, di negara lebih modern seperti AS dan Eropa, untuk memiliki nomor ponsel lebih dari 1, sulitnya minta ampun. Ini negeri demokrasi, di mana kapitalisme dan kebodohan diuntungkan.

***