Agama (Masih) Gagal Menyatukan Umatnya

Akhirnya manusia masih mau dininabobokkan oleh cerita- cerita pemuka agama yang dengan kepiawaiannya bicara mampu menyihir manusia untuk membenci manusia lain.

Minggu, 8 Desember 2019 | 16:17 WIB
0
240
Agama (Masih) Gagal Menyatukan Umatnya
Ilustrasi dakwah (Foto: assajidin.com)

Akhir akhir ini Indonesia seperti disuguhkan oleh tontonan akan perseteruan dua kubu dalam  agama maupun  politik. Dua kubu yang berseberangan, selalu mengambil sudut pandang berbeda, selalu menonjolkan perbedaan, menonjolkan identitas  dan akhirnya saling serang tentang siapa yang terbaik dan paling disayang Tuhan.

Manusia tidak sadar bahwa perasaan sempurna yang datang dari dirinya tidak akan pernah sebanding dengan kesempurnaan Tuhan. Klaim apapun tentang kebenaran tetaplah tidak sebanding dengan kekuasaan dan kebenaran hakiki Tuhan.

Dengan segala kesombongan warisan yang dibawa turun temurun sejak nabi adam manusia tidak pernah kapok untuk berlaku sombong seolah olah dirinya dan kubunya adalah terbenar yang lain lewat , salah, kafir dan tidak berhak disayang Tuhan.

Ia (manusia) selalu berhitung kebaikan, ditabungnya untuk modal saat ia mati. Untung rugi dalam kehidupan mewarnai manusia saat ini. Manusia akan berhitung berapa kali ia beribadat, seberapa rajin ia melaksanakan kewajiban dalam ritual agama. Ada perasaan sentimentil dalam diri manusia saat kebetulan ada manusia lain yang kebetulan beda keyakinan dan beda paham turut berusaha mencari kebaikan menebar kebaikan dan menunjukkan kasih sayang.

Kecurigaan bertambah besar ketika obyek yang dituju kebetulan beragama sama dengan dirinya. Seakan- akan tidak rela keyakinan lain memberi perhatian dan kasih sayang. Hatinya malah curiga ada maksud lain ketika orang dengan keyakinan lain memberi setitik kebaikan.

Kenapa begitu perhitungan manusia pada kebaikan, kasih sayang. Apakah hanya dirinya sendiri yang berhak baik kepada orang yang kebetulan sekeyakinan, padahal sehari- hari ia kurang peduli dan lebi suntuk berdoa daripada melakukan tindakan langsung mengasihi tanpa peduli mereka siapa agamanya apa, pahamnya apa. Sudah seberapa parahkah para pemuka agama mengajarkan kebaikan yang hanya terbungkus dengan sudut pandang sempit, menilai kebaikan berdasarkan asas persamaan.

Membuat kubu – kubuan itu akhirnya yang terjadi. Memandang perbedaan sebagai aib bukan sebagai kekayaan relasi antar manusia. Makanya banyak penganut agama merasa marah, benci dan dendam saat ada orang, atau siapa saja melecehkan, menyepelekan ketika ada orang yang tidak sengaja disinyalir melecehkan dan dianggap menghina agamanya atau simbol- simbol agamanya.

Muncul gerakan bela agama, gerakan untuk melindungi teman, sobat, junjungannya dengan segala cara padahal teman, sobat, junjungannya itu terlibat perkara kriminal. Pembelaan membabi buta atas agama itu menandakan masyarakat tengah sakit. Sakit oleh “kemabukan, pemahaman salah tentang kebaikan”.

Banyak yang sempit pikirannya sehingga selalu saja muncul friksi, konflik yang berbuah petaka seperti pembunuhan, pemboman, teror. Akibat konflik dua kubu maka tidak pernah ada manusia yang pernah hidup sempurna tanpa pernah berkonflik dengan manusia lain.

Ada yang merasa bahwa merekalah sang pemilik surga karena dalam sejarahnya kemunculan agama dan penyebaran agama berasal dari daerah tanah leluhurnya. Ia berhak mengklaim keturunan nabi maka dalam dirinya tersemat gelar khusus yang hanya berhak disandang oleh etnis tertentu. Padahal siapa tahu semua tahu manusia memang satu keturunan dari nabi yang sama?

Mengapa harus menonjolkan identitas untuk menekan kubu lain, sebaliknya kebenaran yang lain pun diklaim oleh kubu seterunya. Akhirnya selalu muncul dendam, benci tidak berkesudahan. Edian tenan. Manusia yang hanya tahu bagaimana mencari makan sepanjang hari, bertahan agar bisa bertahan, sementara kemiskinan selalu menderanya dan ia tidak sempat berdoa dan bersembahyang karena kesibukannya mencari sesuap nasi. Tetapi dalam kekurangannya ia selalu berbagi kebaikan, memberi dari kekurangannya, berdoa dalam diam sambil tetap bekerja, menolong tanpa pernah menonjolkan bahwa ia  pernah menolong.

Banyak pemuka agama dengan kepiawaiannya bicara memberi petuah, memberi pencerahan dan sibuk bicara tentang baik dan buruk, sementara ia gagal menyelamatkan kehidupan rumah tangganya, meninggalkan tanggung jawab sebagai orang tua yang harus mendampingi keluarganya disaat – saat penting. Ia tidak pernah menjadi idola keluarga. Meskipun jutaan penggemarnya di luar mengelu –elukannya.

Entahlah manusia memang aneh, ia bisa seperti nabi dan panutan di tengah lautan manusia, tetapi disisi lain ia hanya remah- remah oleh orang- orang terdekatnya. Ia gagal menunjukkan bahwa kasih sayang yang paling hakiki ketika ia menjadi panutan keluarganya, menjadi iman bagi orang- orang terdekatnya, menjadi cahaya yang meskipun redup tapi dengan sangat presisi mampu memberi pertolongan kepada orang yang membutuhkan cahayanya meski tidak seterang matahari. Mungkin hanya lilin yang kadang redup tertiup angin, tetapi lilin itu mampu menunjukkan dengan cahayanya ke mana ia melangkah.

Politik pun begitu sebegitu ambigunya. Mereka menempatkan kata- kata memukau dengan janji- janji setinggi langit tetapi pada akhirnya para politisi akan mudah berpaling dengan iming- iming kekuasaan yang jauh lebih berkilau.

Mereka tidak pernah berkaca dan mencatat janji- janji, karena ia akan malu sendiri bahwa banyak janji yang tidak bisa ditepati. Janji – janji itu hanya bumbu- bumbu agar banyak orang berpaling dan memilihnya. Setelah meraihnya semudah ia meninggalkan janji untuk memeluk kekuasaan dan melupakan yang telah memilihnya.

Agama, masih gagal menyatukan umatnya untuk duduk bersama, saling memuji dan saling mengasihi. Sementara mereka lebih sibuk bersembahyang dan menghitung kebaikan yang sudah dilakukan. Saya dan mungkin anda kadang terpisahkan oleh keyakinan yang berbeda sementara Tuhan tidak pernah membedakan dan memisahkan manusia karena beda keyakinan. Manusia bisa membenci atas nama agama, sementara Tuhan selalu mengasihi manusia tanpa melihat agamanya apa.

Tuhan juga tidak pernah merasa dilecehkan dan dihina sementara manusia dengan ngotot membuat organisasi atas nama yang bertujuan membela agama dengan cara kekerasan. Banyak manusia mengasihi ketika merasa sepaham, sekeyakinan dan seagama. Mosok sih ada agama yang mengajarkan kekerasan untuk memerangi agama yang juga sama- sama mengajarkan kebaikan dan kebenaran. Lalu kebenaran dan kebaikan yang bagaimana yang bisa menyatukan manusia tanpa melihat perbedaan keyakinan?

Ah, tulisan ini datang ketika saya yang hanya debu diantara manusia yang terlahir di dunia ingin tahu bagaimana manusia bisa damai jika jika banyak manusia belum bisa berdamai dengan dirinya sendiri, masih merasa paling benar, dan paling dikasihi dan dengan emosi tega membunuh, meneror atas nama agama yang katanya penebar kedamaian dan cinta kasih.

Saya sendiri terkadang masih merasa paling benar membiarkan keadilan tidak pernah datang mengetuk manusia. Akhirnya manusia masih mau dininabobokkan oleh cerita- cerita pemuka agama yang dengan kepiawaiannya bicara mampu menyihir manusia untuk membenci manusia lain. Padahal sesungguhnya manusia sama di mata Tuhan.

Salam damai selalu.

***