Menebak Langkah Politik Para Elite Partai

Di tengah perseteruan para elite sebetulnya yang terjadi mereka tidak benar-benar bermusuhan.

Rabu, 31 Juli 2019 | 06:09 WIB
0
378
Menebak Langkah Politik Para Elite Partai
Megawati dan Prabowo (Foto: Detik.com)

Rasanya baru kemarin rakyat disuguhkan perseteruan tidak elok para elite politik. Ujaran kebencian saling serang di media sosial, saling melakukan deal politik, saling melakukan trik- trik untuk menarik simpati masyarakat.

Ada masyarakat yang terpedaya sehingga mereka secara membabi buta mendukung calon pemimpin karena sejumlah janji- janji manis. Bahkan melakukan perjanjian menerbitkan fata integritas, ijtima dan berbagai perundingan jika menang pemilu”nanti”’

Betapa mereka yang mengikuti media sosial dibuat resah oleh isu- isu yang terus membobardir pikiran, mengaduk- aduk rasa, membelah belah agama, suku dan ideologi politik. Sepertinya banyak yang kehilangan akal sehat. Yang pintarpun terpedaya oleh logika terbalik- balik hanya karena mendukung salah satu kontestan pemilu, di warung , di tongkrongan tukang ojek, dalam diskusi terbatas di pojokan kafe, sambil mendengarkan music live saling beradu argumen masalah politik terkini.

Kini ketika kemenangan telah diraih pihak 01 Jokowi Ma’ruf Amin terjadi perkembangan politik menarik. Anggota koalisi 01 mulai melirik lawan yang telah membuat emosi. Dari lawan mereka berusaha melakukan rekonsiliasi. Sudah mulai merencanakan kolaborasi untuk tujuan pemilu selanjutnya.

Tetapi sayangnya terlalu cepat sehingga politik yang sudah mulai tenang mendadak heboh lagi. Petemuan Prabowo Subianto memicu munculnya pertemuan elite politik lainnnya. Surya Paloh mengundang Anies Baswedan ke Kantor Nasdem di Gondangdia. Demikian PKB dan Golkar, PPP berkumpul diinisiasi Golkar.

Partai- partai politik memperlihatkan betapa kekuasaan telah membuat mereka tidak malu pada masyarakat untuk berebut jabatan. Lalu apa yang bisa diharapkan dari kerakusan partai politik tersebut. Masyarakat menginginkan kesejukan dan rasa nyaman tanpa intrik  di tingkat elite, sementara mereka petinggi partai seperti memperlihatkan bahwa pidato- pidato yang diperdengarkan di media itu hanyalah retorika.

Bukan suguhan kenegarawanan yang muncul tetapi hanyalah profil politisi haus kekuasaan yang menguasai negara. Mereka adalah para bajing loncat bisa saja berayunan dari pohon ke pohon dari ranting ke ranting, kadang harus jatuh dan kemudian bangkit lagi… mencari trik untuk membangun cara bangkit dari kegagalan meraih kekuasaan.

Saya melihat pilihan Surya Paloh menggandeng Anies mulai terlihat dari fenomena metro TV yang semakin besar menayangkan aktifitas Anies Baswedan. Dengan Medianya Surya Paloh ingin menaikkan branding Anies Baswedan yang selama ini sering diserang para pendukung Ahok termasuk medianya sendiri yang kritis terhadap kinerja Gubernur Jakarta.

Mungkin Paloh kesal dengan manuver Megawati yang tampak mesra kembali dengan Prabowo Subianto dan Gerindranya. Tetapi ini dugaan yang bisa saja meleset. PDI P pernah kompak membangun kerjasama politik ketika Mega dan Prabowo mencalonkan diri pada Pemilihan Umum 2009 yang kemudian dimenangkan petahana Susilo Bambang Yudhoyono.  Selanjutnya mereka putus kongsi ketika  Megawati memutuskan mencalonkan Joko Widodo sebagai calon Presiden 2014 yang akhirnya dimenangi Joko Widodo.

Politik mulur mungkret itu istilah Jawanya. Kadang berseteru, kadang akrab kembali, putus nyambung – putus nyambung seperti sejoli yang sedang pacaran. Sekarang tinggal membaca arah kebijakan Jokowi karena selama ini taktik Jokowi memang susah ditebak. Dengan panasnya hubungan antar partai setelah pembubaran BPN dan TKN para politisi dalam partai partai besar sedang memainkan strategi untuk memperoleh keuntungan pada pemilu 2024.

Masih banyak kemungkinan, kejutan dan misterinya langkah- langkah partai. Bisa jadi partai- partai yang bergabung di pemilu 2019 saling bermusuhan. Yang semula menjadi lawan menjadi kawan koalisi. Begitulah politik.

Arah kekuasaan mengharuskan mereka luwes atau bisa dikatakan masa bodoh dengan penilaian masyarakat yang penting mereka untuk dan tetap bisa membangun strategi menang di pemilu mendatang. Kepentingan dan kekuasaan yang utama, sifat kenegarawanan belakangan. Toh mengandalkan sifat kenegarawanan saja tidak menjamin kemenangan begitulah kira- kira yang mereka pikirkan.

Bisa saja PDIP kembali bergabung dengan Gerindra untuk menentukan siapa pemimpin yang mereka usung. Lupakan saja kekalahan sebelumnya dan ada kepentingan lebih besar yang sudah berada di depan mata. Politik itu amat cair secair- cairnya kalau masalahnya adalah kekuasaan.

Lihat saja para wakil rakyat yang terpilih di Senayan. Jejak mereka untuk mengegolkan undang- undang saja sampai hampir masa pengabdiannya masih saja memble. Mereka lebih sibuk mencari posisi, mencari suara agar tetap bertahan di Senayan. Yang tidak terpilih tampak kembali berupaya membangun strategi agar di pemilu berikutnya banyak suara bisa terkumpul untuk bisa kembali lagi ke Senayan yang sejuk dan enak buat rebahan saat rapat.

Para elite partai tidak sadar mereka telah mempermainkan kepercayaan rakyat. Di tengah perseteruan para elite sebetulnya yang terjadi mereka tidak benar-benar bermusuhan. Yang terjadi adalah mencoba membangun imej seakan- akan sedang berseteru, sedang saling tikam, saling menyerang. Padahal di belakang layar mereka tertawa bareng, ngopi bareng untuk  mengecoh agar masyarakat percaya mereka sedang bertengkar dan sedang tidak rukun.

Jadi jika para politisi sedang berdebat di Televisi anggaplah hiburan karena mereka sedang mengentertain diri agar terlihat dramatis. Maaf para politisi saya sedang menebak  apa yang kira- kira menjadi pikiran anda.

Jadi ketika tiba tiba menjauh dan tiba tiba menjauh anggaplah sebagai sebuah drama 5 tahunan. Ke mana arah koalisi tergantung angin. Dan yang berusaha mendompleng popolaritas politisi dengan mengatasnamakanpolitik identitas, berbaju agama, sebaiknyanya tidak usah serius nanti malah sakit hati.

Ajarkan saja masyarakat untuk bertindak jujur, menjauhkan pejabat dari tindakan korupsi dan berbohong. Jangan lantas ikut – ikutan arus politik karena politisi itu sebenarnya tidak benar- benar beragama, agamanya adalah kepentingan yang abadi. Tujuannya pasti kekuasaan. Salam damai selalu.

***