Prabowo Tidak Akan Dirikan Khilafah!

Skenario ini yang membuat gerakan bawah tanah mereka pada saat ini dapat dideteksi kaum muslim garis lurus dan mayoritas anggota TNI.

Selasa, 2 April 2019 | 23:24 WIB
0
479
Prabowo Tidak Akan Dirikan Khilafah!
Kampanye Prabowo Subianto yang dielu-elukan rakyat, tidak mungkin mendirikan Khilafah. (Foto: Istimewa).

Beberapa hari lalu, Mantan Kepala BIN era Presiden Megawati Soekarnoputri, Letjen TNI (Purn) AM Hendropriyono secara tiba-tiba melakukan manuver politik dengan pendapat, “Dalam Pilpres 2019 itu pertempuran antara Pancasila dan Khilafah".

Tak pelak lagi polemik media pun memanas. Beragam pengamat pertahanan dan keamanan menuding bahwa pendapat mantan Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan dalam Kabinet Pembangunan VII dan Kabinet Reformasi Pembangunan 1998 hingga 1999 itu sesat. Tidak memiliki dasar dan berdasarkan data.

Namun, hal itu merupakan pendapat pribadi sebagai politisi dan mantan Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) yang mendukung capres petahana Jokowi. Secara politik, pendapat pribadi tersebut sebagai kendaraan politik untuk mendongkrak elektabilitas Jokowi yang mengalami proses longsor.

Kita yakin, kakek berusia jelang 74 tahun itu tahu akan resiko dan efek domino pendapatnya itu, baik secara politik maupun sosial. Demikian pula terhadap persatuan dan kesatuan rakyat di Republik Indonesia ini.

Bahwa persatuan dan kesatuan rakyat kita sekarang ini mulai rapuh akibat ragam provokasi politik “belah bambu” yang dilakukan negara asing dan aseng dengan memanfaatkan rakyat Indonesia, yang tidak sadar sedang ditipu para agen asing dan aseng.

Atau oleh rakyat Indonesia yang sadar melakukan misi pecah bambu tersebut, karena dalam hatinya bercokol karakter penghianat bangsa dan negara Indonesia sebagaimana leluhurnya.

Dampak pendapat pria yang karib dipanggil abang atau Om Hen oleh para koleganya dalam dinas intelijen BAIS dan BIN itu, secara politik justru menjadi sarana pelongsor elektabilitas Jokowi, khususnya dukungan dari kaum muslim garis lurus.

Mengapa demikian, karena kaum muslim garis lurus yang haus ilmu pengetahuan, sudah tahu dan faham jika Lima Sila yang ada dalam Pancasila itu merupakan inti dari Al-Qur’an. Bukan hasil pemikiran asli para pendiri Negara Republik Indonesia.

Artinya, dengan disarikan dari Al-Qur’an tersebut secara keagamaan juga merupakan sari dari agama Kristen, Budha, dan Hindhu. Ini karena Agama Islam lahir di Mekkah, setelah agama Kristen, Budha, dan Hindhu.

Karena itulah, pendapat yang membenturkan Pancasila dengan Khilafah merupakan pendapat pribadi yang sesat. Bagaimana tidak, dengan terpastikannya lima sila dalam Pancasila sebagai inti Al-Qur’an sangat tidak mungkin jika kaum muslim akan mengganti ideologi Pancasila.

Masa’ kaum muslim akan mengganti sebuah ideologi yang berdasarkan inti dari Al-Qur’an? Jika kondisi yang benar, kelompok yang ingin mengganti Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia itu adalah kaum liberal pendukung LGBT dan perzinahan.

“Juga, kaum komunis yang dua kali gagal melakukan pemberontakan besar terhadap NKRI, tahun 1948 dipimpin Muso dan 1965 dipimpin Dipa Nusantara Aidit (DN Aidit),” ungkap seorang pemerhati intelijen kepada Pepnews.com.

Kegagalan itu membuat kaum komunis memiliki dendam kesumat pada kaum muslim dan ABRI/TNI yang berhasil menggagalkan pemberontakan mereka untuk mengganti ideologi Pancasila menjadi Ideologi Komunis China.

Dasar pertimbangan politik tersebut adalah sejarah proses penangkapan Aidit hingga eksekusi matinya. Sebagaimana data sejarah, pada 22 November 1965, DN Aidit ditangkap di rumah Kasim alias Harjomartono di Kampung Sambeng, Solo, Jawa Tengah.

Usai pelarian panjang pasca peristiwa 30 September 1965, aparat militer akhirnya menangkap pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) ini di tempat persembunyiannya di rumah Kasim tersebut.

Pada hari penangkapannya itu, Aidit sempat menikmati kopi dan rokok. Bahkan, saat akan dibawa, Aidit sempat meminta rokok. “Boleh ya rokok ini saya bawa,” katanya. Kemudian  seorang tentara yang menangkapnya menjawab.

“Bawa saja rokok itu. Nanti buat rokok-an bersama Gatot Subroto,” katanya, menyiratkan bahwa Aidit akan segera menyusul Jenderal Gatot Subroto yang telah meninggal pada 1962.

Pasca penangkapan, Aidit dibawa ke Loji Gandrung. Di sana, seorang tentara berpangkat mayor sempat mencoba mengambil alih penangkapan Aidit. Namun, upaya itu ditolak oleh Komandan Brigade Mayjen Yasir Hadibroto.

Sesuai dengan perintah Jenderal Soeharto, Yasir kemudian memerintahkan anak buahnya, Mayor ST untuk mencari sumur tua tak berair. Di sumur kering itulah kelak hidup Aidit berakhir di hadapan regu tembak.

Saat akan dieksekusi, Aidit sempat mengingatkan para aparat militer bahwa dirinya adalah seorang Menko dalam Kabinet Dwikora.

“Tahu kamu artinya apa seorang Menko? Seorang Wakil Ketua MPR Sementara kemari? Apa ini sumur? Untuk apa?” katanya kepada Mayjen Yasir Hadibroto.

Namun, gertakan Aidit kali ini tidak berpengaruh. Pertanyaan Aidit itu kemudian dijawab oleh Yasir.

“Saya mengerti pak, dan kalau bapak mau tahu sumur ini untuk apa? Ini buat bapak. Bapak tahu bukan kalau Pak Yani juga dimasukan sumur seperti ini?” kata Mayjen Yasir Hadibroto, kepada Aidit.

Sadar ajal semakin mendekat, Aidit kemudian minta waktu untuk berpidato. “Jangan tergesa-gesa, saya mau pidato dulu,” kata Aidit. Di akhir pidatonya, Aidit lalu berteriak, “Hidup PKI. Tunggu kebangkitan PKI pada dua puluh lima tahun mendatang!”

Seruan tersebut menjadi seruan Aidit yang terakhir, sebab sejurus kemudian, peluru langsung menyusup ke balik daging-dagingny a. Setelah roboh dihantam timah panas, jasad Aidit lantas dimasukkan ke sumur tua, persis seperti nasib pahlawan revolusi yang gugur dimasukkan ke sumur Lubang Buaya.

Di atas jasad Aidit, para tentara menimbun sejumlah batang pisang, kayu-kayu kering, tanah, lalu membakarnya untuk menghilangkan jejak Aidit.

Jumlah tentara yang terlibat dalam eksekusi mati DN Aidit sebanyak empat orang, ditambah dua kopral pengemudi Jeep. Ketika detik-detik eksekusi, tidak banyak masyarakat yang tahu bahwa Aidit ditembak mati, termasuk tentara Brigade.

Berdasar pada pidato yang disampaikan DN Aidit itu bukan kemuskilan, ini sebagai pesan rahasia untuk para kader PKI yang masih hidup, keturunannya, atau generasi milenial yang tidak mengetahui sejarah kekejaman PKI terhadap kaum ulama.

Juga, atas guru ngaji di daerah, pejabat negara, para jenderal TNI yang dibunuh dan dibuang di Lubang Buaya, para anggota TNI di daerah yang diculik dan tidak diketahui jejaknya saat ini, dan masyarakat sipil yang menolak bergabung dengan PKI atau organisasi onderbound yang dimiliki.

Bila dihitung secara matematika, pesan rahasia DN Aidit itu pada 2019 ini telah melewati 25 tahun. Artinya, sejak 1990-an gerakan bawah tanah yang dilakukan kader komunis (bukan PKI yang sudah dibiarkan lewat TAP MPRS Nomor 25/ 1966) itu bukan kemuskilan sudah terjadi.

Klimaknya aktivitas terselubung mereka merebak pasca reformasi, yang dibuktikan dengan peredaran bebasnya buku-buku yang mengandung ajaran komunis. Demikian pula sejarah tentang PKI, yang isinya memutarbalikkan fakta sejarah yang terjadi.

Target mereka memagis kaum milenial yang tidak tahu tentang sejarah PKI, karena sejak reformasi itu sudah dihapuskannya pelajaran sejarah tentang pemberontakan PKI sebagai pelajaran sejarah di SD, SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi.

Dalam ilmu intelijen dan kriminal dikenal moto “Tidak Ada Sebuah Peristiwa Politik Yang Terjadi Dengan Sendiri. Tidak Ada Dua Peristiwa Beraroma Sama Terjadi Tanpa Benang Merah”.

Berpijak pada moto tersebut, dapat diasumsikan antara peristiwa reformasi, penerbitan dan peredaran buku-buku tentang PKI dan ajaran komunisme, peredaran kaos dan logo lalu arif di masyarakat, serta proses perpecahan persatuan dan kesatuan rakyat di negara Indonesia ini merupakan sebuah peristiwa terpisah dan tak berkaitan.

Namun, kalau dilihat dari lini waktu peristiwa, bukan kemuskilan empat peristiwa tersebut memiliki sebuah benang merah, yang sudah diskenario secara terstruktur dan masif. Targetnya mengganti ideologi Pancasila dengan komunisme modern yang saat ini berkembang di negara-negara komunis di dunia.

Untuk memuluskan skenario besar tersebut, para kader komunis saat ini lebih cerdas lagi jika dibanding generasi Muso dan Aidit. Mereka sudah sesumbar sebelum besar, sehingga dengan gampang dilibas ABRI/TNI dan kaum muslim.

Para kader tersebut menyusup dalam hampir semua partai politik yang ada di Indonesia, baik yang berazaskan nasionalis maupun agama Islam.

Bahkan bukan kemuskilan para kader tersebut tidak menyadari, bahwa mereka adalah kader komunis walau ruh politik yang selama ini diyakini merupakan ajaran sosialis komunis.

Sementara dasar deduksinya, adalah skenario benturkan TNI dan kaum muslim, sebagaimana skenario yang pernah diterapkan Muso dan Aidit, sehingga mereka mampu merangkul beberapa anggota ABRI waktu itu untuk memerangi koleganya sendiri dan kaum muslim.

Dan, skenario ini yang membuat gerakan bawah tanah mereka pada saat ini dapat dideteksi kaum muslim garis lurus dan mayoritas anggota TNI.

Siapa saja itu, untuk saat ini masyarakat dan para anggota dewan di Senayan atau Gedung DPRD pasti sudah memprediksi, terkait para koleganya sesama anggota dewan yang berpolitik sosialis komunis.

Namun, para anggota dewan tersebut dan masyarakat hanya bisa menyimpan dalam hati, karena bukti hukum belum mereka dapatkan secara faktual.

***