Bagaimana tidak, ketika survei yang dirilis beberapa lembaga survei independen mengunggulkan pasangan capres dan cawapres nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf, secara tiba-tiba ada operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap salah seorang Dewan Penasehat Tim Kampanye Nasional (TKN) Muhammad Romahurmuziy alias Romy.
Lantas, mungkinkah apa yang terjadi pada Rommy, bisa menggerus elektabilitas Jokowi-Ma'ruf di Pilpres 2019 nanti?
Untuk soal itu, penulis belum menemukan adanya kajian atau survei terbaru yang dirilis pasca OTT-KPK yang mencokok Romy.
Oleh karena itu, penulis menilai tepat dengan tindakan yang dilakukan Ketua TKN Erick Thohir yang meyakini bahwa OTT yang dilakukan KPK terhadap Romy tidak akan berpengaruh pada elektabilitas Jokowi-Ma'ruf
"Nggak (berpengaruh ke elektabilitas Jokowi-Ma'ruf)," ujar Erick Thohir setelah bertemu dengan Ma'ruf di kediaman Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (15/3/2019).
"Kan nggak ada hubungannya dengan pilpres. Kecuali, mohon maaf, misalnya ada hubungan dengan pilpres ya bisa. Tapi kalau pribadi ya sulit," imbuhnya.
Seperti kita ketahui, Romy yang juga Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini, akhirnya menjadi salah satu politisi yang juga ikut apes di "Jumat Keramat" KPK ini.
Selain Romy, beberapa elite partai politik memang sudah ada yang mendekam di jeruji KPK. Bahkan, Ketum PPP sebelumnya, yaitu Suryadharma Ali yang ketika OTT masih menempati posisi Menteri Agama RI pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Selain Romy dan seniornya Suryadharma Ali, ada nama ketum/presiden partai lainnya yang juga pernah ditangkap KPK, di antaranya Anas Urbaningrum (Partai Demokrat), Luthfi Hasan Ishaaq (Partai Keadilan Sejahtera), Setya Novanto (Partai Golkar), dan beberapa elite partai lainnya.
Tindak pidana korupsi memang begitu mengerikan, apalagi melibatkan politisi dan elite partai. Apa yang terjadi pada Romy, bukan berarti bahwa Jokowi dikelilingi orang-orang yang tidak bersih, seperti tudingan Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Ferdinand Hutahaean.
Mengapa? Karena SBY dan Prabowo pun, tak luput dari orang-orang di sekitarnya yang juga menjadi "korban" lembaga antirasuah itu.
Yang terpenting bagi kita, sosok pemimpin yang kita pilih di Pilpres 2019 adalah sosok yang bersih dan jujur, dan juga memiliki komitmen memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya.
Dengan kata lain, kita semua percaya, pemberantasan korupsi akan berjalan dengan baik, apabila negeri ini juga dipimpin oleh orang yang juga bersih.
Sebagai presiden petahana, Jokowi sudah memiliki rekam jejak yang baik dalam hal pemberantasan korupsi.
Bahkan, ketika menjabat Wali Kota Solo di tahun 2010, Jokowi mendapatkan Bung Hatta Anti Corruption Award.
Selain itu, kita pun bisa melihat apa yang dilakukan Jokowi kepada keluarganya, khususnya pada anak-anaknya, dimana anak-anaknya tidak diperkenankan mencari proyek di lingkungan Pemerintahannya.
Komitmen inilah yang belum kita temukan pada diri Prabowo Subianto. Bahkan, di dalam debat capres 17 Januari 2019 lalu, Prabowo begitu menyepelekan korupsi kecil yang dianggapnya tidak seberapa.
"Kalau memang hukum mengizinkan... mungkin korupsinya juga enggak seberapa. Mungkin dia karena, begini... Kalau curi ayam benar itu salah, kalau merugikan rakyat triliunan, itu yang saya kira harus kita habiskan di Indonesia saat ini."
Dalam penegakkan hukum, Jokowi selama ini tak pernah melakukan intervensi, apalagi tebang pilih.
Karena itu, masyarakat meyakini bahwa selama ini pemerintahan Jokowi memang tidak pernah pandang bulu dalam kasus-kasus hukum. Siapapun yang bersalah!
salam dan terima kasih!
***
sumber:
Artikel ini sebelumnya pernah dimuat di Kompasiana.com
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews